Melihat maraknya krisis agama yang terjadi atas dasar perbedaan agama, dimana dalam satu agama mempunyai banyak aliran dan kebudayaan yang berbeda-beda, maka pada Minggu (14/06) lalu, Himmah Berbicara berusaha mengulik apa penyebab dari permasalahan ini dan solusi yang dapat dilakukan oleh Negara Indonesia sendiri. Dipantik oleh Dian Indriyani, selaku Staf Redaksi LPM Himmah, diskusi dimulai dari pembahasan mengenai bagaimana seharusnya umat Islam di Indonesia sendiri memberi kebebasan kepada umat lain untuk beribadah.
“Banyak sekali aliran-aliran dalam agama Islam. Kita tidak tahu mana aliran yang benar dan mana yang salah, karena kita punya keyakinan sendiri-sendiri. Nah, tinggal bagaimana kita sebagai warga Indonesia sekaligus umat muslim ini menyikapinya. Meskipun menurut kita cara mereka salah, tapi juga tidak bisa dibilang salah. Seperti terdapat aliran agama Islam lain yang cara beribadahnya lebih ke kemanusiaan seperti gotong royong, membersihkan jalan. Itu nggak salah kan? Itu benar. Tetapi kebanyakan kita menilai bahwa mereka salah dari cara beribadah yang tidak sesuai rukun Islam,” kata Indri membuka diskusi. Dari kalimat yang diutarakan tersebut, timbul pertanyaan apa patokan dasarnya seseorang dibilang Islam?
Arieo Prakoso selaku Staf Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Himmah mencoba menjawab bahwa sudah jelas jika patokan Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist, serta Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Menurutnya, perbedaan itu tidak masalah.
Nurcholis Ainul R.T. sebagai Staf Jaringan Kerja (JK) Himmah merasa bahwa permasalahan sebenarnya adalah apakah dihalalkan bagi kita untuk menindas saat kita tahu mereka berbeda dalam pengimplementasian aqidah agamanya, dan apakah perilaku umat islam sekarang sudah sesuai sebagai warga negara yang baik, yang menghalalkan penindasan dan kekerasan.
Menanggapi pernyataan Cholis, Hanif Alwasi, mahasiswa jurusan arsitektur UII angkatan 2010 berpendapat, “Kita tidak bisa juga serta merta untuk menghalalkan kekerasan walaupun kita tahu mereka beda dengan dalih amar maruf nahi munkar. Aku pikir ini juga kewajiban MUI melindungi umat islam. Mereka juga dibayar oleh negara. Dan kita berhak untuk menuntut MUI bertindak tegas untuk menyatakan ada beberapa agama yang sesat sesuai dengan fakta,” ungkapnya. Seharusnya umat Islampun sadar, tidak selalu yang salah diberantas secara fisik. “Sebenarnya yang bermasalah adalah di umatnya. Sedangkan Islam itu sudah sempurna. Jadi ini permasalahan umat Islam,” tambah Hanif.
Cholis menanggapi kembali dimana kebiasaan kita adalah menganggap agama sebagai sesuatu yang ritualistik. “Umat islam yang hanya melakukan salat adalah umat Islam yang kedudukannya paling rendah. Karena pada dasarnya Islam adalah bagaimana ia bermasyarakat dan beretika. Kembali lagi ke negara yang sebenarnya memiliki tanggung jawab,” jelasnya.
“Nah, lalu yang dipertanyakan selama ini seperti apa peran negara sekarang?” Arieo merasa bahwa ada ketidakadilan dimana di Indonesia sendiri, kementrian agama dipegang oleh partai politik. Dan kementrian agama Indonesia pun mayoritas beragama Islam. “Contohnya adalah saat kasus masyarakat Ahmadiyah terjadi, kementrian agama justru menghalalkan dan melegalkan kekerasan yang ditujukan kepada masyarakat Ahmadiyah. Tidak ada rule atau undang-undang yang jelas tentang bagaimana mengatur perbedaan agama di Indonesia ini. Jadi, sulit mengatakan mereka salah atau tidak karena tidak ada patokan yang jelas,” tegas Arieo.
