Himmah Online, Yogyakarta – Kamis, 25 Mei 2017, Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia (LPM HIMMAH UII) mengadakan launching Majalah HIMMAH edisi No.1/Thn. L/2017 dan Diskusi Publik dengan tema “Buruh Lemah Semakin Dilemahkan”. Diskusi diisi oleh Awan Santosa dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Restu dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Fahmi Ahmad Burhan selaku Pemimpin Redaksi LPM HIMMAH UII.
Latar belakang diskusi diadakan untuk membahas dan mengkaji mengenai permasalahan buruh yang sekarang posisi atau kondisinya semakin lemah dan sulit. Kondisinya semakin diperparah ketika para buruh lebih memilih untuk menerima kondisi yang sudah dibentuk oleh para pemilik perusahaan dan dari jerat-jerat kebijakan pemerintah yang melemahkan posisi tawar buruh.
Mulai dari tujuan mengangkat tema buruh dalam majalah , Fahmi Ahmad Burhan sebagai perwakilan LPM HIMMAH UII menyampaikan yaitu untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat yang terjadi sekarang ini adalah buruh ditekan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mendapatkan hak-haknya seperti pengupahan, jaminan sosial dan kesejahteraan.
Sedangkan terkait pembahasan awal dalam majalah, Fahmi menerangkan tentang pengupahan yang juga ditentang oleh buruh, dan harapannya dari beberapa kasus yang kita angkat, kita berusaha mencoba untuk menekan dan menumbuhkan kesadaran agar buruh bisa meningkatkan daya tawarnya di mana ketika buruh dilemahkan oleh kebijakan-kebijakan seharusnya buruh bisa melawan dan jangan sampai buruh tunduk pada kebijakan-kebijakan yang melemahkan itu.
Fahmi juga menyinggung tentang kasus pemberantasan serikat buruh di Yogyakarta pada tahun 2013 dan sampai sekarang hal tersebut masih terjadi di mana operatornya sendiri merupakan dari dinas perhubungan. Kasus Pemberantasan serikat buruh juga terjadi di Tanggerang di PT. P.D.K yang hampir lima tahun kasusnya pada sampai sekarang masih terus berjalan, upaya yang dilakukan oleh pihak perusahaan seperti PHK, mutasi yang pada intinya membuat agar para pekerja menjadi tidak nyaman untuk bekerja di perusahaan. Dan kasus mengenai pekerja rumahan yang terjadi di Yogyakarta bahwa pekerja rumahan sering dijadikan suatu alat dengan upah murah dan tidak tersentuh oleh aturan-aturan ketenagakerjaan.
Sedangkan terkait pengupahan, Awan Santosa mejelaskan bahwa Provinsi D.I.Y Yogyakarta sendiri merupakan provinsi paling timpang dan paling rendah dari segi pengupahan se-Indonesia, posisi mahasiswa-mahasiswa, dosen dan kelompok terkait yang peduli dengan isu buruh di provinsi D.I.Y Yogyakarta seakan tidak peduli, hal demikian terjadi dikarenakan jumlah angkatan kerja sendiri lebih banyak daripada jumlah lapangan kerja yang tersedia, dan sebesar 58% penduduk di Yogyakarta merupakan pekerja informal yang penghasilannya rendah dan mengkhawatirkan.
Awan menambahkan terkait solusi yang harus dibangun oleh buruh, yaitu solusi pertama adalah dengan membuat sekolah-sekolah buruh sebanyak mungkin di berbagai tempat kerja, pabrik dan kampus-kampus yang ada harus ikut untuk membuat sekolah-sekolah buruh ini. Dimulai dari sana para pekerja bisa membicarakan mengenai soal-soal regulasi, kebijakan-kebijakan, dapat mengorganisasi serikat buruh dengan baik dan pada suatu saat nanti buruhlah yang akan mengontrol dan memegang kendali pabrik-pabrik yang ada di tempat mereka bekerja. Solusi yang terakhir yang harus dibangun oleh buruh adalah dengan mendirikan koperasi pekerja, karena koperasi pekerja sendiri penting untuk logistik bahwa buruh sendiri dapat mempunyai dana Milyaran pada nantinya kalau mogok perusahaan sendiri akan menyadari pentingnya pekerja bagi mereka, Oleh sebab itu, ia menyuarakan untuk membangun koperasi pekerja ini.
Selain itu, Restu perwakilan dari FPBI menerangkan mengenai peraturan pemerintah no. 78 tahun 2015 tentang pengupahan yang mana buruh sendiri tidak mempunyai hak untuk menentukan upahnya sendiri, karena sebelumnya upah sudah dirumuskan melalui musyawarah dan negosiasi. Dengan diberlakukan PP No 78 ini tujuannya lebih diperuntukan untuk kebutuhan ekonomi dan juga untuk inflasi.
Ketika ditanya tentang bagaimana untuk mengajak pekerja agar berkeinginan bergabung dengan serikat pekerja karena banyak buruh yang takut akan konsekuensi yang diberikan pihak perusahaan, ia menjawab “Indonesia belum memiliki hubungan atau kekuatan buruh yang kompak atau solid jika dibandingkan negara-negara maju seperti di Afrika Selatan dan Korea Selatan yang mempunyai serikat buruh terkuat di dunia dan dianggap paling kuat di dunia karena dianggap paling kompak, bersatu dan solid dan Indonesia belum memiliki hal tersebut”. Jawab Restu.
Restu menambahkan, jika berbicara dari segi serikat buruh, belum lagi Indonesia tidak mempunyai kekuatan buruh di bidang politik lalu bagaimana kita bisa untuk menyatukan kekuatan lepas buruh supaya lebih maju. Namun, permasalahan tersebut sedang dilakukan oleh serikat buruh di Indonesia yang mulai melakukannya dengan step-by-step dan harapannya para pekerja buruh ini tidak ditindas oleh pihak-pihak terkait bayarlah upah yang seharusnya diterima oleh para buruh ini jangan menjadikan pekerja buruh dijadikan budak di Negerinya sendiri. Kalau bukan buruh sendiri yang berjuang ilmu pengetahuan yang didapatkan tidak di implementasikan dengan tepat karena ilmu pengetahuan sendiri itu berpihak dan tinggal memilih apakah ilmu pengetahuan tersebut akan condong kepada kelas penindas atau kelas tertindas. (Ridwan Fariz M.)