Di Balik Kematian Slamet Saroyo

“Peristiwa itu bukan perkelahian.”

Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FTI mengadakan acara bedah buku Api Putih di Kampus Hijau Rabu(24/4). Acara ini diadakan untuk mengenang kematian Slamet Saroyo yang dibunuh karena berusaha membongkar skandal korupsi pimpinan UII saat itu.(Foto oleh: Moch. Ari Nasichuddin)

Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FTI mengadakan acara bedah buku Api Putih di Kampus Hijau Rabu(24/4). Acara ini diadakan untuk mengenang kematian Slamet Saroyo yang dibunuh karena berusaha membongkar skandal korupsi pimpinan UII saat itu. (Foto oleh: Moch. Ari Nasichuddin)

Oleh: Ahmad Satria Budiman

Sleman, Himmah Online

“Pada tahun ’80-an, UII jadi barometer dinamika gerakan mahasiswa karena termasuk konsisten dengan Dewan Mahasiswa (saat ini DPM U-red),” kata Sholeh UG, Pemimpin Umum LPM Himmah UII 1990-1992. Ia menyampaikan hal tersebut dalam acara Bedah Buku “Api Putih di Kampus HIjau” yang diadakan oleh Bidang PSDM LEM FTI UII, pada hari Rabu tanggal 24 April 2013, bertempat di Auditorium FTI UII Gedung K.H. Mas Mansur. Sebagai pengantar, Sholeh mengingat kembali bahwa pada era itu, UII tidak memberlakukan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), “Sehingga lembaga mahasiswa di UII tidak terkooptasi militer.” Konsep NKK/BKK sendiri merupakan perpanjangan tangan Presiden Soeharto dan kekuatan militernya melalui Rektorat dan Resimen Mahasiswa (Menwa).

Berbicara sosok Slamet Saroyo, apa yang terjadi kala itu bukan seperti yang dibicarakan banyak pihak. “Slamet itu kalau bicara tidak bisa dipatahkan dan sangat cerdas, makanya almarhum bisa menemukan ada masalah pembangunan di Kampus Antara,” terang Sholeh. Almarhum yang seorang mahasiswa Teknik Sipil memiliki pengetahuan seputar seluk-beluk bangunan. Namun karena terdapat kekuatan di kalangan penguasa kampus, militer, politik, hingga media, data-data temuan tidak digubris oleh kejaksaan dan tidak diangkat pula oleh media. Pengadilan memutuskan tidak ada penyimpangan dalam pembangunan kampus yang kini FE UII tersebut. “Apa yang dilakukan bukan semata problem internal kampus, tapi kekuasaan hegemonik. Semangat Slamet Saroyo itu yang seharusnya dipertahankan sampai sekarang,” lanjut Sholeh.

Senada dengan Sholeh, M. Fajar Hidayanto membenarkan bahwa apa yang terjadi kala itu bukan perkelahian antar mahasiswa. Dekan FIAI UII 2006-2010 ini kemudian menceritakan kronologi peristiwa kematian Slamet Saroyo. Pembangunan Kampus Antara menyisakan masalah sehingga dibentuk tim mahasiswa yang bertugas untuk menelisik pembangunan itu. Tim yang diketuai Slamet Saroyo ini menemukan beberapa masalah seputar kondisi bangunan, seperti lantai, genteng, dan plafon. “Kekhawatiran kita, gedung ini tidak akan awet untuk jangka panjang,” kenang Fajar. Demonstrasi akhirnya pecah menuntut kejelasan dari pihak universitas. Tim Reevaluasi, demikian nama tim tersebut, kemudian harus berbenturan dengan tim mahasiswa lain yang ditengarai disiapkan oleh pimpinan universitas (Pembantu Rektor II UII).

Kala itu, Fajar  menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa (saat ini LEM U-red) dan juga Anggota Tim Reevaluasi. Tanggal 3 November 1989 malam, para mahasiswa kelompok Slamet Saroyo berkumpul di Masjid Al-Azhar FH UII untuk membicarakan solusi guna menghindari benturan dengan mahasiswa kelompok “pro universitas”. Menjelang subuh, mahasiswa sepakat untuk melakukan lobi. Pagi harinya tanggal 4 November 1989, lima orang sebagai perwakilan, yaitu Slamet Saroyo (Ketua Tim), Bambang Irawan (Teknik Industri UII), Umar Soko (LEM FTSP), Heri Subagyo (DPM FH), dan Fajar sendiri, datang ke rumah Pembantu Dekan FH UII Bidang Kemahasiswaan. “Akhirnya beliau menjamin tidak akan terjadi ribut-ribut,” cerita Fajar.

