Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang saat ini sering berkunjung ke Yogyakarta, hampir dua kali dalam sebulan ini berkunjung ke Universitas Islam Indonesia (UII). Kunjungan pertama yaitu saat acara Fornetif yang diadakan oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII pada 8 April 2016 lalu. Sedangkan yang kedua adalah pada 2 Mei 2016 pukul 16.30 nanti dalam acara Suara Rakyat milik TV One.
Ganjar Pranowo saat ini memang menjadi sorotan banyak media. Apalagi adegan ‘marah’nya ketika ia memergoki adanya pungutan liar (pungli) saat melakukan inspeksi mendadak di Jembatan Timbang Subah, Kabupaten Batang pada 27 April 2014 lalu. Sehingga berdasarkan kompas.com yang dirilis pada 31 Desember 2015, ia menduduki posisi keempat dari lima kepala daerah yang paling menyita perhatian selama 2015.
Pada tanggal 12 April 2016, 9 kartini Kendeng mengecor kakinya di depan Istana Negara. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes atas pendirian PT. Semen Indonesia. Seperti yang diketahui, kesembilan wanita ini merupakan petani yang berada di kawasan Pegunungan Kendeng, yakni Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan, Jawa Tengah.
Dalam film #DipasungSemen yang dirilis oleh Watchdoc dengan sutradara Dhandy Laksono, digambarkan bahwa 9 kartini Kendeng ini tidak membongkar ‘kotak pasungannya’ (baca : kotak yang berisi semen yang sudah mengeras) walaupun dalam keadaan tidur. Dengan tangisan air mata, kesembilan petani wanita ini berharap bahwa bisa bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia, Presiden Jokowi. Mengapa para petani ini harus datang ke Istana Negara untuk beraksi? Seperti yang dilaporkan oleh Norma Indah P di HIMMAH ONLINE tanggal 24 April 2015, setelah Sidang penentuan gugatan warga Rembang terhadap pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia dilaksanakan pada 16 April 2015 lalu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, mengatakan bahwa saat mahasiswa dan rombongan warga berusaha menemui Ganjar, kantornya tertutup rapat. Bahkan setelah hampir dua jam menunggu, Ganjar tidak pernah muncul menemui warga yang berupaya meminta bantuan mediasi dengan PT. Semen Indonesia.
Mongabay dalam portalnya menjelaskan, pada tahun 2013 Jawa Tengah menjadi daerah terbanyak kedua konflik agraria dengan 36 kasus setelah Kalimantan Tengah dengan 67 kasus. Hal ini semestinya menjadi perhatian khusus, terutama dari kepala daerah yang bertanggungjawab pada daerahnya. Konflik ini tak jarang memakan korban, baik korban secara materi maupun nyawa. Pertanyaan menggelitik adalah “Mengapa Pak Ganjar dalam beberapa waktu terakhir lebih doyan ‘dolan’ ke UII ketimbang menyelesaikan konflik tersebut?”
Beberapa anggota forum di Komunitas Kopi Itam (KKI) menyuarakan bahwa mahasiswa tidak bisa tinggal diam. Perlu ada ‘gertakan’ khusus bagi kepala daerah yang lebih doyan terjun ke lapangan yang katanya untuk rakyat, ternyata lalai dalam penyelesaian konflik penting, yang tidak hanya berurusan dengan kepentingan administratif tapi juga kepentingan lingkungan. Termasuk kesehatan dan nyawa masyarakatnya. Mengapa mahasiswa perlu? Karena mahasiswa memiliki fungsi khusus, salah satunya adalah Agent of Social Control. Maksud dari agent of social control disini bukan hanya berpersan sebagai pengawal di daerah kampus saja, tetapi juga terhadap masyarakat yang perlu dibela karena termarginalkan oleh sistem yang mengikatnya.
UII juga layak dan harus mengambil peran dalam penyelesaian kasus yang selama ini jarang media yang mau memberitakan. Agar apa? Agar hal yang selama ini digaungkan oleh UII, yakni rahmatan lil ‘alamin tak hanya wacana belaka. UII harus tegas dalam memilih sikap. Bukan untuk memecah belah tapi justru menghindari makna netralitas, karena sejatinya pendidikan (baca : lembaga pendidikan) harus memihak pada kebenaran. Kebenaran yang seperti apa? Kebenaran yang sesuai dengan pedoman UII, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Termasuk dalam membela kaum mustad’afin. Jangan menjadi lembaga pendidikan yang bersifat netral. Netralitas akan membiaskan tujuan pendidikan yang seutuhnya. Lebih baik kata universitas dan Islam dihilangkan dari UII daripada makna pendidikan dan Islam yang sesungguhnya tidak dilaksanakan, dan justru akan memperburuk citra UII sendiri.