Demokrasi dan jurnalisme tumbuh serta besar bersama-sama. Mereka punya keterkaitan darah, bak saudara kandung, bahkan kembar. Ketika salah satu dilukai, maka luka juga satunya. Jurnalisme bisa hidup karena demokrasi dan begitu juga sebaliknya. Melemahkan jurnalisme sama halnya dengan melemahkan demokrasi itu sendiri. Sudah menjadi resiko, maka dari itu telaah terhadap konsep demokrasi juga mesti didalami jika kebebasan jurnalisme ditiadakan, dan ini mendesak.
Pembredelan terhadap majalah Lentera milik pers mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana berjudul Salatiga Kota Merah merupakan corengan terhadap demokrasi. Pembredelan dengan cara perampasan majalah Lentera yang dilakukan oleh Dekan Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Polres Salatiga, serta Muspika Salatiga merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), terutama pasal 28 (Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang).
Pembredelan terhadap majalah Lentera juga merupakan suatu penghianatan terhadap reformasi. Perlu menjadi sorotan adalah tindakan yang dilakukan oleh Polres Salatiga. Aparatus ideologi negara ini bukan malah menjamin keamanan warga negaranya, malah ikut melakukan tindakan represif kepada rakyatnya. Ini merupakan kejahatan. Kejahatan sosial yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya, sebagaimana orde baru. Pandangan yang mendikotomi antara militer dan sipil masih tetap ada sampai sekarang. Negara dan warga negara terpisahkan karena ranah dan itu tidak sehat jika diterapkan di negara demokrasi.
Kasus ini juga merupakan cerminan dari sistem feodal yang masih menjadi candu. Sistem dari para penjajah (Hindia-Belanda), menghadirkan aparatus ideologis negara untuk menakut-nakuti rakyatnya. Menganggap rakyat sebagai hamba yang hanya mempunyai kewajiban, bukan sebagai warga negara yang juga mempunyai hak, berjejer dengan kewajiban. Dengan cara pandang seperti ini bukan tidak mungkin, kasus serupa Lentera bakal tetap ada. Maka dari itu perlu kesadaran politik yang tinggi dari masyarakat untuk meminimalisirnya. Kita bisa belajar dari keluarnya Magna Carta di Inggris pada 15 Juni 1215, kesadaran mereka terhadap racun feodalisme yang harus dihilangkan patut menjadi acuan. Ini penting, untuk benar-benar mewujudkan konsep negara demokrasi seperti pengertian dari Abraham Lincoln yaitu sistem pemerintahan yang diadakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, nantinya.
Selain itu, kasus pembredelan ini juga bisa menjadi interpretasi, bahwa pengerdilan terhadap paham ataupun golongan masih terwujud. Itu merupakan pelanggaran terhadap rumusan kesepakatan kita yang menjadi falsafah atau payung ideologi kita, pancasila, yang sejatinya memfasilitasi berbagai sistem ide untuk berkembang. Isu yang dilontarkan pada masa berdirinya orde baru masih menjadi racun dalam pikiran masyarakat. Setidaknya ini bisa jadi interpretasi juga bahwa pembodohan masa lalu masih berdampak sampai sekarang. Diskriminasi, utamanya terhadap para korban pembantaian 1965 serta paham sosialisme milik Partai Komunis Indonesia (PKI).
Maka perlu ada tindakan untuk bisa mencegah kasus pembredelan serupa, lebih tepatnya segala kasus yang mencoreng demokrasi kita. Di sini perlu ada peran dari pemerintah secara langsung. Pemerintah harus memperjelas legal space yang ada, memahamkan itu ke setiap lapisan masyarakat. Membuat konsensus yang adil untuk setiap warga negaranya. Tujuannya, tercantum dalam sila nomer dua dan lima, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.