Tidak Ada Padi yang Tiba-Tiba Merunduk

Di kampusnya, Sumerat merupakan orang yang biasa-biasa saja. Tidak pintar, tidak juga bodoh. Tapi teman-teman di kelasnya mengenalnya sebagai mahasiswa yang kritis. Paling sering bertanya kepada teman-temannya yang sedang presentasi, paling cepat menjawab pertanyaan yang dilemparkan dosen, dan paling senang menyanggah jawaban mahasiswa lain yang coba menyampaikan argumennya.

Di semester awal, setiap mata kuliah yang diikutinya selalu ramai dan riuh karena dia. Di awal-awal semester itu dia sangat aktif. Dia selalu melemparkan pertanyaan, menjawab pertanyaan, atau setidaknya menanggapi sebuah jawaban. Teman-teman kelasnya sampai risih dengan ulahnya itu. Dosen pun muak. Terkadang dia tak diberi ruang untuk bertanya, karena pertanyaan-pertanyaanya itu terkadang membuat dosen kualahan untuk menjawabnya. Dia seperti menberikan pertanyaan yang kesannya hanya untuk mengetes saja.

Sampai pada akhirnya, semester satu dan dua dilewatinya.

Di semester tiga dia masih satu kelas dengan teman-temannya di semester satu dan semester dua. Di semester tiga, Sumerat berbeda. Dia tak lagi aktif tanya-jawab, tak lagi kritis di dalam kelas. Di awal pertemuan semester tiga itu, dia duduk seperti biasa di pojok paling belakang kelas. Dia hanya diam dan khusyuk memperhatikan penjelasan dosen atau memperhatikan teman-temannya yang memiliki giliran presentasi di hari itu. Hal itu membuat teman-temannya heran. Sumerat tak lagi kritis, tak lagi aktif di kelas.

Suatu ketika, Jakir, teman dekatnya Sumerat itu memiliki giliran untuk presentasi di depan kelas. Setelah memaparkan presentasinya, Jakir mempersilakan jika ada yang ingin bertanya. Tapi tak ada satu pun mahasiswa yang bertanya. Karena Sumerat yang biasanya paling sering bertanya di kelas dan hampir tidak pernah absen bertanya itu, hanya diam saja. Terlebih jika Jakir yang presentasi, Sumerat pasti paling geger untuk bertanya. Sumerat dan Jakir selalu beradu argumen di kelas, berdebat dan menjadi tontonan menarik mahasiswa lain di kelas. Mereka berdua seolah-olah seperti para politisi di televisi.

Karena kelas mulai terasa garing, tiba-tiba semua mata mahasiswa di kelas itu mulai tertujuju kepada Sumerat, tak terkecuali dosen yang mengajar di hari itu.

Merasa dirinya menjadi bahan perhatian di kelas itu, Sumerat bersikap biasa saja dan tetap santai. Tapi lama-lama dia merasa malu. Dia kemudian menundukkan kepalanya.

“Sumerat, apa kamu tidak mau bertanya?” tanya dosen yang di semester satu dulu juga mengajarinya itu.

Sumerat diam. Tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya. Dia tak mengiyakan, tak juga bilang tidak.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya dosen lagi. “Biasanya dulu kamu yang paling aktif, kamu yang paling kritis.” lanjutnya.

Sumerat tetap saja diam. Sampai pada akhirnya jam yang menempel di dinding belakang kelas itu menunjukkan pukul 17.30 WIB. Kelas pun berakhir.

Setelah kelas berakhir, Sumerat beranjak menuju parkiran motor.

“Sum, tunggu…!” teriak Jakir dari belakang yang bergegas menemuinya. “Nanti malam ngopi ya…” lanjutnya.

“Oke. Dimana?”

“Tempat biasa.”

“Siap…”

Malamnya, di sebuah warung kopi yang tak jauh dari kampus, di tempat biasa mereka ngopi, Sumerat dan Jakir duduk di bagian tengah warung kopi itu setelah memesan secangkir kopi untuk dirinya masing-masing.

“Sum, kenapa di semester ini kau hanya diam saja di kelas?” tanya Jakir membuka percakapan.

“Karena aku tidak berbicara.”

“Ah, kau ini. Aku serius.”

“Aku juga serius. Aku puasa bicara di kelas. Hahaha…” Sumerat tertawa.

Sepertinya Jakir serius ingin tau kenapa Sumerat tak lagi sekritis dulu. Tapi Sumerat memberikan jawaban yang tidak serius. Jakir heran, terlintas beberapa pertanyaan di dalam kepalanya. Apa yang telah merububah perilaku sahabat karibnya itu sehingga 181 derajat perilakunya berbeda sekali saat di kelas. Apakah dia pernah bertemu orang bijak yang kemudian menasehatinya untuk tidak banyak bertanya agar tidak menyudutkan orang? Atau apakah dia pernah membaca buku-buku bijak yang kemudian menginspirasinya?

“Tidak usah bingung begitu Jak,” sahut Sumerat tiba-tiba. “Aku tidak kenapa-kenapa kok. Aku begini karena tidak ingin orang-orang di kelas membeciku. Aku mulai sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan yang ku lontarkan selama ini di kelas membuat mereka merasa disudutkan. Dan juga jawaban-jawaban yang ku sampaikan itu membuatku merasa paling benar.”

“Hah… Tapi apa yang membuatmu sadar sehingga bisa merubahmu seperti itu?”

“Mungkin hidayah dari Tuhan.” jawab Sumerat cengengesan.

