Himmah Online – Sepak bola merupakan salah satu olahraga terpopuler di dunia. Akan tetapi, sepak bola masih dikaitkan dengan hal yang bersifat maskulin. Perempuan yang menjadi pemain sepak bola dianggap sebagai hal yang tidak biasa, aneh, unik, serta masih ditabukan.
Sepak bola diidentikkan sebagai olahraga yang sangat kasar dan keras dalam permainannya. Pemain sepak bola diharuskan untuk berlari, berbenturan dengan lawan, merebut bola, dan lain sebagainya. Karena hal tersebut, masyarakat patriarki menganggap sepak bola hanya cocok jika yang memainkannya laki-laki, sebab perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah.
Anggapan bahwa sepak bola adalah olahraga yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki, membuat sepak bola wanita cenderung kurang mendapat sorotan media karena dianggap kurang kompetitif.
Walaupun demikian, semakin hari perempuan mulai tertarik pada sepak bola. Ditandai dengan mulai bermunculannya pemain dan klub sepak bola wanita.
Misalnya, seperti tim terpopuler U.S. Soccer Women National Team (USWNT) atau Tim Nasional Sepak Bola Wanita Amerika Serikat dan FC Barcelona yang sedang berkembang pesat.
Penggemar sepak bola wanita pun tidak dapat diremehkan. Salah satu contohnya adalah pertandingan antara FC Barcelona melawan Real Madrid dalam kompetisi UEFA Women’s Champions League atau Liga Champions Wanita pada Rabu 30 Maret 2022 lalu. Laga perempat final yang digelar di Camp Nou–kandang FC Barcelona–tersebut berhasil menarik 91.553 penonton.
Jauh sebelum laga tersebut digelar, pada 1921 pertandingan sepak bola wanita yang diadakan di Everton mencapai angka 53.000 penonton. Namun, Football Association (FA) atau Asosiasi Sepak Bola Inggris justru mengambil tindakan negatif.
Karena khawatir sepak bola pria akan kalah secara popularitas, pejabat FA mengeluarkan dekrit yang melarang sepak bola wanita. Pada tahun 1955 Jerman dan Belanda juga melarang sepak bola wanita dengan alasan yang sama: sepak bola bukan untuk perempuan.
Sepak bola wanita yang saat itu mulai naik daun, langsung turun drastis.
Pada tahun 1970 tiga negara Eropa mulai mengizinkan kembalinya sepak bola wanita. Sejak itu, sepak bola wanita modern telah berkembang, dan pada tahun 1991 Piala Dunia Sepak Bola Wanita diadakan. Beberapa klub telah membentuk tim wanita dan mengadakan kompetisi mereka sendiri.
Selain itu, banyak merek atau brand kelas dunia mulai melirik atlet perempuan sebagai representasi dari produk mereka, karena terdapat daya tarik tersendiri dari atlet perempuan yang tidak dimiliki oleh atlet laki-laki.
Menurut Majalah TIMES, pesepak bola AS Megan Rapinoe menjadi salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia pada tahun 2020.
Laju Sepak Bola Perempuan di Nusantara
Di Indonesia, sepak bola mulai diminati pada masa kolonialisme Belanda. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta. Beberapa klub sudah berdiri, seperti Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ), Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB), Vorstenlandsche Voetbal Bond Solo (VVBS), Inlandsche Voetbal Bond Magelang (IVBM), dan Soerabaya Inlandsche Voetbal Bond (SIVB).
Sejarah sepak bola wanita di Indonesia dimulai pada tahun 1969 dengan dibentuknya tim Putri Priangan. Tim tersebut menjadi penanda awal dari sejarah perkembangan sepak bola wanita di Indonesia untuk mengikuti perkembangan sepak bola wanita di Eropa dan Asia.
Munculnya tim Putri Priangan yang dibentuk di Bandung menjadi pionir lahirnya klub-klub sepak bola wanita lainnya. Hal tersebut yang mendorong PSSI mendirikan tim atau klub sepak bola wanita di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Magelang.
Di balik banyak bermunculannya klub-klub sepak bola wanita di Indonesia, terdapat sosok yang menjadi pionir pendirian klub sepak bola wanita di Indonesia. Ia adalah Wiwi Hadhi Kusdarti, sosok wanita yang mendirikan kesebelasan Putri Priangan.
Naluri sepak bola Wiwi menurun dari ayahnya, Kadarisman, salah seorang pesepak bola era penjajahan Belanda sebelum Perang Dunia II. Wiwi berinisiatif mendirikan tim sepak bola wanita karena saat itu di Indonesia belum ada, tidak seperti di luar negeri yang sudah memiliki klub sepak bola wanita dan sudah sangat berkembang.
Dari keresahannya itu, ia mengirimkan tulisan kepada salah satu surat kabar di Bandung pada Januari 1969. Hingga pada akhirnya sampai kepada seorang pendiri klub sepak bola Putra Priangan, yakni Haji Mahdar. Mahdar kemudian menghubungi petinggi Persib Bandung untuk merealisasikan keinginan Wiwi dan terbentuklah Putri Priangan pada Februari 1969.
Namun, beberapa surat kabar memberikan kecaman terhadap munculnya sepak bola wanita. Hingga salah satu media nasional menuliskan sebuah tulisan yang berjudul “Sepak Bola Wanita Runtuhkan Akhlak”.
Tetapi hal tersebut tidak terlalu dipusingkan oleh Wiwi. Menurutnya, meski dihadapkan dengan kecaman buruk, sepak bola wanita justru semakin berkembang ke berbagai daerah Indonesia, seperti Tegal, Solo, Malang, dan Ambon.
Pada tahun 1979, kompetisi nasional untuk mewadahi sepak bola wanita lahir. Kompetisi tersebut bernama Galanita.
Empat puluh tahun setelahnya, kompetisi domestik Liga 1 Putri lahir dan menjalani musim perdana pada 2019. Persib Bandung Putri keluar sebagai juaranya. Namun di tahun-tahun berikutnya hingga kini, Liga 1 Putri belum kunjung berjalan kembali.
Saat ini, sepak bola wanita di Indonesia dinaungi oleh Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia atau ASBWI yang resmi didirikan pada 7 Desember 2017 lalu di Palembang. ASBWI memiliki 12 anggota Asosiasi Provinsi. Mereka adalah Asprov PSSI Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Papua, Sulawesi Selatan, dan Banten.
Reporter: Magang Himmah/Jihan Nabilah, Ibrahim, Parditha Eka Putri
Editor: Monica Daffy