Setelah itu, mereka pergi ke rumah Pembantu Rektor III UII di Perumahan Banteng. Beliau juga sepakat untuk tidak terjadi ribut-ribut antara Tim Reevaluasi dan tim pro universitas bentukan Pembantu Rektor II. Menjelang pukul 9 pagi, mereka berlima pulang. Ketika memasuki Jalan Kaliurang, mereka dibuntuti oleh sebuah mobil. Mobil itu lalu memepet mereka yang berkendara sepeda motor. Orang-orang di dalam mobil langsung keluar. Fajar mengenali beberapa di antaranya adalah rekan-rekan sesama pengurus lembaga yang dikenal loyal kepada rektorat. Dengan bersenjatakan samurai, pistol, dan badik, orang-orang itu memburu mereka berlima. “Almarhum dikejar sampai ke semak-semak, lalu dihabisi di sana, badannya seperti dicacah-cacah, seperti sudah ditargetkan jadi sasaran,” tutur Fajar.

Berita kejadian cepat menyebar. Sore harinya, mahasiswa yang bersimpati datang berkumpul ke FH UII. Mahasiswa berkabung. Dan malam harinya, pengacara yang ditunjuk sepakat mendampingi korban yang selamat untuk melapor ke Polres Sleman. Namun, semua justru disidik sebagai pelanggaran pidana kasus perkelahian. “Kita tidak pernah ditanya, apa yang terjadi dan ada masalah apa,” sesal Fajar. Hukuman penjara pun dijatuhkan. Kurang lebih enam bulan, mereka mendekam di Penjara Wirogunan. Hal yang dibanggakan Fajar adalah kekompakan mahasiswa. Setiap jam besuk, penjara selalu ramai oleh rekan-rekan mahasiswa. “Sekali lagi, peristiwa itu bukan perkelahian,” catat Fajar.

Pril Huseno, pengamat pergerakan mahasiswa UII tahun 1980-an menyampaikan, hal yang dapat dipelajari dari buku “Api Putih di Kampus Hijau” bukan romantisme sejarah. “Tapi bagaimana menjaga kesinambungan gerakan mahasiswa,” imbuh Pril. Buku yang dimaksud diakui Pril sungguh dahsyat karena tidak ada kampus lain selain UII yang memiliki sejarah pergerakan mahasiswa seperti apa yang diperjuangkan almarhum Slamet Saroyo dan kawan-kawan. Namun, Pril menyayangkan buku tersebut tidak dijual di toko buku, “Apa indikasinya? Mahasiswa lumpuh, memasarkan buku saja tidak bisa, lalu apa artinya aktivis-aktivis UII sekarang…” Petinggi kampus seakan menciptakan hantu-hantu untuk melumpuhkan pergerakan mahasiswa. “Hantu SKS, hantu absensi 75%, dan hantu-hantu lainnya,” sambung Pril.

Acara bedah buku yang berlangsung sejak pukul 19.30 WIB hingga 22.30 WIB tercatat dihadiri oleh 135 orang. Peserta merupakan mahasiswa UII dari berbagai fakultas, seperti FH, FTI, FTSP, FPSB, dan FMIPA. Ketiga narasumber menyisipkan pesan kepada mahasiswa. “Kalau dulu yang dilawan militer, sekarang kapitalis,” pesan Sholeh, “apa yang dulu menjadi kekurangan adalah apa yang menjadi spirit mahasiswa, teknologi informasi saat ini dapat digunakan untuk menggerakkan mahasiswa jika digunakan secara tepat.” Sholeh lalu menawarkan apabila ada mahasiswa yang berkenan menulis novel tentang Slamet Saroyo, dirinya siap menerbitkan. Sementara itu, Fajar berpesan kepada mahasiswa yang duduk di lembaga kemahasiswaan manapun, di posisi apapun, untuk tidak pesimis, “IP (indeks prestasi-red) hanya berpengaruh 20%, 80%-nya adalah soft skill yang dapat dilatih dengan terjun di lembaga.”

Sedangkan Pril berpesan agar mahasiswa melatih kepekaan sosial dengan diskusi-diskusi kecil. Jika Sholeh berbicara novel, Pril menawarkan mahasiswa untuk memfilmkan Slamet Saroyo. “Sedang berusaha mengontak Hanung Bramantyo,” ujar Pril. Tepuk tangan pun mengiringi akhir acara bedah buku.

Reportase bersama: Moch. Ari Nasichuddin

Skip to content