“Ah, kau bercanda lagi. Aku serius!”

“Baik… Begini Jak, sebetulnya aku pernah membaca sebuah cerpen karya Rusdi Mathari yang berjudul Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Buku itulah awal mula yang merubah perilakuku saat ini. Buku itu membuatku berpikir tentang realitas kehidupan yang kita jalani saat ini. Khususnya kehidupan yang kujalani saat ini. Termasuk kenapa aku tidak sering bertanya lagi di kelas, karena aku ingin lebih banyak mendengar daripada banyak bicara.”

“Ya… ya… keren… Sum!”

“Tapi, untuk kali ini aku lebih banyak bicara karena kau sepertinya ingin tau sekali. Aku takut kau mati penasaran kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu.”

“Iya… iya… Terus apa lagi Sum?”

“Terus, kopi kita sudah habis ini. Boleh kau pesankan lagi?”

“Ha…ha…ha… Baiklah. Tapi setelah itu kau cerita lagi ya!” Pinta Jakir.

“Siap bosque…”

Jakir pun pergi memesan kopi. Sementara menunggu Jakir yang pergi memesan kopi, mata Sumerat teruju kepada sepasang kekasih yang sedang duduk di bagian pojok warung kopi itu.

Enak sekali bisa duduk ngopi berdua bersama kekasih, pikirnya. Sumerat pun mulai berandai-andai kalau dia memiliki seorang kasih yang bisa menemaninya ngopi.

Belum selesai dia menghayal, Jakir datang membawa kopi yang telah dipesannya.

“Ini kopinya Sum. Lanjutkan ceritanya!”

“Oke. Coba lihat sepasang kekasih yang di sebelah sana itu Jak,” Sumerat menunjuk ke arah pojok sebelah kiri warung kopi itu. “Enak ya, bisa ditemani ngopi sama orang yang kita cintai.” lanjutnya.

“Siapa bilang dia mencintainya? Siapa tahu lelaki itu hanya main-main saja.”

“Kalau dia main-main, perempuan itu buat aku saja.”

“Mana mau dia sama kau Sum!”

“Siapa tau mau, kan lagi berandai-andai.”

“Ha…ha…ha… Terserah kau Sum! Eh, kenapa jadi bahas mereka. Ayo lanjutin ceritamu!”

“Oke. Jadi gini Jak, setelah aku membaca buku itu, aku tiba-tiba teringat kata-kata pepatah yang bilang Jadilah Seperti Padi, Semakin Berisi Semakin Merunduk. Kemudian aku pikir-pikir, untuk menjadi seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk itu, kita perlu melewati prosesnya yaitu dari benih kemudian menjadi padi muda yang tegak seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia tinggi dan seolah-olah ia berisi tapi nyatanya ia masih kosong.”

Sumerat menyeruput kopinya, Jakir serius memperhatikan Sumerat bercerita, sepasang kekasih yang duduk di bagian pojok itu sibuk dengan smartphonenya masing-masing.

“Nah, aku mulai menyadari bahwa saat itu aku merasa sedang di posisi padi muda itu. Yang sombong, yang paling tahu segalanya. Dan pikirku, aku harus melewati itu untuk menjadi padi yang semakin berisi semakin merunduk.”

Sumerat kembali menyeruput kopinya, Jakir tidak. Dia serius dan terkagum-kagum mendengar cerita Sumerat.

“Sebelum lanjut, minum dulu kopimu Jak. Kasian, nanti kopimu basi.” Sumerat cekikan.

“Iya… iya… Siap. Lanjutin Sum!” sahut Jakir.

“Setelah itu aku mulai ingat kata-kata sahabat nabi yaitu Umar Bin Khattab yang diceritakan guruku dulu sewaktu duduk di bangku MTs. Umar Bin Khattab berkata bahwa; ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan rendah hati (tawaddhu’). Dan jika ia memasuki tahapan ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”

“Oh… Aku juga pernah mendengar kata-kata itu sewaktu duduk di bangku SMP dulu. Terus ada lagi tidak yang merubah perilakumu saat ini Sum?”

“Sebetulnya ada satu lagi Jak. Kau pernah nonton sinetron serial azab yang di Indosiar itu kan?”

“Pernah. Tapi apa hubungannya dengan itu?”

“Dari sinetron itu kan banyak muncul meme-meme. Nah, salah satu meme itu menyadarkanku untuk tidak banyak bertanya lagi saat teman presentasi. Meme itu bilang gini; jenazah susah mingkem akibat sering bertanya waktu teman presentasi.” Sumerat menujukkan meme yang dia maksud itu.

“Ha…ha…ha…ha…” Jakir tertawa sangat keras.

Tawa Jakir sontak membuat mata orang-orang di warung kopi itu tertuju kepada mereka berdua. Mereka berdua yang duduk di bagian tengah itu menjadi bahan perhatian semua orang. Tak terkecuali sepasang kekasih yang duduk di bagian pojok itu. Sepasang kekasih itu terlihat merasa terusik oleh suara tawanya Jakir. Tapi, karena tawanya Jakir itu pula sepasang kekasih itu sadar bahwa berjam-jam mereka duduk berdua namun mereka hanya sibuk dengan smartphonenya masing-masing.

Sepasang kekasih itu lantas pergi. Sumerat dan Jakir pun beranjak dari tempat duduknya. Sumerat melihat sepasang kekasih itu berjalan menunduk sembari terus memelototi layar smartphonenya masing-masing.

Skip to content