Alasan kebersihan dan kenyamanan membuat Kantin Psikologi direnovasi. Namun perenovasian ini menjadikan beban bagi penjaja makanan di kantin tersebut. Pasalnya mereka tidak memiliki jaminan untuk dapat berjualan kembali di sana usai renovasi. Penantian mereka selama renovasi pun sia-sia.
Oleh Maya I. Cadhindayo
Kampus Terpadu, Kobar
Kantin Psikologi yang terletak di barat kantor Resimen Mahasiswa (Menwa) nampak sepi. Tak ada penjual. Tak ada pula mahasiswa yang duduk-duduk sembari makan dan minum. Yang tersisa di pelatarannya hanya spanduk bertuliskan “Kembalikan kantin kami !! #saveKANTINpsi”.
Banyak pihak mengenalnya sebagai kantin Psikologi. Namun sebenarnya kantin tersebut dikelola oleh Fakultas Kedokteran (FK), lalu berpindah ke pihak Rektorat November silam. Kantin sendiri memiliki empat buah kios, namun setahun terakhir hanya tiga yang diisi oleh penjual. Ketiga penjual tersebut adalah Nur Hariyani, Nyoman Puspitasari, dan Sulistyoningsih Rahayu atau yang lebih akrab dipanggil Bu Agus.
Ketiganya telah bertahun-tahun menjajakan makanan di kantin tersebut. Sulistyoningsih misalnya, bersama suaminya, Agus, telah berjualan di kantin UII sejak 1987. Sedangkan Nur yang sekarang berusia 44 tahun telah berjualan di kantin Psikologi sejak 2004. Kehadiran Nur di sini mengikuti jejak kakak iparnya, yaitu Nyoman yang telah terlebih dahulu berjualan di tahun 1998. Nur pun menambahkan, “Kantin ini seperti keluarga bagi saya” imbuhnya.
Perkataan Nur tersebut dilatarbelakangi perasaan kekeluargaan yang terjalin baik sesama penjual, mahasiswa, maupun karyawan UII. Nur dan Sulistyoningsih sendiri telah menganggap para mahasiswa yang sering membeli di kiosnya sebagai anaknya sendiri. Mereka tidak mempermasalahkan apabila ada mahasiswa tidak membayar makanan ataupun minuman yang dipesannya. Semata karena Sulistyoningsih dan Nur memaklumi keadaan mahasiswa yang terkadang terlambat mendapat kiriman uang ataupun menipis keuangannya di akhir bulan.
Sulistyoningsih dan Nur bercerita pada KOBARkobari mengenai ditutupnya kantin tersebut. Menurut mereka, seminggu sebelum bulan puasa ada undangan rapat dari pihak FK. Rapat pun berjalan dengan dihadiri lima orang. Kelima orang tersebut adalah Nur, Sulistyoningsih, Nyoman, Titik Kuntari selaku Wakil Dekan FK, dan Riana selaku pengelola keuangan FK.
Sebelumnya ketiga penjaja makanan ini tidak mengetahui agenda rapat waktu itu. Mereka pun terkejut ketika pengelola tiba-tiba memerintahkan untuk melakukan pengosongan kios. Alasannya, pengelola saat itu (FK) akan merenovasi kantin tersebut. Nur menyesalkan pemberitahuan FK yang terkesan mendadak. Di sisi lain ia juga senang apabila kantin direnovasi. Ia membayangkan nantinya dapat berjualan dengan kondisi lebih nyaman dari sebelumnya. Juga harapan akan keuntungan yang lebih baik bila renovasi usai.
Tetapi Nur harus menyimpan angan-angannya. Hingga sekarang renovasi yang dijanjikan selesai pada September masih belum terwujud. Nur sempat ke FK untuk meminta kejelasan. Sekali lagi ia dikejutkan oleh informasi yang ia dapat. Sistem tender akan berlaku untuk menentukan penyewa kios Psikologi. Sulistyoningsih dan Nur kecewa akan kebijakan ini. Bahkan Sulistyoningsih merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak pengelola. “Saya kira ya gak akan ada tender mbak, saya kira setelah renovasi masih bisa tetap jualan,” keluhnya.
