Mediasi DPM UII dan Aksi Tolak Pembungkaman Demokrasi di Kampus

Himmah Online, Kampus Terpadu – Minggu, 6 Januari 2019, Akbar Rahmad Putra selaku Ketua Komisi I Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII) memanggil tujuh pengguna media sosial Instagram, yang juga mahasiswa UII, terkait komentar mereka di akun @himmahonline. Akbar menilai bahwa komentar tujuh mahasiswa UII pada foto kegiatan Natal yang diunggah pada 4 Januari 2019 tersebut dapat terindikasi penistaan agama. Akbar memanggil ketujuhnya melalui pesan langsung di Instagram.

Pertemuan ketujuh pemilik akun Instagram yang dipanggil oleh DPM UII dilakukan secara terpisah. Tiga orang pertama melakukan mediasi di Kantor Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII pada Minggu sore, 6 Januari 2019. Kemudian empat orang lainnya menyusul untuk melakukan pertemuan dengan DPM UII di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Sardjito pada Senin, 7 Januari 2019.

Pertemuan kedua DPM UII di GKU diwarnai dengan adu argumentasi antara DPM UII, pemilik akun Instagram, dan juga dengan khalayak yang datang pada saat itu. DPM UII sendiri tidak mengira bahwa jumlah yang datang pada saat mediasi. “Ya mediasi awalnya saya agak kaget, karena pada awalnya manggilnya secara informal (red-hanya kepada tujuh orang tersebut)” ujar Akbar.

Pemanggilan ketujuh pengguna akun tersebut dilakukan oleh Akbar sendiri atas nama DPM UII. Ia mengaku bingung terkait cara pemanggilannya, sehingga ia melakukan komunikasi terkait hal itu melalui pesan langsung Instagram kepada tujuh pemilik akun tersebut.

Akbar mengatakan bahwa isi pemanggilan kepada tujuh orang itu berisi perkenalan diri dan maksud untuk bertemu dengan pemilik akun tersebut. DPM UII sendiri menyatakan bahwa adanya mediasi sendiri bertujuan untuk memfasilitasi agar hal-hal seperti ini tidak sampai ke bagian kemahasiswaan dan ingin bertabayun kepada ketujuh pemilik akun tersebut.

Namun, salah satu orang yang dipanggil terkait komentarnya di Instagram @himmahonline pada saat itu, Riska Fajri Salsabila yang dipanggil dengan Salsa, menangkap lain dari maksud Akbar. Ia merasa bahwa pemanggilan tersebut salah satu bentuk ancaman DPM UII kepadanya.

“Ya saya bingung, pada awalnya mendapat dm (red-direct message) atas nama DPM, padahal saya sudah menghapus komentar itu sebelumnya, dan saya tetap langsung meminta maaf pada saat itu juga,” ucap Salsa.

Setelah itu, Salsa mengonfirmasi kepada Akbar bahwa ia tidak bisa bertemu pada hari Senin. “Tetapi, ketika saya mengonfirmasi kalau hari Senin saya sedang tidak bisa untuk bertemu, tiba-tiba masnya bilang akan mengonfirmasi hal ini ke pihak direktorat kemahasiswaan. Saya makin takut dan bingung,” lanjutnya.

Ditambah lagi, Salsa mendapat pesan akhir dari DPM UII melalui Akbar yang berisi, “Sebelumnya kami memohon maaf jika keputusan yang kami buat di luar dugaan kami”. Salsa tidak mengerti maksud Akbar menyatakan seperti itu. Namun, Salsa mengaku efek pesan pemanggilan tersebut membuatnya takut untuk berkomentar lagi di media sosial.

DPM UII kemudian memaklumi penjelasan Salsa pada saat mediasi berlangsung dan menganggap permasalahannya sudah selesai. Walaupun pada saat mediasi berlangsung, beberapa orang menyayangkan sikap DPM UII terkait pemanggilan yang dilakukan.

Begitu pula Billy Hanggara, yang juga dipanggil terkait komentarnya di Instagram @himmahonline. Billy mempertanyakan terkait tabayun yang diucapkan oleh DPM. “Memang tabayun bentuknya seperti ini ya? Dengan cara memanggil teman-teman saya dengan nada intimidatif? Tabayun yang seperti apa? Apa dengan cara menyebarluaskan kembali hal ini di Instagram Story pribadi?” ujarnya.

Sebelumnya diketahui bahwa Akbar secara pribadi juga menyebarluaskan komentar-komentar di Instagram @himmahonline ini di Instagram Story miliknya. Terkait hal itu, Akbar meminta maaf jika beberapa orang merasa terintimidasi atas ajakannya untuk bertemu dan unggahan Instagram Story miliknya.

Kemudian, terkait empat orang lainnya yang dipanggil DPM UII, reporter himmahonline.id sudah mencoba menghubungi orang-orang tersebut. Namun, yang bersangkutan memohon maaf karena sedang tidak bersedia untuk diwawancarai. Lalu Reza Maraghi, salah satu yang sempat mendapat pesan langsung Instagram oleh Akbar atas nama DPM UII juga sudah mengklarifikasi komentarnya sehingga ia tidak hadir sebagai orang yang dipanggil pada saat mediasi.

