Haji Misbach, Si Pembangkang Dari Surakarta

Himmah Online, Surakarta – Dinginnya angin kala itu menusuk seluruh pori-pori. Bermodalkan pakaian seadanya, seluruh peserta berkumpul di belakang Universitas Slamet Riyadi, Surakarta. Berkumpulnya para peserta kala itu tidak lain untuk menjalani agenda pertama dari rangkaian acara Kongres Nasional PPMI XIV yang berlangsung pada tanggal 6-11 Agustus 2018 di Surakarta dan Karanganyar. Kegiatan pertama yang dilakukan pada saat itu adalah sarasehan budaya yang mengundang Muhidin M. Dahlan sebagai pembicara — penulis yang tidak asing lagi di telinga pengagum literasi kebudayaan yang berbau sastra. Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur adalah salah satu judul karya buku fenomenal yang ditulisnya.

Pada mulanya, ketika melihat tema yang dibawakan dan pembicaranya dalam sarasehan budaya kali ini, terdapat undangan pertanyaan-pertanyaan tentang apa korelasi sang pembicara dengan seseorang yang akan dibicarakan. Saat itu tema yang diangkat dalam sarasehan budaya tersebut adalah Mengenang Kembali Haji Misbach. Mendengar namanya saja sudah sangat terasa asing. Bahkan, hampir seluruh peserta menggeleng ketika Muhidin menanyakan apakah para peserta mengenal Haji Misbach ini.

Wajar saja rasanya. Haji Misbach bukanlah seorang pahlawan nasionalis yang terpampang di buku sejarah sekolah formal maupun seseorang yang dikelompokkan dalam nisan yang berjejer sama dengan pahlawan heroik lainnya. Namun, bagi orang-orang yang mengamininya, Haji Misbach merupakan seseorang unik, jasanya dikenang sepanjang masa oleh sebagian kecil orang yang paham tentangnya.

Seluruh peserta mulai memperbaiki posisi duduknya, baik itu yang tadinya berbincang ria dengan sebelahnya maupun yang sibuk menikmati rokoknya, semua perlahan mulai fokus. Terlebih lagi ketika Muhidin mengatakan bahwa Haji Misbach ini merupakan Islam Komunis. Islam Komunis? Mendengar kata itu saja sudah mengundang banyak kontroversi yang ambigu dan bias makna. Barulah, setelah melihat muka-muka polos kebingungan kami tadi, Muhidin mulai menjelaskan profil dan asal-usul seorang Haji Misbach ini.

Haji Misbach adalah seorang manusia biasa yang lahir di Kauman, Surakarta pada tahun 1876. Ia biasa dikenal sedari kecil dengan nama Achmad. Kehidupan Haji Misbach, dipenuhi dengan hal-hal yang berbau islami. Ia adalah seseorang yang dididik dari sekolah Pesantren Muhammadiyah yang kemudian mulai aktif di Sarekat Islam (SI) pada tahun 1914. Ia juga merupakan salah satu donatur pembentukan Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) oleh SI.

Salah satu hal yang perlu diketahui juga bahwa Haji Misbach merupakan seorang inisator pertama yang mendirikan pers mahasiswa pertama kali di Indonesia. Hal itu dibuktikan pada tahun 1915, Haji Misbach menerbitkan Jurnal Medan Moeslimin dan Jurnal Islam Bergerak pada tahun 1917. Di Medan Moeslimin ia bertindak sebagai Pemimipin Redaksi. Memang, dari tahun 1914, Haji Misbach menunjukkan ketertarikannya pada Inlandsche Journalisten Bond (IJB), yaitu komunitas jurnalis pribumi saat itu.

“Singkat cerita … “ buka Muhidin untuk menjelaskan lanjut peristiwa yang terjadi selanjutnya. Peristiwa yang menandakan hijrahnya pemikiran-pemikiran Haji Misbach dan terbukanya lembaran baru dalam lika-liku kehidupannya. Terhitung pada tahun 1918-1920, Haji Misbach mulai keluar dari lingkaran organisasi islami. Hal itu ditandai dengan keluarnya ia dari Sarekat Islam karena ada ketidaksepahaman dan konflik internal yang terjadi.

Terlebih ketika mengetahui Muhammadiyah terjun ke dalam ranah politik, Haji Misbach sangat kecewa. Karena ia digambarkan sebagai orang yang memang sangat anti kapitalis. K.H Ahmad Dahlan pun tetap menaruh simpati padanya, karena ia tahu bahwa Haji Misbach memanglah bukan orang yang muluk-muluk, tidak takut, konsisten dalam perbuatan dan memiliki pendirian kuat tentang Islam dalam meneladani ajaran-ajaran lurus Nabi Muhammad SAW. Sehingga ketika ia merasa itu adalah sesuatu yang menurutnya salah, ia tidak akan segan-segan bertindak dan memberikan kecaman, bahkan jika itu temannya sendiri. Mulai dari sanalah, ia dikenal sebagai mubalig yang propagandis.

