Himmah Online – Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Never Okay Project, disebutkan bahwa selama tahun 2021 terjadi 65 kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja. Data tersebut dihimpun Never Okay Project berdasarkan pemberitaan media sepanjang tahun 2021.
Laporan tersebut disampaikan dalam diskusi “Seperti Dendam, Kekerasan Seksual Harus Diusut Tuntas” yang diadakan oleh Never Okay Project pada Sabtu (12/3), melalui media telekonferensi Zoom.
Menurut Nabiyla Risfa Izzati, seorang dosen hukum ketenagakerjaan di Universitas Gadjah Mada (UGM), posisi yang tidak setara antara pemberi kerja dan pekerja memungkinkan terjadinya kekerasan seksual di dunia kerja.
“Posisi yang jelas tidak setara antara pemberi kerja dan pekerja itu membuat kemungkinan terjadinya kekerasan dan pelecehan (seksual) itu jauh lebih tinggi di dunia kerja,” tutur Nabiyla.
Hal tersebut senada dengan data dari Never Okay Project yang menyebutkan bahwa pihak klien/pemberi menjadi pelaku paling banyak dalam kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja dengan angka mencapai 29 kasus (44,62%). Lalu disusul oleh atasan/rekan kerja senior sebanyak 21 kasus (32,31%) dan sisanya dilakukan oleh perekrut, rekan kerja sebaya/setara, hingga mantan rekan kerja.
Nabiyla juga menuturkan bahwa instrumen hukum untuk melindungi korban dari tindakan kekerasan seksual masih kurang memadai. Akibatnya korban merasa tidak percaya terhadap proses hukum yang tersedia. Hal tersebut mendorong korban lebih memilih untuk speak-up di media sosial yang acapkali menimbulkan respon negatif terhadap korban itu sendiri.
“Jika dilihat dari perspektif hukum belum didukung oleh instrumen yang memadai. Hal paling sederhana yang bisa kita lihat sebenarnya adalah tendensi korban yang tidak percaya terhadap proses hukum karena lebih banyak korban memilih untuk cerita ke media atau spill lewat media sosial yang harus diakui sebenarnya belum tentu berimbas baik pada korban terutama karena budaya berpihak pada korban dan percaya pada korban itu masih kurang,” ujar Nabiyla.
Regulasi yang tersedia yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dianggap tidak mengatur secara spesifik mengenai kasus kekerasan seksual di tempat kerja. Maka dari itu, Evi Mariani, founder Project Multatuli, menuturkan bahwa perusahaan seminimalnya membuat dan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) di lingkungan kerja.
“Selemah-lemahnya iman ya memang (SOP) lumayan urgent, ya meskipun ketika sudah ada SOP pun saya juga mendengar beberapa yang pada akhirnya SOP-nya cuma semacam seperti kertas doang nggak diapa-apain juga,” ucap Evi.
Dengan tidak adanya regulasi yang spesifik mengatur kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja, menurut Triasri Wiandani hal tersebut menjadikan pekerja merasa dalam ancaman dan ketakutan yang berdampak pada produktivitas kerja.
“Tidak ada produktivitas yang bisa dicapai ketika pekerja tidak dalam kondisi yang aman dan nyaman, dan di dalam situasi yang merasa dalam ancaman dan ketakutan,” ucap Tiasri selaku Komisioner Komnas Perempuan.
Dari 65 kasus yang terjadi jika dilihat dari jenis kekerasannya kasus kekerasan seksual berbentuk fisik menempati posisi teratas dengan 33 kasus. Disusul dengan kasus pemerkosaan sebanyak 14 kasus. Sedang paling sedikit merupakan kasus perbudakan seksual dengan 1 kasus.
Dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat sebagian pekerja harus melakukan pekerjaanya dari rumah (work from home), tidak serta merta membuat pekerja aman dari ancaman kekerasan seksual.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan Never Okay Project, dari 65 kasus kekerasan seksual terdapat kasus berbasis online sebanyak 4 kasus dan berbasis visual sebanyak 5 kasus.
“Work from home tidak menghilangkan kekerasan dan pelecehan seksual, namun hanya memindahkan medianya saja, yang tadinya secara lisan menjadi stiker Whatsapp (teks),” tutur Nabiyla.
Reporter: Intan Yuni Triolita, Nisa Widi Astuti
Visualisasi Data: Nisa Widi Astuti
Editor: Pranoto