Nur mengeluhkan sikap pengelola yang selama ini terkesan menggantungkan nasibnya dan teman-temannya. Padahal Nur sendiri sempat beberapa kali ke kampus. “Saya sudah dua kali ke kampus menemui Bu Riana, tapi cuma suruh tunggu-tunggu,“ keluhnya. Kenyataan yang didapatnya mengenai sistem tender pun menyia-nyiakan penantiannya selama ini. Sambil tersenyum ia menambahkan, “Yah, kita cuma bisa pasrah mbak.”
Tender oleh Sulistyoningsih dan Nur hanya dianggap sebagai beban baru. Mereka merasa pesimis bisa lolos dalam tender, “Pasti tetap kalah lah mbak, uang banyak kan kuasa,” ungkap Sulistyoningsih. Apabila memiliki kesempatan untuk memilih, Sulistyoningsih dan Nur rela apabila harga sewa dinaikkan. Tetapi masih dalam batas harga yang wajar.
Sebelumnya biaya penyewaan satu kios senilai 3 Juta per tahun. Tiap penyewa mengangsur selama dua kali dalam setahun, Pada Januari dan Juli. Meski masa sewa satu tahun, penyewa hanya aktif berjualan selama delapan bulan karena terpotong hari libur.
Selama ini Sulistyoningsih dan Nur telah mengupayakan untuk menjaga kebersihan kantin. Setiap hari mereka tak lupa untuk menyapu lantai ataupun membuang sampah yang menumpuk. Sulisyoningsih juga mengatakan mendiang suaminya dahulu sering memperbaiki bangku-bangku yang telah rusak serta membersihkan dinding-dinding yang mulai berdebu. Namun ketika suaminya meninggal akhir tahun lalu, pekerjaan tersebut tidak sering lagi dilakukan.
Mereka sebaliknya mempertanyakan sikap pengelola yang tidak pernah mengurusi fisik kantin. Sempat mereka mengadu mengenai masalah fisik di sana, tetapi tidak ada tanggapan. Akhirnya mereka mengatasi sendiri masalah-masalah tersebut. Misalnya melakukan peninggian dapur yang sering tergenang air ketika hujan deras turun serta memperbaiki kursi-kursi yang rusak.
Sulistyoningsih dan Nur adalah orangtua tunggal. Mereka harus berjuang sendiri untuk menafkahi anak-anaknya. Semenjak kematian Agus, Sulistyoningsih bekerja sendiri untuk menyekolahkan si bungsu yang masih duduk di Kelas dua SMA. Nur pun memiliki masalah yang sama. Ia mempunyai satu putri berumur 11 tahun. Sekarang mereka harus memikirkan pekerjaan lain untuk dapat menafkahi putri sematawayangnya tersebut.
Selama ini Sulistyoningsih hanya mengandalkan tabungan dan kiriman uang dari anak-anaknya yang telah menikah. Sedangkan Nur hanya mengandalkan tabungannya sejak Juli lalu. Ia sudah merencanakan usaha kecil-kecilan di depan rumah. “Mungkin jualan pulsa atau laundry mbak,” ungkapnya.
Penghasilan Nur dengan berjualan di kantin cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain bagi dirinya, keuntungan yang ia dapatkan dibagi dengan kedua karyawannya yang masing-masing sudah berkeluarga pula. Nur merasa kasihan bila perempuan-perempuan yang membantu ia di kios tersebut menanyakan kapan bisa bekerja kembali. Begitu pula yang dirasakan Sulistyoningsih. Ia pun merasa iba melihat tiga orang karyawan yang ikut membantunya di kios terpaksa menganggur.