Salah satu persoalan yang mendasar yang melatarbelakangi tindakannya ini adalah rasa skeptis terhadap bagaimana pandangan umat yang dimaksud sebagian besar orang pada saat itu.

“Misbah gusar, organisasi seperti Sarekat Islam tak pernah menyinggung petani dan persoalan agraria. Karena ia berkomitmen bahwa umat bukanlah siapa-siapa yang ada di masjid. Tetapi juga ada petani. Petani berhubungan dengan tanah. Seperti kata-kata kutipan yang terkenal darinya . Coba ingatlah siapa yang punya tanah ini, toh bukan ratu atau gubernemen. Mana ada ratu atau gubernemen punya tanah? Tanah itu dulunya toh milik embah-embah kita sendiri. Dan lagi, kalau kerajaan hanya disahkan oleh satu orang yang disebut ratu tentu tidak baik karena dia pasti hanya mementingkan dirinya sendiri. Begitulah Haji Misbach menggambarkan pandangannya saat itu,” tutur Muhidin.

Haji Misbach mulai membentuk perkumpulannya sendiri, berjejaring dengan banyak orang dan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya. Perkumpulan atau komunitas yang disebut Insulinde itu sendiri memang berjuang untuk memperjuangkan keadilan dan menumpas penindasan, terutama kepada petani. Baginya, memperjuangkan hak para petani yang saat itu dieksploitasi lahan dan sumber dayanya adalah berjuang dalam mealawan kebengisan yang disebabkan oleh para kapitalis.

Surakarta adalah kota kelahiran yang menjadi sejarah perjuangannya. Dominasi langkah besar yang dilakukan sebagai wujud revolusioner adalah melakukan aksi mogok untuk para buruh. Dari sanalah dapat kita ketahui bahwa ia termasuk pencetus aksi mogok kerja pertama kali di Indonesia yang bersifat ilegal pada saat itu.

Muhidin berdiam diri sebentar dan meneguk secangkir air mineral untuk menjeda, kemudian ia melanjutkan, “Dahulu Haji Misbach dalam pergerakannya, tidak terlepas dari peran Cipto Mangunkusumo dan Marco Kartodikromo sebagai teman seperjuangannya. Mereka memiliki peran masing-masing dalam pergerakan tersebut. Marco berperan dalam memanajemen pers yang ada di Surakarta, Cipto berperan dalam pendidikan barat, dan Misbach merupakan seseorang yang membawa Islam dalam organisatoris lokal,” terangnya.

Semenjak itu, Haji Misbach tidak pernah berhenti berjuang melawan penindasan. Pada tahun 1919, ia ditangkap oleh aparat keamanan karena membuat ilustrasi tentang penindasan para petani oleh kapitalis Belanda. Terutama slogan dalam ilustrasi tersebut dianggap memprovokasi para petani saat itu untuk melakukan aksi mogok. Slogan itu berbunyi, “Jangan Takut, Jangan Khawatir” dalam surat kabar Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Karena itu ia ditahan di penjara selama kurang dari setahun dan dikeluarkan kembali pada tanggal 22 Oktober 1919.

Tak berhenti sampai disitu, Haji Misbach merintis pergerakannya kembali dengan aksi-aksi pemberontakan. Ia kemudian memimpin aksi mogok para petani yang membuatnya harus masuk penjara untuk kedua kali pada tanggal 16 Mei 1920, dengan masa kurungan dua tahun tiga bulan di Pekalongan.

Haji Misbach sebebasnya dari penjara, mulai berdikari kembali dan tetap memegang teguh idealisme yang dimilikinya. Hingga pada akhirnya ia menunjukkan ketertarikannya kepada konsep komunisme yang menurutnya itu menjadi solusi dengan apa yang ia perjuangkan. Salah satunya, ia menulis esai berjudul ‘Islamisme dan Komunisme’ yang juga mengundang kontroversi pada saat itu.

Muhidin menambahkan dalam ceritanya, “Kalau saya disuruh memilih tulisan Misbach mana yang paling saya sukai, saya memilih ‘Islamisme dan Komunisme’. Tulisan itu mengajarkan dua hal penting dalam kehidupan yaitu jangan fobia dengan komunisme, dan jangan pula fobia dengan Islam,” ujarnya kala itu.