Permasalahan-permasalahan tentang ketimpangan agama seperti ini sewajarnya tidak hanya dirumuskan oleh umat Islam sendiri. Seharusnya kementrian agama perlu mencari pendapat-pendapat dari umat agama yang lain, karena agama lain juga memiliki patokan sendiri. “Negara punya fasilitas kementrian agama, tetapi fasilitas itu tidak menyelesaikan masalah. Sebenarnya bentuk ideal fungsi kementrian agama belum secara jelas dirumuskan oleh negara.” tambah Arieo.
Hanif pun mencoba menanggapi. “Umat lain mengakui agama mereka paling benar, ya itu nggak masalah, kita pun begitu. Namun kadang yang dipermasalahkan adalah etikanya, seperti cara-cara berkomunikasi, dimana orang-orang kadang terlalu frontal mengkafirkan orang lain di ruang publik. Itu bukan toleran menurutku,” jelas Hanif. Menurut Hanif, beriman itu haruslah radikal atau berfikir sampai ke akar-akarnya. Bahkan kalau kita mendefinisikan radikal adalah perkelahian, itu salah. Ini kadang yang memicu pergesekan-pergesekan antar agama tersebut. Negara haruslah membatasi. Jangan sampai ada hal-hal yang frontal seperti ini.
Dian Indriyani selaku pemantik mengatakan bahwa permasalahan ini bisa saja dipengaruhi oleh budaya Indonesia, dimana umat Islam yang paling banyak adalah Indonesia. Otomatis kita akan memikirkan Islam sebagai mayoritas agama ang paling benar di Indonesia. “Benar ketika kita bilang yang salah bukan Islamnya tapi umatnya. Mungkin umat Islam sendiri belum melihat urgensinya lakum diinukum waliyadin, untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku. yang menjelaskan bahwa kebebasan beragama itu ada dan kita tidak boleh frontal menghina agama orang lain,” ungkapnya.
Menurut Indri lagi, negara bisa mencari solusi dari akar, dengan menginisiasikan pendidikan agama bagi warganya dengan dibantu oleh oknum-oknum kecil. “Seperti misalnya saja di Padang, pemerintah sendiri sudah mewajibkan pesantrenisasi kurang lebih 2 minggu saat bulan ramadhan sebagai pengganti sekolah formal. Ini diwajibkan bagi kelas 4 SD-3 SMA. Menurutku, negara harusnya membentuk jiwa warganya sejak muda. Bagiku, penyelesaian dari akar adalah seperti ini. Penanaman Islam dululah yang benar-benar diterapkan.”
Menanggapi pernyataan Indri, Siti Nur Qoyimah, selaku Pemimpin Redaksi Himmah Online mengatakan bahwa kalau negara sudah memfasilitasi tapi dari masyarakat hanya menerima mentah-mentah dan tidak ada tindak lanjut, maka itu bukan urusan negara lagi.
“Memang, kualitas masyarakat Indonesia dari segi pendidikan agama kurang. Makanya gampang sekali terhasut oleh konflik beragama. Banyak orang papua yang bersekolah di Jawa lalu ya ditanamkan agama Islam. Itu sudah motif politik menurutku. Kelihatan bagaimana kondisi negara mendukung praktek seperti ini. Kualitas masyarakatnya masih rendah dan pemahaman mereka akan esensi tuhan itu masih minim, karena masyarakat tidak didukung oleh pendidikan yang baik juga,” tegas Arieo sepakat dengan pendapat Indri.
Kesimpulan dari diskusi kali ini adalah perlu adanya keseimbangan antara hablumminallah dan hablumminannas. Antara aqidah dengan sosial harus seimbang. Kita beribadah sesuai keyakinan masing-masing, tetapi meskipun kita berbeda keyakinan, kita tetap harus satu, jangan sampai ada perpecahan. Selain itu semua kembali lagi pada umatnya. Umat Islam sendiri harus mau menjaga lisan dan perbuatan, serta memberi kebebasan pada umat beragama lain untuk beribadah menurut keyakinan masing-masing. Pemerintah pun harus melakukan pengawasan, khususnya kementrian agama, untuk membuat aturan yang jelas agar tidak terjadi lagi konflik agama dikarenakan perbedaan keyakinan yang ada.