Himmah Online- Aliansi Masyarakat Untuk Demokrasi mengadakan aksi, pada peringatan hari buruh internasional di depan Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin (01/05). Pada tahun ini, aksi tersebut mengangkat isu “Perbudakan Modern” sebagai tajuk utama.
Dalam aksi tersebut, massa aksi mengajukan beberapa tuntutan diantaranya kenaikan upah buruh, penghapusan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, penghapusan Sistem Kerja Kontrak, dan penghapusan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5 Tahun 2023.
Adapun inti dari semua tuntutan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, yang selama ini masih kurang menjadi perhatian pemerintah maupun pemilik perusahaan.
Meski peringatan hari buruh Internasional atau May Day diadakan setiap tahun, tetapi isu perbudakan modern yang diangkat sebagai tajuk utama pada peringatan kali ini menjadi terlihat cukup menarik.
Berdasarkan penuturan dari Irham, selaku koordinator lapangan aksi, alasan disorotinya isu perbudakan modern pada tahun ini, yakni karena semakin masifnya perbudakan modern yang terjadi di Indonesia. Dimana masih banyak buruh yang tidak mendapatkan perlindungan, khususnya perlindungan dari Undang-Undang negara.
“Selama ini, Undang-Undang mengatur tentang buruh yang ada di perusahaan korporat atau formal saja. Namun ternyata, jumlah buruh yang bekerja di sektor informal itu jauh lebih banyak,” jelas Irham.
Perbudakan Modern
Anti-Slavery International, organisasi non-pemerintah yang berbasis di Inggris, mendefinisikan perbudakan modern sebagai seseorang yang dieksploitasi oleh orang lain untuk keuntungan pribadi atau komersial.
Menurut mereka, Perbudakan modern ada di sekitar kita, bahkan seringkali tersembunyi walaupun ada di depan mata. Orang bisa diperbudak dengan membuat pakaian, menyajikan makanan, memetik hasil panen, bekerja di pabrik, atau bekerja di rumah, seperti juru masak, petugas kebersihan, dan pengasuh anak.
Berdasarkan data dari Global Estimates of Modern Slavery, pada tahun 2021 sebanyak 50 juta orang di dunia hidup dalam perbudakan modern. Adapun 28 juta orang mengalami kerja paksa dan 22 juta orang terjebak dalam pernikahan paksa.
Jumlah perbudakan modern meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Perbudakan modern terjadi hampir di seluruh negara di dunia saat ini. Sebagian besarnya, yakni sebanyak 86 persen adalah kasus kerja paksa yang ditemukan di sektor swasta.
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab terjadinya perbudakan modern.
Faktor pertama, yaitu keterpaksaan, bisa dilihat dari kasus kemiskinan yang membuat orang bekerja secara paksa karena tidak ada pilihan lain untuk mencari penghasilan. Faktor kedua adalah sulitnya posisi tempat bekerja untuk diakses, bukan saja oleh keluarga ataupun masyarakat, tetapi juga oleh pemerintah. Hal tersebut membuat akses mereka untuk mendapatkan perlindungan dan pertolongan itu masih sulit. Faktor ketiga adalah masih adanya negara yang tidak terlalu memperhatikan hak-hak buruh.
Perbudakan Modern di Indonesia dan UU Cipta Kerja
Adapun di Indonesia, perbudakan modern ternyata juga masih banyak terjadi. Hal tersebut diungkapkan oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga dalam webinar yang diadakan oleh Yayasan Parinama Astha dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2021 lalu.
“Realitas perbudakan di Indonesia masih terjadi, fenomenanya seperti gunung es yang terlihat hanya di permukaan saja, kasus Benjina dan Sumba contohnya,” jelasnya.
Sandra melanjutkan bahwa perbudakan modern banyak terjadi di berbagai sektor, seperti sektor perikanan, perkebunan, dan buruh migran luar negeri.
Mengaitkan isu perbudakan modern di Indonesia dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang kemarin disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal tersebut melihat banyak tuntutan buruh yang menolak UU tersebut karena dianggap mendukung adanya perbudakan modern di Indonesia.
Dilansir dari situs SindoNews.com, UU tersebut secara cepat disahkan pada 5 Oktober 2020. Kemudian telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo meski banyak menuai kontroversi, seperti labilnya jumlah halaman, minimnya partisipasi publik, naskah akademik yang amburadul, dan sebagainya.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan bahwa dalam UU Cipta Kerja diperbolehkan menerapkan sistem kerja outsourcing pada semua jenis pekerjaan.
Secara sederhana, tenaga outsourcing adalah tenaga kerja yang bekerja di satu perusahaan atau institusi, tetapi secara hukum, mereka berada di bawah perusahaan lain atau agen yang menaungi. Adapun dalam konteks perbudakan modern ini, bisa dibilang yang menjadi agen mereka adalah negara.
Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam sistem kerja outsourcing seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya. Dalam praktiknya, agen outsourcing sering tidak bertanggung jawab terhadap masa depan pekerjanya karena agen outsourcing hanya menerima “success fee” per kepala dari tenaga kerja outsourcing yang digunakan oleh perusahaan pengguna.
“Saya berharap agar negara lebih memperhatikan nasib para buruh, khususnya buruh informal. Jangan hanya karena ingin meningkatkan perekonomian, negara mempertaruhkan nasib rakyat. Saya juga berharap agar para buruh bisa lebih bersatu agar kita menyuarakan hal yang sama kepada para pemangku kebijakan,” ungkap Irham.
Reporter: Himmah/Muhammad Fahrur Rozi, Qothrunnada Anindya Perwitasari
Editor: Jihan Nabilah