HIMMAH Online, Yogyakarta – Menanggapi masifnya perampasan tanah yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, senin 28 November lalu, perwakilan kelompok tani dari beberapa wilayah konflik agraria seperti Wahana Tri Tunggal (WTT) Kulonprogo, Paguyuban Petani Surokonto Wetan (PPSW) Kendal, Serikat Tani Kubu Raya (SKTR) Kalimantan Barat, Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPTB), dan Organisasi Petani Perempuan Wongsorejo Banyuwangi (OP2WB) berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Pada acara tersebut, mereka melakukan pernyataan sikap bersama atas perampasan tanah yang terjadi di daerah masing-masing secara khusus dan di Indonesia pada umumnya. Kemudian, pernyataan sikap bersama yang telah ditandatangani oleh masing-masing perwakilan kelompok tani tersebut akan dikirim kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di dalam siaran pers yang dirilis oleh kelompok tani tersebut dipaparkan bahwa pembangunan yang dilakukan secara masif di Indonesia saat ini kenyataannya tidak manusiawi. Pembangunan yang terjadi malah menggusur ruang hidup masyarakat, terutama kaum tani yang sumber penghidupannya adalah tanah. Pembangunan yang berlangsung juga telah merenggut nilai-nilai sejarah, sosial, budaya, dan lainnya yang ada pada masyarakat. Seperti rencana pembangunan bandara internasional Yogyakarta dan konflik lahan di Surokonto Wetan misalnya.
Martono dari WTT menceritakan bahwa rencana pembangunan bandara telah mengancam sejarah kehidupan desanya. “Kami sudah turun temurun di sini. Ada sejarah desa kami baik dari peninggalan sebelum masehi sampai sekarang. Ada bukti prasasti dan sebagainya.” Ancaman terhadap nilai-nilai sejarah yang telah dibangun juga dipaparkan oleh Hasan Bisri dari PPSW. Ia mengatakan bahwa sejak dulu petani Surokonto Wetan hidup dari lahan pertanian yang mereka garap secara turun temurun. “Banyak juga peninggalan makam leluhur kami di tanah tersebut.”
Bersama dengan berkumpulnya kelompok-kelompok tani tersebut, mereka menuntut presiden Jokowi untuk: pertama, menghentikan perampasan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Kedua, menghentikan represifitas terhadap petani. Ketiga, Menghentikan kriminalisasi terhadap petani Surokonto Wetan dan petani Kubu Raya Kalimantan Barat. Keempat, Membatalkan pembangunan bandara internasional Kulonprogo. Kelima, menghentikan proses pengadaan tanah di kecamatan Temon Kulonprogo sekarang juga. Keenam, membatalkan penetapan kawasan hutan Surokonto Wetan. Ketujuh, membatalkan sengketa tanah di Wongsorejo. Kedelapan, melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan menarik semua aparat dari Kubu Raya. Kesembilan, melaksanakan reforma agraria.
Terkait pernyataan sikap bersama ini Bara Pratama dari SKTR berharap kaum tani terus membangun silaturahmi dan kekuatan bersama untuk melawan segala bentuk perampasan tanah yang terjadi di Indonesia. Ia berharap kaum tani membangun solidaritas. Selain itu, “kami dari SKTR juga mendukung penuh perjuangan kaum tani di Indonesia yang menuntut haknya atas tanah,” paparnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nurkholisa dari OP2WB yang mengungkapkan kepada setiap kelompok tani untuk dapat menemani mereka memperjuangkan hak-haknya sebagai petani, agar mereka tidak dianiaya oleh pemerintah dengan alasan industrialisasi. “Intinya maunya petani hidup tenang dan damai. Sampai anak cucu kami.” Ia pun berharap acara tersebut bisa menjadi bagian dari perjuangan kaum tani. Serta, acara tersebut dapat menyebarluaskan penindasan yang dialami kaum tani yang terjadi di daerahnya dan juga daerah-daerah lainnya.
Mengomentari pertemuan antar kelompok tani yang berlangsung, Hamzal Wahyudi, Direktur LBH Yogyakarta mengatakan bahwa acara tersebut adalah momentum untuk menyatukan gerakan rakyat di Indonesia. “Momentum rakyat sebagai korban yang digusur dari lahan petaniannya dan akan dialihfungsikan untuk pembangunan rezim Jokowi.”
Hamzal juga mengomentari pembangunan di masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak partisipatif. Hal ini mengacu pada banyaknya penolakan yang terjadi terhadap rencana pembangunan yang dicanangkan di Indonesia. Terkait pembangunan sendiri menurutnya ada dua aspek yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, daya dukung. Artinya setiap pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah harus diterima oleh masyarakat. Jangan sampai masyrakat tidak diberikan ruang partisipasi. “Jika sampai (Masyarakat-red) tak diberikan tempat untuk bisa berpartisipasi artinya kita kembali ke zaman Soeharto. Tidak partisipatif dan otoriter.”
Kedua, daya tampung. Menurutnya pemerintah harusnya bisa melihat apakah ketika akan melakukan pembangunan di suatu lokasi, akan menggusur ruang hidup masyarakat atau tidak. “Apakah ketika melakukan perencanaan pembangunan ada sumber penghidupan warga atau tidak. Apakah pemerintah melihat jika di lokasi pembangunan sudah ada pemukimannya atau belum. Itu juga harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah ketika berbicara soal rencana pembangunan nasional,” papar Hamzal.
Terakhir Hamzal juga menyampaikan bahwa pertemuan ini menjadi pesan kepada Presiden Jokowi bahwa di Yogyakarta sudah ada pertemuan organisasi besar di Indonesia yang ingin menyampaikan keluh kesahnya. “Nanti kita akan kirim ke Jokowi sehingga ia bisa mengevaluasi segala program perencanaan jangka menengahnya dan bisa turun ke lapangan. Bisa melihat sejauh mana penderitaan yang dialami oleh warga yang saat ini sedang terkena dampak pembangunan,” ungkapnya. (Nurcholis Ainul R.T.)