Aksi Solidaritas Mahasiswa
Kabar mengenai kantin tersebar hingga mahasiswa. Tak sedikit dari mereka bersimpati pada nasib pedagang kantin. Salah satunya #saveKANTINpsi. #saveKANTINpsi merupakan komunitas mahasiswa yang terbentuk akibat penovasian kantin psikologi. Kegiatan mereka semata sebagai aksi solidaritas terhadap nasib ibu-ibu penjual makanan di kantin Psikologi. Komunitas ini menganggap kebijakan pengelola terkait sistem tender memberatkan ibu-ibu tersebut. Apalagi menurut mereka Sulistyoningsih, Nur, dan Nyoman berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah. Salah seorang anggota #saveKANTINpsi, Muhammad Zuriad Fadil bahkan mengatakan, “Mereka seperti diusir secara halus.”
Komunitas #saveKANTINpsi memiliki ikatan yang cukup dekat dengan ibu-ibu kantin FK. Mereka yang tergabung dalam komunitas #saveKANTINpsi menganggap kantin psikologi adalah tempat kedua mereka setelah kampus. Tak heran jika mereka memiliki kedekatan emosional dengan ibu-ibu kantin.
Komunitas yang menjadikan Hall FPSB untuk tempat mereka berkumpul ini, telah melakukan berbagai upaya agar tuntutan mereka didengar oleh Rektorat dan FK. Tak hanya didengar tentunya, namun dikabulkan. Disamping itu, aksi juga ditujukan kepada mahasiswa lain agar sadar akan masalah yang terjadi di sekitar kampus. Aksi #saveKANTINpsi dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya berkampanye melalui spanduk, stiker, maupun buletin. Terkecuali stiker mereka jual ke mahasiswa. Harganya 10 ribu per tiga buah. Keuntungannnya digunakan untuk ongkos produksi buletin.
Dikabulkannya tuntunan pertama agar tidak direlokasinya kantin dianggap #saveKANTINpsi sebagai capaian pertama mereka. Tidak puas sampai di situ, komunitas tersebut masih memiliki beberapa tuntutan bagi pihak pengelola. Bersama DPM FPSB dan FK, LEM FPSB dan FK, Mahasiswa FPSB dan FK, dalam secarik kertas tertanggal 1 november 2011 mereka tuliskan tuntunan-tuntutannya. Ada tiga poin tuntutan di situ. Pertama, melakukan penyegeraan renovasi kantin. Kedua, penjaminan pedagang lama untuk dapat berjualan kembali setelah renovasi. Dan yang ketiga, ke kedua belah pihak baik mahsiswa FK dan FPSB dapat mengontrol jalannya renovasi kantin. Sebagai penutup obrolan kami di sore itu Mirza Rusyda, salah seorang dari komunitas #saveKANTINpsi mengatakan, “Kami akan terus berupaya sampai keinginan kami dikabulkan,” semangatnya.
Bagaimana Nasib Mereka?
Asal mula FK sendiri, sebagai pengelola lama, melakukan renovasi karena menganggap kebersihan kantin kurang terjamin. Oleh sebab itulah FK ingin menciptakan kantin yang lebih higienis dan dibuatlah keputusan akan perenovasian. Rencananya kantin yang baru memiliki lima kios. Untuk menentukan penyewa di tiap kios inilah dilakukan sistem tender. Namun Titik Kuntari, Wakil Dekan FK menimpali, “Tender nanti, kita akan tetap mengundang ibu kantin lama kok,” ujarnya.
Beberapa kendala membuat FK memundurkan waktu perenovasian. Titik menjelaskan keharusan rapat dengan rektorat membuat pihaknya butuh waktu lama untuk memutuskan hal ini. Disamping itu FK sempat menunda perenovasian karena menganggap kondisi masih belum kondusif, hal tersebut terkait reaksi kontra dari komunitas #save KANTINpsi.
Sekarang permasalahan kantin psikologi memasuki babak baru. Pasalnya pihak FK tak lagi mengelola kantin yang berada di gedung unit 12 tersebut. Ketika dimintai konfirmasi terkait kabar ini, Titik Kuntari yang menjabat sebagai Wakil Dekan FK menolak untuk memberikan penjelasan. Ia mengatakan hal ini bukan wewenang FK lagi dan menyarankan untuk menghubungi Bachnas selaku Wakil Rektor III.
