Himmah Online – Yogyakarta dijuluki sebagai kota pelajar, tetapi pada realitanya masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikannya, seperti tingginya angka putus sekolah, kasus pungutan liar, penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan korupsi di bidang pendidikan.
Untuk mengampanyekan kritik terhadap implementasi sistem pendidikan, LBH Kota Yogyakarta mengadakan diskusi publik dengan topik “Pungutan Liar, Pendidikan Mahal, dan Jogja bukan Kota Pendidikan” pada Jumat (10/03) di Yayasan LKIS, Sorowajan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
“Dalam laporan Pers Mahasiswa Poros UAD, merekap dan mendapatkan data bahwa ada ratusan anak yang tidak sekolah, bahkan putus sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta,” ujar Kamaluddin selaku moderator dalam membuka diskusi.
Data tersebut membabarkan pada tahun 2017 terdapat 161 kasus putus sekolah, di 2018 mengalami penurunan menjadi 101 kasus. Lalu tahun 2019 kembali meningkat, yaitu 104 kasus, tahun 2020 102 kasus, dan yang tertinggi di tahun 2021 mencapai 365 kasus. Jenjang SMA/SMK menjadi penyumbang angka putus sekolah tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda), persentase angka putus sekolah yang ada di DIY pada tahun 2022 di tingkat SD sebesar 0.10%, tingkat SMP 0.11%, dan tingkat SMA 0,25%.
Penelitian yang dilakukan Septianto (2021), menjelaskan bahwa maraknya angka putus sekolah di Yogyakarta ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu aspek ekonomi, rendahnya minat sekolah dari para anak, adanya kesenjangan yang dialami anak di lingkungan sekolah, kurangnya motivasi dari lingkungannya, dan tidak naik kelas. Namun, menurut Dinas Pendidikan, faktor ekonomi menjadi alasan tertinggi dari anak mengalami putus sekolah.
Selain putus sekolah, Pungutan liar (Pungli) juga menjadi permasalahan dalam sistem pendidikan di DIY. Zaenur Rohman, selaku Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa dilihat dari data Putusan Pengadilan, angka pungli dinilai cukup tinggi.
“Meskipun pungli itu kecil, tapi jumlahnya sangat banyak dialami oleh orang tua siswa dan itu bisa menghambat hak kepada pendidikan dan bahkan menghancurkan,” ujar Zaenur.
Zaenur juga menambahkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) di luar sekolah, pihak sekolah yang terdiri dari kepala sekolah; guru; dan tenaga kependidikan, penyedia barang dan jasa, serta kepala daerah adalah pelaku yang paling banyak melakukan pungli.
Selain pungli, juga marak terjadinya penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang masuk ke dalam jenis korupsi di bidang pendidikan. Hal tersebut disebabkan oleh nilai dari dana pendidikan yang cukup besar.
Berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 pasal 49 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“20 persen dari APBN, 20 persen dari APBD, ya, tentu sebesar itu menarik banyak ‘semut’, salah satunya adalah aparat penegak hukum,” ujar Zaenur.
Tidak hanya itu, Zaenur juga menyebutkan, penyebab penyalahgunaan dana BOS lainnya adalah dalam pelaksanaannya tidak ada pengawasan karena basisnya, yakni bukti Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang sangat mudah untuk dimanipulasi.
Pihak sekolah mengaku pungutan dilakukan sebab sekolah kerap kekurangan dana BOS. Hal ini dipaparkan oleh Yuliani, selaku perwakilan orang tua siswa, yang mendapati kasus tersebut pada SMK Negeri 2 Jetis dan SMK Negeri 2 Depok dengan jumlah siswa sebanyak 2.500 anak.
“Itu muridnya segitu banyaknya. Di situ, dari BOS pusat dan BOS daerah itu totalnya sekitar 3 juta setengah. Coba dikalikan dengan muridnya, itu kan bunyinya sudah, ‘M’ (red–miliar), toh, terus juga enggak cukupnya tuh dimana?,” ujar Yuliani.
Dari kasus tersebut, Yuliani merasa pihak sekolah harus terbuka dengan masyarakat mengenai ketidakcukupan dana BOS yang dimiliki dan keterbukaan laporan penggunaan dana BOS.
Selain korupsi dana BOS, Zaenur menyebutkan terdapat jenis korupsi di bidang pendidikan lainnya, yakni pertama Dana Alokasi Khusus (DAK). Dimana korupsi pembangunan fisik dalam DAK banyak terjadi, seperti korupsi alat peraga, pemotongan anggaran, serta pembelian komputer; laptop; dan buku. Kedua, berbagai macam jenis Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).
Zaenur menambahkan bahwa maraknya kasus korupsi terjadi karena dua hal, yakni pejabat yang ikut korupsi dan jual beli jabatan pada saat rekrutmen.
“Sangat marak korupsi di sekolah karena dari ‘atas’ itu juga sudah sangat korup. Nah, yang kedua terkait dengan pendidikan, itu juga menemukan soal rekrutmen. Jadi, problem jual beli jabatan,” ujar Zaenur.
Reporter: Himmah/ Nawang Wulan, Utami Amalia Sudarman
Editor: Jihan Nabilah