RUU PKS: Bagaimana Hukum Melindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual?

Himmah Online, Yogyakarta – Women March Yogyakarta bersama dengan Lavender Study Club dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengadakan diskusi mengenai urgensi pengesahan RUU PKS. Diskusi yang berjudul “Mau Dibawa Ke Mana RUU PKS?” diadakan pada Senin, 3 Februari 2020 sore hari di kantor LBH Yogyakarta, Prenggan, Kotagede.

Staf divisi penelitian, informasi dan dokumentasi LBH Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah menyampaikan meningkatnya angka kasus kekerasan seksual dan minimnya perlindungan terhadap korban terus berkembang. Berdasarkan data Komnas Perempuan, selama tahun 2019 terdapat setidaknya 569 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Yogyakarta.

“569 itu jumlah kasus kekerasan seksual, sementara Yogyakarta juga mempunyai kasus kekerasan seksual dengan korban kaum disabilitas yang paling tinggi, yaitu 47 korban perempuan,” papar Meila.

Selain itu, dalam kurun waktu 2017 hingga 2019, tercatat lima kasus utama yang marak terjadi terhadap korban kekerasan seksual. Di antaranya yaitu penganiayaan dan percobaan pemerkosaan, kejahatan terhadap kesusilaan, revenge porn, eksploitasi seksual dan hacking.

Menanggapi hal tersebut, Pipin Jamson, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan komentarnya. Ia berpendapat dari semua kasus kekerasan seksual, negara bukanlah satu-satunya aktor kunci dalam penyelesaian masalah ini. Tetapi juga bagaimana struktur masyarakat yang selama ini dapat memungkinkan orang menjadi seksis. “Contohnya tadi, baru mau lapor tapi sudah dicerca sama pihak kepolisian. Belum stigma masyarakat yang tentu saja berpihak kepada pelaku,” ujar Pipin.

Ia juga menambahkan RUU PKS tidak dapat otomatis mampu menyelesaikan segala bentuk penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Namun dengan adanya RUU PKS ini nanti dapat menjadi taktik untuk mendorong terpenuhinya hak-hak perempuan sehingga perlu untuk terus dikawal. “Oleh karena itu gerakannya juga harus diperkuat, tidak hanya sampai undang-undangnya goal saja. Tapi juga setelahnya,” jelasnya.

Melanjutkan pemaparan Pipin, pembicara lain Kalis Mardiasih, penulis buku “Muslimah yang Diperdebatkan” juga memberikan pendapatnya tentang bagaimana agama memandang otoritas tubuh perempuan. 

Kalis menyampaikan ada beberapa faktor penyumbang kesalahpahaman masyarakat dalam memandang wacana RUU PKS. Faktor tersebut adalah minimnya pengetahuan dasar terkait pemaknaan syariat, fiqih, dan State Law serta bagaimana kita dapat berfikir kritis untuk men-challenges produk hukum seperti State Law yang sudah tidak relevan.

“Ya contohnya child marriage kalo dalam Kompilasi Hukum Islam, itu untuk perempuan 16 tahun, untuk laki-laki 19 tahun. Baru setelahnya nyodorin data-data angka perceraian itu tinggi karena penyumbangnya adalah perkawinan anak. Selain itu juga merupakan penyumbang tinggi angka kematian ibu,” ujar Kalis.

Padahal menurut Kalis, meskipun dalam syariat dan fiqih tidak membahas usia minimal batas pernikahan, namun dengan adanya aturan yang dibuat ulama saat itu sudah menjadi awal yang cukup baik karena telah memperimbangkan banyak hal. Perubahan-perubahan terhadap aturan yang berlaku tersebut merupakan bentuk lanjutan perjuangan para pejuang yang lalu. 

“Padahal yang menjadi basis syariat itu ujungnya kepada kebaikan, kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan untuk hak-hak setiap manusia,” tambah Kalis.

Selanjutnya Endah, selaku peserta diskusi menanyakan bagaimana menanggapi perbedaan penafsiran yang terjadi di masyarakat terhadap substansi RUU PKS. Menurutnya apabila dengan memperbaiki diksi yang ada, hal itu dapat menyeragamkan pemaknaan pada suatu pasal tersebut.

Pipin kemudian menanggapi mengenai perdebatan terhadap salah satu substansi pasal RUU PKS semakin menguatkan bahwa dalam memperjuangkan RUU PKS tersebut tidak dapat satu atau dua isu saja. 

“Artinya permasalahan struktur sosial itu masih sama ketika membahas isu kekerasan seksual yang sifatnya privat dan tidak bisa dilepaskan termasuk untuk membongkar yang di atasnya. Di mana seolah-olah kekerasan seksual itu merupakan hal yang privat padahal seharusnya negara dapat memberikan hak dan pelayanan yang baik kepada korbannya,” jelas Pipin.

Di penghujung acara, Meila berharap agar RUU PKS dapat terus diperjuangkan. Tidak lain agar ke depannya hak-hak korban dapat terpenuhi dan mendapatkan perlindungan yang terjamin serta bagaimana kita dapat lebih menyuarakannya kepada orang-orang disekitar kita.

Penulis: Yustisia Andhini L.

Editor: Muhammad Prasetyo

Skip to content