PKL dan Pendorong Gerobak Kawasan Malioboro Hadapi Tantangan Relokasi

Himmah Online – Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Malioboro, Kota Yogyakarta, DIY yang dilakukan oleh Pemerintah DIY menimbulkan kekhawatiran bagi PKL. Tidak hanya PKL, pendorong gerobak serta masyarakat kecil yang selama ini telah bekerja selama bertahun-tahun di kawasan Malioboro juga tidak lepas dari dampaknya.

Alasan relokasi dilakukan guna penataan kawasan Malioboro yang akan didaftarkan sebagai sumbu filosofis warisan budaya tak benda ke UNESCO. Para PKL Malioboro direlokasi ke Teras 1 yang merupakan bekas Gedung Bioskop Indra dan Teras 2 di bekas Gedung Dinas Pariwisata DIY. 

Upik yang merupakan salah satu PKL Malioboro merasa keberatan apabila direlokasi. Terlebih lagi setelah 2 tahun masa pandemi Covid-19 dan juga adanya PPKM. 

Pada bulan November lalu, ia menerima sosialisasi relokasi PKL di Malioboro yang dijelaskan pada bulan Januari. Dari sosialisasi tersebut, para PKL harus pindah ke tempat relokasi. Hal ini dirasa berat oleh Upik dan ayah-ibunya yang telah berjualan sejak tahun 60-an di Malioboro. 

“Saya juga bingung mau seperti apa, yang akhirnya Alhamdulillah,  bertemu dengan temen-temen LBH dibantu, didorong, di-support, sehingga kami bisa beraudiensi dengan DPRD. DPRD sudah membentuk Pansus yang istilahnya membantu jalannya relokasi,” terangnya pada acara Diskusi Publik dan Konsolidasi berjudul “Malioboro Indah Tanpa Menindas” yang diselenggarakan oleh LBH Yogyakarta pada hari Jumat, 28 Januari 2022 di Kantor LBH Yogyakarta.

Meski demikian, ia dan para PKL menginginkan adanya penundaan relokasi ini. Menurut Upik, penting adanya keterbukaan dari pemerintah soal tempat yang layak dan jaminan apakah laku atau tidak bagi mereka yang belum mereka dapatkan.

”Jadi kalau tentang informasi  apapun tentang relokasi mohon maaf kami hanya tahu lewat media massa,” tambahnya. 

Ia mengungkapkan pemerintah hanya hanya memberitahu letak lapak berjualan, namun tidak dengan berapa ukuran luasnya. Upik menyayangkan tidak adanya pendekatan humanis kepada PKL oleh Pemerintah DIY.

“Ini yang sangat saya sayangkan, tidak adanya pendekatan humanis, jadi kami seakan-akan seperti barang saja,” katanya.

Upik juga menilai bahwa relokasi ini dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Pasalnya, saat melakukan audiensi dengan DPRD dan Walikota. hasil dari audiensi tersebut, ia dan para PKL mendapat tanggapan bahwasanya tidak ada dokumen perencanaan di mana terdapat hampir 2000 PKL yang terdampak. 

“Pada saat pelaksanaan pembangunannya itu pun memang yang di Indra sudah dibangun lama tapi yang di Shelter (Teras-red) 2 yang di eks Gedung Dinpar itu dibangun dulu baru ada pendataan anggota,” keluhnya. 

Kekhawatiran juga dirasakan oleh para pendorong gerobak. Fuad, selaku perwakilan dari pendorong gerobak kawasan Malioboro, mengatakan selama ini ia dan pendorong gerobak lain merasa dinafkahi dan dimanusiakan oleh PKL. Keberadaan pendorong gerobak bersama dengan PKL turut ikut menjaga kebersihan dan keamanan Malioboro. 

Setelah mendapat kabar relokasi PKL empat bulan yang lalu, ia telah merasakan dampak berupa kehilangan relasi dengan para PKL dalam menjaga kebersihan dan keamanan Malioboro. Selain itu, relokasi juga dikhawatirkan akan menghilangkan pekerjaan mereka. 

