Himmah Online -Penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang mengatur seragam atau atribut yang memiliki kekhasan agama di sekolah, masih menjadi polemik bagi banyak pihak. Kebijakan tersebut banyak mendapat penolakan dari beberapa pemerintah daerah, namun sebagian orang juga beranggapan bahwa kebijakan ini sangat diperlukan.
Perbedaan sudut pandang inilah yang mendorong Yayasan Kalyanamitra untuk mengadakan konferensi pers “Kemerdekaan Siswi dan Guru Sekolah Negeri untuk Memilih Pakaian atau Atribut Kekhasan Agama”.
Konferensi tersebut berlangsung secara daring pada Rabu, (24/02) pagi. Dihadiri oleh Yefri Heriani, Ketua Ombudsman RI Sumatera Barat; Alissa Wahid perwakilan Jaringan Gusdurian; Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru; Dwi Rubiyanti Kholifah selaku perwakilan Asian Muslim Alliance Network; dan Ifa Hanifah Misbach selaku Dosen Psikologi di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
Yefri Heriani menceritakan pada tahun 1982, terdapat larangan berjilbab yang sempat dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan. Kemudian, pada tahun 1991 larangan itu dicabut kembali melalui SK No. 100/C/Kep/D/1991 yang berisi penggunaan jilbab tidak dilarang.
“Selain itu di tahun 2011, Pemerintah Kota Padang mengeluarkan Perda No. 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Didalamnya menyatakan bahwa siswa maupun siswi di sekolah harus mengikuti pesantren Ramadhan, wirid Ramadhan, Pendidikan subuh, dan memakai seragam muslim dan muslimah. Kemungkinan inilah yang menjadi rujukan bagi sekolah – sekolah di Sumatera Barat,” jelas Yefri.
Selanjutnya, Henny Supolo melihat kebijakan SKB 3 menteri yang ditujukan untuk sekolah sudah semestinya dilakukan oleh pemerintah.
Henny mengaitkan SKB 3 Menteri ini dengan Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 4 Ayat (1) yang menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya dan kemajemukan bangsa.
“Prinsip itu kami anggap selayaknya ruh dari kebijakan maupun praksispenyelenggaraan pendidikan,” jelas Henny.
Pada kenyataannya, penyelenggaran pendidikan di Indonesia masih belum sesuai dan banyak terjadi pelanggaran berupa pelarangan, pengutamaan, atau tindakan diskriminatif yang tidak sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia. Menurut Henny, dalam memaknai prinsip penyelenggaraan, SKB 3 Menteri sangat penting bagi masa depan peserta didik.
“Sekolah negeri sudah sepantasnya menjadi sekolah bhineka, sekolah yang menjadi penyemai keberagaman utama di Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, Alissa Wahid berpandangan dibalik fenomena dilarang atau pemaksaan tentang seragam keagamaan ini dikarenakan munculnya beberapa hal terkait ritual keagamaan ke dalam ruang pendidikan yang sifatnya umum.
“Kecenderungan menguatnya eksklusivisme beragama akan menggiring pada suatu pengakuan kebenaran akan ajaran agama,” jelas Alissa
Para aktivis juga sepakat menyoroti persoalan ini disebabkan adanya unsur pemaksaan, bukan untuk melawan suatu ajaran agama. “Kami yang mendukung adanya SKB 3 Menteri ini tidak dalam rangka melawan Islam atau ajaran suatu agama, kami hanya menyoroti adanya pemaksaan,” tutur Dwi Rubiyanti Kholifah.
Adapun dampak dari sisi psikologis, terdapat beberapa kasus yang berakar dari pemaksaan dalam menggunakan seragam atau atribut keagamaan tertentu yang diantaranya bahkan berujung kepada percobaan bunuh diri.
“Sampai saat ini saya cukup banyak menangani kasus – kasus pemaksaan penggunaan jilbab, ada 37 kasus dan 2 diantaranya mengalami percobaan bunuh diri karena mengalami body dysmorphic disorder yaitu sebuah persoalan psikologi yang merasa ada sesuatu yang kurang dengan tubuh akibat bullying,” jelas Ifa Hanifah Misbach.
Penulis: Yola Ameliawati Agustin
Reporter: Firdaus Muhammad, Monica Daffy, Yola Ameliawati Agustin
Editor: M Rizqy Rosi M