Forum Cik Di Tiro Serukan Tolak RUU Penyiaran

Himmah Online – Forum Cik Di Tiro kembali menyelenggarakan pertemuan bertajuk “Aksi Memperingati 26 Tahun Reformasi dan Menolak RUU Penyiaran” di gedung Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII), Kota Yogyakarta pada Senin (20/05). Selain forum diskusi, massa aksi juga melakukan aksi jalan kaki dari gedung YBW UII menuju museum TNI AD Dharma Wiratama dengan membawa 26 kotak nasi berkat sebagai simbol 26 tahun matinya demokrasi pasca reformasi.

Salah satu permasalahan pokok yang diangkat dalam forum tersebut adalah munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang diproses oleh badan legislasi DPR RI. Darmanto, salah seorang anggota Forum Penyelamat Media dan Demokrasi sekaligus narasumber dalam diskusi ini, menyebutkan beberapa permasalahan yang ada di RUU Penyiaran.

Dalam draft RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024, pancasila tidak lagi menjadi dasar bagi penyelenggaraan penyiaran. “Saya tidak menemukan itu di draft terbaru yang versi 27 Maret (2024) itu. Sudah nggak ada kata-kata pancasila di sana,” ujar Darmanto.

Kemudian, berdasarkan beberapa pertimbangan, negara memberikan intervensi pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang selama ini mempunyai banyak wewenang dalam pengaturan penyiaran di Indonesia, untuk fokus pada pemantauan isi siaran. “Lalu akhirnya itu yang menjadi substansi dari RUU Penyiaran terbaru ini,” jelas Darmanto.

Darmanto memprediksi bahwa Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) tidak akan melakukan perlawanan terhadap RUU Penyiaran ini. Lembaga penyiaran publik didefinisikan sebagai lembaga penyiaran negara. Dampaknya, pendanaan kedua institusi ini akan ditanggung oleh APBN. Pekerjanya akan menjadi pegawai negeri. 

“Lembaga penyiaran publik lokal, melawan, masih mungkin. Tapi kalau RRI, TVRI karena kepentingannya itu terjawab di RUU Penyiaran ini, jadi pasti tidak akan bereaksi apa-apa,” ujar Darmanto.

Pito Agustin, salah satu narasumber, menambahkan ketika RUU Penyiaran ini sah, tak akan ada lagi tayangan jurnalisme investigasi di televisi. Masyarakat tidak akan tahu informasi-informasi yang terjadi di berbagai daerah, seperti apa yang terjadi di pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), bagaimana nasib masyarakat adat, dan juga bagaimana gerak KPK dalam menjalankan tugasnya. Tak ada lagi kasus yang akan viral karena kerja jurnalistik.

“Ini yang kemudian menjadi catatan bagi saya pribadi dan juga mungkin kawan-kawan jurnalis. Apa yang mesti kita lakukan? Karena kita tidak hanya berkiprah pada apa yang kita tulis, apa yang kita siarkan, apa yang kita publikasikan. Karena kita juga punya pertanggungjawaban kepada publik,” tegas Pito.

Menurut Pito, Forum Cik Di Tiro ini adalah momentum bagi masyarakat Yogyakarta bersatu untuk menyuarakan kegelisahan-kegelisahan yang muncul akibat RUU Penyiaran ini.

“Dan ini adalah momentum kita, bahwa kita menyuarakan tolak revisi Undang-Undang Penyiaran, tolak kematian demokrasi, dan kita harus bersatu untuk menghidupkan kembali demokrasi pada rezim-rezim selanjutnya,” pungkas Pito.

Aksi diakhiri dengan doa bersama di depan monumen  Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Museum TNI AD Dharma Wiratama, dan tabur bunga di sekitar monumen tersebut sebagai simbol ziarah atas 26 tahun matinya demokrasi pasca reformasi.

Reporter: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa, Abraham Kindi

Editor: Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Skip to content