Pada masa pemulihan ekonomi akibat pandemi, ia mengungkapkan rasa senang dan terima kasihnya kepada para PKL. Namun, setelah itu ia mendengar kabar akan adanya relokasi sehingga menimbulkan kebingungan.

“Kalau direlokasikan dalam waktu dekat PKL pindah, lalu apa yang akan kami kerjakan? Padahal saya sepuluh tahun menjadi pendorong gerobak, ada teman-teman yang dua puluh, dua puluh empat, itu mengandalkan dari PKL,” keluhnya. 

Fuad menyampaikan dua permohonan dari para pendorong gerobak kepada Pemerintah Kota Yogyakarta berupa penundaan relokasi dan pekerjaan yang layak. Penundaan tersebut perlu dilakukan untuk memberi kesempatan kepada para pendorong gerobak untuk mencari pekerjaan lain.

“Kami melalui audiensi di DPRD Kota berlanjut sampai ke Provinsi kemarin, tuntutan kami hanya ingin untuk penundaan relokasi,” katanya. 

Para pendorong gerobak juga berharap adanya kompensasi dan pemberdayaan dari Pemerintah DIY. Namun, keputusan yang diterima kurang begitu menyenangkan. Dari 70 pendorong gerobak yang terdata, pemerintah hanya membutuhkan 4 orang di lokasi Teras 2 untuk menjaga toilet. 

Padahal, sejumlah sektor yang membutuhkan petugas masih ada, antara lain: kamar mandi umum, kebersihan, juru parkir, dan jaga malam. Hal ini tentu dapat menyebabkan banyaknya pendorong gerobak yang tidak terberdaya di lokasi baru. 

Elanto Wijayanto dari Combine Resource Institution, menjelaskan relokasi PKL dan pendorong gerobak di Malioboro memiliki beragam motif. motif tersebut digunakan pemerintah daerah untuk melegitimasi relokasi tersebut. 

“Ketika kita bicara tentang apa sekarang sedang yang terjadi di Malioboro memang ada banyak motif atau modus yang digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk melegitimasikan apapun yang kemudian akan dilakukan terhadap komunitas atau yang baik secara fisik maupun secara aktivitas.”, papar Elanto. 

Menurutnya, alasan utama relokasi PKL Malioboro untuk dapat menominasikan kawasan pusat Kota Yogyakarta ke UNESCO. Ia juga menambahkan alasan ini dapat menimbulkan alasan lain untuk menjustifikasi relokasi para PKL demi keindahan kawasan tersebut. 

“Dengan adanya agenda penominasian itu, tentu saja kemudian ada alasan-alasan lain yang dibutuhkan, kemudian bisa menjustifikasi upaya Pemda untuk mensterilkan kawasan yang dinominasikan itu”, lanjut Elanto.

Selain itu, Era Hareva dari LBH Yogyakarta berpendapat bahwa kebijakan relokasi harus memiliki perencanaan yang matang sehingga apabila terjadi kendala, pemerintah sudah memiliki solusi. “Kebijakan relokasi sejatinya harus memiliki masterplan dan grand design sehingga segala jenis dampak sudah memiliki alternatif solusi.” 

Era juga mengatakan bahwa dari dampak relokasi yang sudah terlihat, Pemerintah DIY gagap untuk memberikan solusi kepada PKL, pendorong gerobak, dan masyarakat kecil yang terdampak atas kebijakan relokasi.

“Dampak sudah mulai terlihat, tapi dari Pemerintah DIY sendiri tidak mampu memberikan jawaban yang konkret bagi pedagang kaki lima dan juga bagi para pendorong gerobak serta masyarakat kecil lain yang terdampak atas kebijakan ini.”, pungkasnya.

Reporter : Muhammad Mufeed Al Bareeq, Monica Daffy

Editor : M. Rizqy Rosi M.

Skip to content