Suporter, Rivalitas, dan Fanatisme Sepak Bola Indonesia

Himmah Online, Kampus Terpadu – Jumat, 5 Oktober 2018 klub Diskusi dan Penelitian (Dispensi) dan RedAksi menyelenggarakan diskusi dengan tema “Mencari Kemanusiaan dalam Fanatisme Sepak Bola”. Acara yang berlangsung di depan gedung Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) ini dimoderatori oleh Rega Pratama Putra dengan pembicara Fajar Junaedi dan Raden Narayana Mahendra Prastya.

Rega, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2016 mengatakan diskusi ini bertujuan untuk membicarakan kemanusiaan dalam sepak bola Indonesia yang tidak lepas dari suporter. Jatuhnya korban lagi-lagi dari pendukung Persija Jakarta atau yang biasa disebut Jakmania juga melatarbelakangi terjadinya diskusi ini.

Menanggapi peristiwa tersebut, Fajar Junaedi, penulis buku “Merayakan Sepakbola” memberikan komentarnya. Ia berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh suporter sepak bola Indonesia sama seperti yang disebutkan oleh Hannah Arendt ketika melakukan reportase saat perang dunia kedua, yaitu banality of evil. Orang yang melakukan kejahatan merupakan orang yang biasa-biasa saja dan orang yang melakukan aktivitas biasa-biasa saja. “Jadi kalau menganalisis kematian almarhum Haringga dan suporter yang lain, mereka semua adalah korban dari banality of evil,” ungkap Fajar.

Selain itu, Fajar juga menuturkan bahwa kejadian yang sudah berulang kali ini merupakan kesalahan dari semua pihak, tidak hanya satu pihak saja. “Federasi salah, klub salah, pemain juga mungkin salah, kita juga salah,” jelas dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.

Nara, dosen Ilmu Komunikasi UII menjelaskan terkait siapa yang harus mengedukasi suporter. Menurutnya, suporter, klub, dan media massa sangat diperlukan untuk mengedukasi suporter. Namun, ketika kejadian mengenaskan terulang kembali, semua elemen saling menyalahkan satu sama lain. Nara juga menuturkan bahwa rivalitas yang ada sekarang dibentuk sebagian oleh media massa. “Rivalitas memang bagus, tapi yang harus dipertanyakan adalah ketika rivalitas harus meminta nyawa dan korban jiwa,” ucap Nara.

Nara pun menjelaskan perbedaan rivalitas di Indonesia dengan rivalitas di luar negeri. Contohnya adalah rivalitas antara Manchester United dan Liverpool dalam 20 tahun terakhir. Setiap peringatan tragedi Hillsborough, suporter Manchester United memberikan simpati terkait tragedi tersebut. Nara pun berharap agar kita tidak terjebak dalam rivalitas tidak jelas yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi yang lain.

Terkait regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) solutif atau tidak, Fajar menjelaskan bahwa hal tersebut bersifat dilematis. “Orang selalu melihat perbandingan dengan hukuman di tahun-tahun sebelumnya pada peristiwa sejenis. Jadi sangat dilematis sekali,” ungkapnya. Oleh karena itu Fajar pun khawatir jika nantinya hubungan antar suporter akan semakin mengeras lagi.

Menurut Nara, internet menjadi salah satu penyebab peristiwa-peristiwa mengenaskan antar suporter. Adanya saling bully di internet serta saling menyombongkan diri antar suporter menjadi penyebab utamanya. Namun, di sisi lain internet bisa membawa dampak positif bagi sepak bola di Indonesia. Tanpa adanya internet, sepak bola Indonesia tidak akan semaju yang sekarang. “Koreo kreatif, lagu-lagu baru, aksi di tribune yang dilakukan suporter. Itu kalau enggak dari internet, belajarnya dari mana coba?” ucap Nara.

Terkait fanatisme, Fajar menjelaskan bahwa cara membentuk identitas di Indonesia bersifat relasional. Ketika identitas tersebut bersifat relasional, kita sebagai mahasiswa yang teredukasi dengan baik seharusnya mempertanyakan terkait ajakan untuk membenci klub lain. “Kita ke stadion itu kan mau dukung klub, bukan untuk memanggungkan klub lain, apalagi menyanyikannya, membangun identitas relasionalnya,” jelas Fajar.

Fajar pun menuturkan bahwa kreativitas yang ada di stadion, seperti koreo dan lagu, selama itu tidak provokatif bukanlah menjadi masalah. Hal yang menjadi berbahaya adalah ketika lagu ataupun koreo tersebut memprovokasi klub lain. “Provokasi dalam yel-yel murahan itu adalah provokasi yang didasarkan pada kesadaran semu,” ucap Fajar.

Fajar dan Nara pun berharap agar mahasiswa bisa memberikan sumbangsih pemikiran sepak bola Indonesia ke depannya. Keduanya berharap agar mahasiswa bisa mengubah dunia pesepakbolaan dengan ilmu-ilmu yang sudah didapat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan melakukan penelitian ataupun membuat tugas akhir dengan tema sepak bola.

Wisnu, mahasiswa UMY, sempat menanyakan terkait rivalitas yang berasal dari media sosial yang begitu kompleks. Nara pun menanggapi bahwa solusi yang harus dilakukan untuk mengurangi hal tersebut adalah dengan mengedukasi kelompok-kelompok besar. Nara memberi contoh bahwa akun suporter berbasis kampus bisa memberikan edukasi dengan cara membuat tweet. Hal tersebut adalah solusi jangka pendek yang disebutkan Nara.

Selanjutnya untuk solusi jangka panjang, Nara berharap agar pemerintah tidak lagi menghukum. Ia berharap agar edukasi internet bisa masuk dalam kurikulum pendidikan, seperti literasi internet, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet, apa manfaat yang bisa didapat dari internet, serta apa mudaratnya jika kita tidak benar dalam menggunakan internet. “Saya pikir itu adalah solusi jangka panjang,” ucapnya.

Reporter: Hana Maulina Salsabila

Editor: Nurcholis Maarif

Skip to content