Himmah Online, Yogyakarta – Rabu, 1 Mei 2019, massa aksi yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Satu Mei (GERUS) melakukan long march dari Abu Bakar Ali hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Organisasi yang tergabung dalam GERUS sendiri antara lain, F-SEBUMI, LSS, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Yogyakarta, Perserikatan Sosialis, serta berbagai lembaga mahasiswa yang ada di Yogyakarta.
Rayhan selaku humas GERUS menyatakan bahwa PP No 78 Tahun 2015 menjadi persoalan pertama yang diangkat GERUS. PP ini telah memberhentikan keterlibatan serikat buruh dalam penghitungan upah. Selain itu, kenaikan upah minimum buruh saat ini memiliki formula yang didasarkan hanya pada inflasi serta pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia.
“Yang dibutuhkan buruh hari ini ialah bagaimana kebijakan- kebijakan tersebut menempatkan kaum buruh di dalam proses perumusannya maupun di dalam penentuan upahnya, seharusnya berdasarkan kepentingan apa yang dimiliki buruh, misal angka kebutuhan hidup dari buruh,” ucap Rayhan.
Di Yogyakarta sendiri, Restu selaku koordinator umum menuturkan bahwa berdasar Badan Pusat Statistik, buruh Yogyakarta memiliki upah paling rendah se-Indonesia serta kesenjangan ekonomi tertinggi di Indonesia. Serikat pekerja telah mengambil langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Restu menambahkan bahwa mereka telah melakukan demonstrasi di Istana Negara lalu telah melayangkan Judicial Review namun berakhir dengan penolakan oleh hakim Mahkamah Agung (MA). Penolakan ini dikarenakan musyawarah mengenai kenaikan upah yang dahulu dilakukan oleh buruh, pengusaha, serta pemerintah, tidak bisa dilakukan kembali karena terhadang oleh formula yang telah tercantum dalam PP No. 78 Tahun 2015.
Terkait PP No. 78 Tahun 2015 itu pula, Presiden Jokowi telah bertemu dengan perwakilan serikat buruh dan telah disepakati adanya perubahan sehingga akan segera dibentuk tim revisi PP Pengupahan. Peraturan itu sendiri sebenarnya dinilai mencederai UU No. 13 Tahun 2003 karena dalam UU tersebut dicantumkan bahwa instrumen yang seharusnya menentukan kenaikan upah ialah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang ditinjau setiap 5 tahun sekali.
Di samping persoalan PP No. 78 Tahun 2015, GERUS juga menuntut penghapusan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 3 Tahun 2018 perihal Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. SEMA No. 3 Tahun 2018 menuangkan beberapa bidang materi rapat pleno kamar perdata MA yakni, gugatan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang memuat dalil perbuatan melawan hukum dan upaya hukum PHI serta hak pekerja atas upah.
Pengeluaran SEMA ini dinilai memberatkan buruh karena telah mengatur tidak adanya uang pesangon bagi para pekerja jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta ketika terdapat perselisihan hubungan industrial perusahaan tidak akan memberi upah proses selama perselisihan terjadi.
“SEMA itu seharusnya sifatnya internal Mahkamah Agung, tidak boleh mengatur di ranah perburuhan, tetapi SEMA ini kemudian merambah kebijakan perburuhannya, bahkan menabrak UU yang ada diatasnya, yaitu UU No.13 Tahun 2003,” imbuh Restu.
Perubahan terhadap pengupahan buruh diserukan pula oleh para jurnalis. Tommy, selaku koordinator divisi advokasi AJI menyatakan aturan-aturan mengenai pengupahan buruh harus direvisi serta memberikan jaminan kesejahteraan bagi buruh, utamanya jurnalis. Ia pun berharap jurnalis-jurnalis perempuan dan disabilitas dapat diperhatikan kembali hak-haknya serta tidak dipandang sebelah mata.
Di Indonesia sendiri, Tommy menilai kebebasan pers menurun akhir-akhir ini. Momen pilpres kemarin menjadi ajang meningkatknya persekusi jurnalis dimana suatu kritik yang dilontarkan oleh para jurnalis bisa menimbulkan cemoohan dari dua kubu sekaligus. Tidak mengherankan pula, tindak kekerasan kepada jurnalis pun meningkat sehingga hak-hak masyarakat umum untuk mendapatkan berita yang benar dari lapangan pun tentu akan berkurang
Kriminalisasi yang diterima jurnalis juga menimpa aktivis buruh lain. Restu menyatakan setidaknya ada dua puluh buruh konstruksi di proyek pembangunan bandara Temon, Kulon Progo yang meninggal sia-sia akibat buruknya kontrol terhadap kematian buruh saat bekerja. Terlebih lagi, kasus tersebut tidak dipublikasikan kepada khalayak ramai serta menunjukkan lemahnya jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang sudah sepantasnya dimiliki oleh tiap buruh serta disediakan oleh perusahaan dan pemerintah.
GERUS berharap pemerintah hadir untuk memberikan solusi terhadap seluruh tuntutan yang mereka ajukan sehingga rakyat mendapatkan pekerjaan, peghidupan, status, serta jaminan sosial yang layak sesuai undang-undang.
Selengkapnya, dua belas tuntutan yang diajukan GERUS dalam press release-nya ialah
1. Hapuskan PP 78 Tahun 2015
2. Hapuskan SEMA No 3 Tahun 2018
3. Cabut sistem kerja kontrak dan outsourching
4. Beikan perlindungan pada buruh sektor informal
5. Penuhi hak-hak buruh difabel dalam lapangan pekerjaan
6. Penuhi hak cuti hamil, cuti haid, maternitas, dan paternitas
7. Hilangkan segala bentuk diskriminasi bagi kawan-kawan ODHA dan kawan-kawan minoritas seksual
8. Berikan perlindungan buruh perempuan dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual
9. Penuhi jaminan sosial bagi buruh dan keluarganya di segala sektor
10. Desak pemerintah untuk bersikap tegas terhadap perusahaan yang melanggar dan menyimpang hukum
11. Hentikan pemberangusan serikat buruh dan kriminalisasi aktivis buruh
12. Mengajak semua elemen buruh dan masyarakat tertindas untuk bersatu memperjuangkan hak-hak buruh.
Reporter : Janneta Filza A., Pradipta Kurniawan, Dadang Puruhita
Editor: Hana Maulina Salsabila