Dalam teori esainya, Haji Misbach tidak menghilangkan keesaan Tuhan dalam kesamaan sosial di ajaran komunisme. Justru menurutnya, gabungan dari dua perspektif tersebut merupakan jawaban bagi permasalahan ketidakadilan yang ada di muka bumi ini.

Dalam artian ia tidak akan membuang agama dalam kehidupan sosial. Namun sebaliknya, ia menganggap bahwa agama ada sebagai media untuk mendamaikan kehidupan sosial. Seperti yang ia tegaskan dalam kutipan perkataan yang disampaikan oleh Haji Misbach, “Hidup bersama artinya hak manusia itu tidak ada perbedaan, hanyalah Tuhan yang lebih tinggi; karena jika manusia, tentulah ada manusia yang lebih rendah, begitu terus-menerus sehingga kekalutan dunia terjadi dan semua itu diambil pokoknya saja karena dari loba tamaknya kapitalisme dan imperialisme, sebab ialah yang menggunakan tipu muslihatnya dengan jalan memfitnah, menindas, menghisap, dan lain-lain perkataan pula.”

Ia mulai menunjukkan keseriusannya dalam memasukkan ideologi komunisme sebagai bagian dari dirinya. Pada tahun 1922, Ia keluar dari Muhammadiyah dan masuk ke dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1923. Namun di tahun yang sama, Haji Misbach harus masuk ke dalam jeruji besi lagi pada 20 Oktober 1923 karena tuduhan pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pengeboman, dan lain sebagainya.

 Hingga sebebasnya dari kurungan penjara, Haji Misbach pun terkena imbasnya kembali pada tahun 1924, ia ditangkap dan dihukum di Manokwari, Papua. Ia ditangkap untuk terakhir kalinya dengan tuduhan bahwa Haji Misbach merupakan dalang aksi pemogokan dan sabotase di Surakarta. Walaupun dalam keadaan masuk keluar penjara seperti itu, ia masih bisa mendirikan Sarekat cabang Manokwari yang beranggotakan belasan orang dan menulis jurnal.

Namun, tak berselang selama dua tahun, yaitu pada 24 Mei 1926, Haji Misbach meninggal dalam masa pembuangan karena menderita penyakit Malaria. Ia dimakamkan bersebelahan dengan makam istrinya di pemakaman Penindi, Manokwari, Papua.

Cerita berhenti sampai di situ. Para hadirin pun ikut terhenyak barang sebentar. Muhidin mengembalikan kepada MC untuk membuka sesi tanya jawab atau diskusi tentang kisah yang baru saja ia ceritakan tadi. Salah seorang peserta pada saat itu ada yang menanyakan bagaimana menjadi seorang jurnalis revolusioner di era sekarang ini dengan memegang teguh idealisme dan keimanan seperti Haji Misbach. Muhidin menjawab bahwa hal itu balik lagi kepada diri masing-masing ingin menjadi siapa.

Ia beranggapan bahwa apa yang dilakukan Haji Misbach balik lagi ke para hadirin dengan pandangannya masing-masing. Namun, yang jelas Muhidin ketahui bahwa seorang Haji Misbach hanya mempunyai satu teladan dalam hidupnya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Itulah menurutnya, yang susah untuk didapatkan dalam jiwa anak-anak muda di masa sekarang ini.

Memang menurut Muhidin, Haji Misbach adalah salah satu contoh manusia unik ketika memaknai agama dalam kehidupannya. Karena ia harus menempuh jalan komunisme dalam pergerakannya untuk berjuang membela kaum duafa, termasuk para petani saat itu, yang ia bela sampai titik darah penghabisan.

Sarasehan budaya pun ditutup dengan satu kutipan pidato yang terkenal oleh Haji Misbach,

“Kita manusia diwajibkan menjaga supaya jangan ada orang terus-menerus melakukan perbuatan yang tidak benar. Jika kita beriman, tentulah kita tidak syak lagi mengindahkan firman Tuhan itu meski kita dibenci oleh orang yang berbuat salah itu. Kita diwajibkan membenarkan pola, dengan tidak memandang bangsa, dan tidak memandang pangkat besar atau kecil, kendati raja-raja atau pemerintah negeri dan ulama-ulama atau kyai-kyai, tidak peduli siapa juga jika ia punya perbuatan tidak dengan sebenarnya, kita wajib membenarkan. Nah! Sekarang nyatalah bahwa perintah Tuhan kita orang diwajibkan menolong kepada barang siapa saja yang dapat tindasan, hingga mana kita wajib perang juga jika tindasan itu belum dihentikannya.” – Haji Misbach

 

Reporter: Armarizki Khoirunnisa Damanik

Editor: Nurcholis Maarif

 

Skip to content