Bachas yang ditemui bersama Wakil Rektor II, Neni Meidawati, membenarkan bahwa pengelolaan kantin telah beralih ke pihak rektorat seratus persen. “Mereka (FK,red) sudah membiayai tapi masih dihujat terus,” ungkap Bachnas.
Bachnas dan Neni menganggap tuntunan #saveKANTINpsi untuk tidak melakukan tender dan membebaskan penyewa kios lama untuk tetap berjualan tanpa melalui tender dirasa berlebihan. Menurut Bachnas, FK dan rektorat selama ini sudah mengabulkan keinginan #saveKANTINpsi untuk tidak melakukan pemindahan lokasi kantin. Mereka berdalih bahwa kebijakan tender ini untuk kebaikan mahasiswa karena rektorat menginginkan kantin yang lebih bersih dan nyaman. Nantinya setelah pelaksanaan tender akan dibuat kontrak yang jelas antara rektorat dengan penyewa kios. Diantaranya adalah tentang apa saja yang menjadi dagangan penyewa kios dan penekanan kebersihan kantin.
Bachas sempat mengatakan penyewa lama boleh berharap untuk membuka usaha di sana kembali tetapi harus memenuhi kriteria yang ada. Kriteria tersebut seperti harga panganan yang dapat dijangkau mahasiswa maupun kebersihan yang harus dijaga. Seperti kontrak lainnya, kontrak di sinipun memiliki masa berlaku. Apabila ketika dievaluasi masih memenuhi criteria, penyewa masih dapat berjualan. “Itulah orang kampus itu rasionalnya harus jalan. Cinta sih cinta tapi mikir dong” ujar Bachnas.
Ditanya kapan selesainya perenovasian kantin Psikologis, Bachnas mengatakan pihak rektorat tidak bisa serta merta langsung melaksanakan perenovaisan. Rektorat membutuhkan rancangan anggaran dari Badan Pengelola Aset (BPA) serta biaya yang tidak sedikit. Diperkirakan dana yang terpakai sebanyak 60 juta. Alasan itulah yang menjadikan perenovasian terkesan lambat. Bachnas memperkirakan bulan desember renovasi akan selesai.
Berbagai tanggapan pun datang dari mahasiswa. Salah satunya Tri Handayani, mahasiswi FPSB 2006. Secara pribadi ia tidak setuju apabila dilakukan sistem tender bagi penyewa lama. Ia memberikan alasan apabila sistem tender diberlakukan seharusnya universitas memberikan alternatif lain untuk penjual lama seperti diberikannya lapangan pekerjaan baru.
Senada dengan Tri, Mira eka setyowati, mahasiswi FPSB 2008 mengungkapkan ia juga tak menyetujui apabila dilakukan sistem tender. Ketika ditanya mengenai kebersihan kantin psikologi itu ia mengangagap tak ada masalah yang berarti. “Aku emang sering ke kantin, tapi menurutku kebersihannya gak ada masalah sih” ujarnya. Tetapi mahasiswi FK 2008, Ninda Devita berpendapat bahwa kantin FK memang dinilai kurang dalam kebersihannya. Namun masih dalam taraf wajar baginya. “Memang kurang bersih, tapi wajar-wajar aja menurutku,” ungkap ninda.
Eti marlina salah satu penjual di kantin pusat UII turut mengungkapkan pendapatnya. Eti tak setuju apabila sistem tender di berlakukan untuk kantin unit 12. Ia berpendapat lebih baik harga sewa yang dinaikkan daripada diberlakukannya sistem tender. Cara itu dianggap lebih manusiawi oleh Eli tanpa harus merugikan kedua belah pihak. “Kasian lah mbak, saya juga sama dengan mereka. Pasti berat” ungkapnya.
Reportase bersama Zaitunah Dian Sari