Aksi Aliansi Demokratisasi Kampus pada saat Mediasi DPM UII

Mediasi DPM UII yang berlangsung pada Senin, 7 Januari 2019 di GKU Prof.Sardjito UII turut mengiringi aksi beberapa mahasiswa yang datang mengenakan selotip hitam untuk menutup mulutnya serta membawa atribut berupa tuntutan kepada DPM UII.

Aksi tersebut dilakukan dalam rangka melakukan seruan tolak pembungkaman ruang demokrasi di kampus yang dilakukan oleh Aliansi Demokratisasi Kampus. Aliansi Demokratisasi Kampus sendiri terbentuk dari kumpulan individu yang diantaranya juga tergabung dari beberapa komunitas yang ada di UII.

Menurut Rizaldi Ageng dan Alif Madani selaku koordinator aksi, aliansi ini berangkat dari akumulasi keresahan beberapa mahasiswa UII atas tertutupnya ruang demokrasi di UII. Aksi perdana yang dilakukan oleh aliansi tersebut diakui Aldi maupun Alif tidak hanya berdasarkan dengan apa yang terjadi kepada tujuh orang yang dipanggil DPM UII, tetapi untuk mewakili semua kasus pembungkaman demokrasi yang pernah terjadi di UII.

Akbar menanggapi tentang aksi yang menurutnya tidak memiliki sangkut paut dengan konteks mediasi ini. “Makanya saya bingung, aksi solidaritas membungkam demokrasi dari segi mananya. Kalau kita bicara masalah bungkam demokrasi, UU ITE (red- Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) itu semua membungkam demokrasi. Kalau mau berbicara lebih jauh. Tetapi karena saya basis bukan anak hukum, saya kira tak berhaklah,” ucapnya.

Terkait pengawalan kasus pemanggilan kepada tujuh pemilik akun Instagram tersebut, Aldi mewakili aliansi kemudian memperkuat alasannya tentang pembungkaman demokrasi yang dimaksud.

“Karena kita tidak berbicara jalur hukum kan ya, mereka cuma DPM dan legitimasi hukumnya kita patut mempertanyakan sebagai apa? Itu pertama. Memang komentarnya di kolom Himmah Online, tetapi kan disitu jejaring sosial. Jejaring sosial kan berarti dia pakai akunnya sendiri dan mempertanggungjawabkan apa yang dia katakan sendiri. Tidak ada sangkut pautnya dengan DPM,” jelasnya.

Alif kemudian menegaskan bahwa mereka bukan membela apa yang dikatakan dalam komentar-komentar tersebut. Menurut Alif, setiap yang berkomentar atas nama pribadi merupakan tanggung jawab mereka secara transendental. “Itu kan pertanggungjawaban dia secara transendental, antara dia dengan Yang Kuasa. Misal yang dipermasalahkan adalah maksud arti kata, itu saya kira yo kui (red- iya itu) urusan pribadi juga,” tambahnya.

Alif juga kemudian membuka cerita tentang pembungkaman yang kerap kali terjadi di UII. Pertama, saat akun Instagram @uiistory dianggap menyebarkan berita bohong dan mencemarkan nama baik organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kasus tersebut juga sempat diancam dilaporkan dengan dalih UU ITE. Kedua, kasus larangan penyelenggaraan diskusi komunitas Lingkar Studi Sosialis (LSS) oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum (DPM FH) UII dengan alasan administrasi izin walaupun menurut Aldi setelah ditelaah terdapat alasan lain terkait kriteria organisasi eksternal.

Ketiga, kasus video yang diunggah komunitas Judul Skripsi di kanal Youtube terkait dengan Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa) UII dengan alasan pencemaran baik. Kasus tersebut diketahui sudah dilaporkan kepada kepolisian terhadap Adnan dengan dalih hukum yang sama, yaitu UU ITE. Kemudian yang terakhir, dalih UU KUHP 156 A membayangi ketujuh orang yang dipanggil DPM UII atas komentarnya di sosial media.

Bersangkutan tentang pembungkaman demokrasi, Zikra Wahyudi yang menghadiri mediasi kemudian membuka pertanyaan tentang apa yang selama ini terjadi di UII. Ia mempertanyakan sejauh mana komitmen DPM UII dalam menjaga ruang demokrasi di UII.

“Kita tahu itu pasal-pasal karet. Dan semestinya kita sebagai mahasiswa meng-counter pasal-pasal itu. Kemarin itu Adnan yang dilaporkan oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) yang juga merupakan DPM FE UII. Saya hanya mempertanyakan bagaimana respon dari mahasiswa FE itu sendiri? Ditambah lagi pesan mas Akbar yang bocor, ‘Oh, kasus ini bisa kena dua sampai enam semester skorsing’. Saya memikirkan apakah secepat itu ya mikirnya,” imbuh Zikra.

Dimas Nugraha selaku Wakil Ketua DPM UII kemudian mengklarifikasi bahwa apa yang terjadi terhadap kasus Adnan merupakan pelaporan pribadi dari Indra Bayu yang sekarang merupakan DPM FE UII terpilih. Sehingga pelaporan tersebut tidak mengatasnamakan DPM UII tetapi murni dari Indra Bayu kepada Adnan.

