Pendekatan Mubadalah dan Maqashid Syariah Jadi Landasan Pengambilan Keputusan KUPI II

Himmah Online – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II resmi dibuka pada Kamis malam (24/11) di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Pembukaan ini dihadiri oleh beberapa menteri, perwakilan dari 31 negara sahabat, serta sebagian peserta dan pengamat KUPI II.

Dalam sambutannya, Masruchah selaku ketua panitia KUPI II, menyatakan bahwa KUPI selalu menggunakan pendekatan mubadalah dan maqashid syariah sebagai landasan untuk mengambil keputusan.

Dilansir dari Kupipedia, mubadalah adalah relasi antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada cara pandang dan sikap untuk saling menghormati satu sama lain. Sedangkan maqashid syariah diartikan sebagai pemahaman atas maksud dan tujuan hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia.

“KUPI selain menggunakan makna tasawwur dan landasan sosiologis, kami juga menggunakan pandangan atau pengalaman korban, selain tag-tag keagamaan, maupun aqwalul ulama yang relevan dengan isu yang dibahas dan tentunya konstitusi,” tutur Masruchah.

Lebih lanjut, Masruchah menjabarkan bahwa pandangan keagamaan KUPI tersebut yang menjadi pertimbangan untuk menjadikan fatwa KUPI sebagai pijakan pemerintah. Contohnya dalam Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) ketika disahkan menjadi UU TPKS.

“Karena KUPI punya pendekatan keagamaan dan pendekatan korban, termasuk konstitusi. Itu uniknya KUPI, dan ini yang tidak dimiliki oleh Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah atau ormas (organisasi masyarakat) yang lainnya,” tambahnya.

Berkaitan dengan RUU TPKS, Badriyah Fayumi sebagai Ketua Majelis Musyawarah KUPI menjabarkan tentang bagaimana banyak pihak yang mengatasnamakan Islam menolak keras RUU tersebut.

“Kalau ormas Islam yang memberikan dukungan itu banyak, tapi kami sampaikan, KUPI lah satu-satunya dari bukan organisasi. [Tapi] dari suara ulama Islam, yang telaten berdialog, diajak berdialog pemerintah. Kami semua selalu hadir dan alhamdulillah apa yang kami sampaikan didengar dan kemudian mempengaruhi kebijakan,” jelas Badriyah.

Saat membahas tema halaqah yang nantinya akan diadakan sepanjang jalannya kongres, Badriyah menegaskan bahwa pengalaman perempuan menjadi pertimbangan yang penting sehingga apapun yang dihasilkan dalam KUPI II harus menghadirkan kemaslahatan dan keadilan hakiki. Ia juga menambahkan bahwa hasil kongres harus menunjukkan relasi mubadalah.

Setelah mendapatkan rekognisi dari pemerintah maupun dunia internasional, Badriyah berharap semua yang ikut andil dalam KUPI II untuk bekerja lebih serius lagi untuk melakukan kaderisasi, edukasi, dan diseminasi. Menurutnya, edukasi tidak hanya dilakukan pada tingkat-tingkat elite saja, tapi juga pada masyarakat umum.

Pembukaan KUPI II turut disemarakkan oleh penampilan tari bedayan, lantunan selawat musawah oleh santri putri Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, grup vokal Sanada Voice, dan penampilan baca puisi oleh perwakilan peserta dari berbagai daerah yang jadi penanda bahwa KUPI II resmi dibuka.

Reporter: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari dan Magang Himmah/Nurhayati

Editor: Pranoto

Skip to content