Di Balik Nama Besar Media

Rapuh di dalam, tak sebesar yang dibayangkan.

Oleh: Ahmad Satria Budiman

dapur media

Yogyakarta, Himmah Online

“Media yang besar seperti Kompas, ternyata internalnya begitu rapuh,” kata Rochimawati, narasumber dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Perempuan yang akrab disapa Uci ini menyampaikan hal tersebut dalam acara Bedah Buku “Dapur Media” pada hari Kamis tanggal 4 April 2013, bertempat di Ruang Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Dari buku yang dimaksud, Uci juga memaparkan, terdapat tiga pekerjaan rumah bagi media, yaitu konglomerasi media, serikat pekerja media, dan regenerasi pemimpin media.

Dalam hal konglomerasi media, bagaimana agar politik tidak membuat media lupa akan idealismenya. Sementara mengenai serikat pekerja media, bagaimana agar pekerja memiliki kedekatan dengan media. “Serikat pekerja bukan untuk merusuhi media, tetapi untuk keseimbangan antara hak dan kewajiban perusahaan dengan hak dan kewajiban karyawan,” tutur Uci. Salah satu kendala pembentukan serikat pekerja datang dari jurnalis sendiri, yaitu kurangnya kesadaran akan pentingnya serikat pekerja media. Sedangkan untuk regenerasi, Uci menyinggung media yang kini tidak lagi terdengar gaung tokoh-tokohnya, seperti Goenawan Mohamad yang dulu identik dengan Tempo.

Lukas Ispandriarno turut menjadi narasumber. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UAJY ini mengulas bahasan yang tak jauh berbeda dengan Uci, yaitu regenerasi pemimpin dan serikat pekerja. “Dari tiga ribu perusahaan media, hanya tiga puluh satu yang punya serikat pekerja,” terang Lukas. Lukas sedikit mempertanyakan Surya Paloh, tokoh Media Group, yang justru menentang serikat pekerja media pada kasus Lutfiana, salah seorang wartawati Metro TV yang di-PHK beberapa waktu lalu. Lukas mengingatkan, kualitas jurnalisme supaya tidak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi atau politik.

Mengenai buku “Dapur Media”, Lukas memuji gaya liputannya yang ala Pantau, yaitu tidak sebatas cover both side, tetapi juga cover multi sides, dengan gaya penulisan yang bersinggungan dengan jurnalisme sastrawi. Namun, Lukas mengkritik sejumlah kekurangan buku yang ditulis oleh 8 orang tersebut, terutama dari segi tata bahasa yang menurutnya perlu sedikit perbaikan.

Salah seorang penulis buku, Basil Triharyanto dari Yayasan Pantau, ikut bicara. Terlebih dulu, ia mempertanyakan sekian banyaknya media, tetapi hanya dimiliki segelintir orang. “Apa peran pemilik media terhadap kemajuan jurnalistik? Bagaimana tahun 2014 nanti, pemilik medialah yang jadi figur politik?” ungkap Basil. Ketika dulu sebelum reformasi, ada istilah media partisan, yaitu media yang berafiliasi dengan partai politik. Basil menuturkan, saat ini setelah reformasi, media lebih ke figur politik, tidak lagi ke partai politik. Basil mendapatkan informasi awal bahwa ada orang-orang (desk) di Metro TV yang menggawangi Surya Paloh, “Biasanya desk itu desk ekonomi, desk politik, ini ada desk Surya Paloh.” Informasi awal ini, menurut Basil, sulit diverifikasi karena orang-orang dalam Metro TV pasti berusaha menutupi. “Apa hubungan ruang redaksi dengan pemilik media?” tanya Basil lagi.

Basil juga berbicara tentang fenomena menarik pers mahasiswa (persma). Ketika reformasi, persma cenderung bergerak secara underground. Kini setelah reformasi, pergerakan seharusnya tidak lagi underground. “Masih terkungkung fenomena transisi antara integritas dan identitas,” kata Basil. Inilah yang menurutnya kemudian jadi kesempatan bagi media persma. Persma dapat lebih bermain di media online yang lebih mudah diakses daripada media cetak. “Tinggal isinya. Seperti kasus Cebongan, kalau persma militan bisa bikin tulisan feature, mungkin pembaca akan lebih melirik persma,” lanjut Basil.

Persma dapat lebih memanfaatkan media sosialnya dengan memberitakan isu-isu yang juga diangkat oleh media umum. Hal-hal yang sekiranya perlu dilakukan persma saat ini adalah membuat program pelatihan. Tujuannya untuk menjaga nilai-nilai idealisme persma dan mengikuti perubahan arus media. “Pantau sekarang ini cukup sering menerima permintaan dari persma untuk mengisi pelatihan,” imbuh Basil.

Acara bedah buku dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, baik mahasiswa S-1 maupun S-2. Wartawan juga ikut hadir, di antaranya Dwi Suyono dari Harian Bernas Jogja. Dwi berpendapat bahwa apa pun yang ada di ruang redaksi akan kalah oleh kepentingan iklan. Dwi mencontohkan pengalamannya saat Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group, berkunjung ke Yogyakarta untuk suatu acara peresmian. Dwi dipesan oleh atasannya untuk meliput acara tersebut karena Hary Tanoe ikut menyumbang dana untuk iklan di Bernas Jogja.

  Reportase bersama: Bethriq Kindy Arrazy

Skip to content