Begitu pula terkait obrolan Line yang sudah tersebar luas, ia menjelaskan bahwa itu ada konteks yang hilang dari keseluruhan cerita yang terjadi. Dimas kemudian menambahkan, “Mengapa mas Akbar menyampaikan itu? Karena pada saat itu tidak ada yang menaruh perhatian pada video itu. Ini kan melihat situasi dan kondisi yang terjadi di kampus kita? Nah maksud Akbar adalah sarkas,” jelasnya.

Aldi menanggapi hal tersebut saat diwawancarai seusai mediasi DPM UII. “Sering kebalik narasinya. Tadi ngomong Judul Skripsi (red-pelaporan Adnan karena video Judul Skripsi) itu permasalahan pribadi, itu ungkapan teman-teman DPM. Sekarang masalah pribadi (red- komentar individu di Instagram Himmah Online), mereka bawa-bawa ke urusan organisasi. Itu kan lucu kalo menurut saya,” tanggapnya.

Alif juga secara pribadi berharap individu-individu yang mempunyai jabatan dalam DPM UII tidak menggunakan pasal-pasal tersebut.

“Karena UU ITE sendiri, pada praktiknya itu selalu hampir sering digunakan bahkan oleh penguasa yang punya kuasa lebih untuk mementung orang-orang yang ada di bawah ini, dalam hal ini bisa jadi kami. Sebagai mahasiswa harusnya permasalahan-permasalah seperti ini bisa berakhir di ruang diskusi,” tambahnya.

Alif khawatir hal seperti ini membuat mahasiswa UII menjadi semakin apatis dan takut untuk berpendapat, disaat ia berharap mahasiswa seharusnya bisa aktif dalam mengawal kelembagaan.

Aldi kemudian menambahkan, “Sebenarnya seperti ini, coba balik saya bertanya kepada DPM. Narasi-narasi untuk pelaporan pasal penodaan agama dan lain sebagainya yang membangun kan malah mereka, DPM UII beralasan ‘kita takut nanti teman- teman yang berkomentar itu dilaporin’. Kan mereka yang membangun narasi itu, intinya DPM itu disini sebagai apa? Sebagai Dewan Perwakilan Mahasiswa yang menyalurkan aspirasi-aspirasi dan menjaga ruang demokrasi kampus, atau dia sebagai polisi moral?” pungkasnya.

Dimas kemudian memutuskan untuk mengambil jalan tengah untuk menenangkan situasi yang terjadi pada saat mediasi. Ia mengatakan bahwa akan menghubungi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pemilwa UII untuk mempublikasikan hal yang sebenarnya terkait pada kasus pelaporan Adnan.

Kemudian ia mengakhiri mediasi tentang pemanggilan terhadap tujuh orang yang berkomentar di Instagram @himmahonline. ”Kalau seperti itu berarti ini memang kekeliruan, bahwa maksud dari teman-teman tidak seperti yang ditanggapi oleh teman-teman lain. Saya juga akan menyampaikan hasil dari tabayun ini. Nanti di akun DPM, kami kabarkan terkait posting-an kemarin tidak ada masalah dan sudah clear,” ucap Dimas.

Akbar kemudian menambahkan, “Kami kan tidak ingin memperpanjang masalahnya. Ya kalau dari teman-teman sendiri seperti itu, saya dari diri saya pribadi memohon maaf jika menganggap itu ancaman. Dan saya juga akan buat posting-an (red-permohonan maaf) juga secara pribadi. Nanti yang pribadi ada, DPM juga ada,” terangnya.

Namun, sampai berita ini diterbitkan, belum ada permohonan maaf dari Akbar secara pribadi dan siara pers dari DPM UII seperti yang dijanjikan pada saat konklusi mediasi kemarin.

Sementara itu, Aldi selaku koordinator aksi pun angkat berbicara sebelum mediasi yang dilakukan oleh DPM UII dibubarkan. Ia menyampaikan lima tuntutan utama dari aksi oleh Aliansi Demokratisasi Kampus.

Pertama, pecat anggota Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII yang anti demokrasi. Kedua, menolak penyalahgunaan jabatan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII untuk melakukan kriminalisasi terhadap mahasiswa. Ketiga, menolak penggunaan pasal-pasal karet UU ITE dan pasal penodaan agama yang menciderai demokrasi di ruang akademik UII. Keempat, buka kebebasan demokrasi di ruang akademik UII. Dan yang terakhir, ciptakan ruang akademik yang demokratis, ilmiah, dan menjunjung tinggi budaya dialektika.

Alif kemudian dalam sesi wawancara usai mengawal mediasi DPM UII mengatakan bahwa aksi-aksi seperti ini tidak akan berhenti pada saat mediasi ini saja.

“Siapa pun yang mendapatkan pembungkaman atas demokrasi di UII, kami akan selalu ada di belakang untuk mengawal mereka,” tutup Alif.

Editor: Hana Maulina Salsabila

Skip to content