Burjo: Kisah “Aa’” yang Belum Kamu Ketahui

“Banyak cerita yang tersimpan dari Aa burjo. Merantau jauh dari Bumi Pasundan untuk mencari sepiring berlian. Tentu, banyak rintangan yang dilalui untuk mendapatkan berlian tersebut.”

Himmah Online, Yogyakarta – Siapa yang asing mendengar istilah “burjo”? Sepertinya hampir seluruh kalangan masyarakat sudah paham dengan “burjo” ini. Mungkin masih ada dua persepsi tentang “burjo”. Yakni “bubur kacang hijau” atau warung makan yang disponsori oleh salah satu brand mi instan. 

Kali ini, Himmah Online akan membahas mengenai burjo sebagai warung makan atau warung makan Indomie (Warmindo). Liputan kali ini adalah liputan bersama dengan awak dari LPM Ekonomika dan LPM Kognisia.

Dilansir web phinemo.com, bubur kacang hijau awalnya dijual oleh seorang lurah yang berasal dari Kuningan, yaitu Salim Saca. Dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, kondisi ekonomi memang belum stabil. Hal ini berakibat pada kebutuhan pokok yang meningkat dan rupiah yang menurun. 

Akhirnya, Lurah Salim mencoba membuat bubur kacang hijau. Awalnya, ia hanya membagikan bubur kacang hijau itu secara cuma-cuma kepada warga yang tinggal di sekitarnya. Setelah membagikan bubur kacang hijau tersebut, warga merasa antusias dan senang. Kemudian muncul ide Lurah Salim untuk berjualan bubur kacang hijau tersebut.

Lurah Salim berjualan dengan cara berkeliling di Kuningan. Pada tahun 1950 akhirnya ia membuka warung di Kota Kuningan. Setelahnya banyak orang yang mengikutinya dengan membuka warung bubur kacang hijau. 

Tak hanya di Kuningan saja, warung bubur kacang hijau tersebar hingga ke Jogja, Semarang, Solo, dan kota-kota lainnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, kini warung bubur kacang hijau tersebut juga menjual berbagai macam jenis makanan, seperti mi instan, nasi goreng, nasi telur, dan makanan-makanan lainnya. Kini, warung bubur kacang hijau tersebut biasa kita sebut “burjo”.

Kuningan sebagai asal muasal burjo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Burjo memang selalu identik dengan “Aa”-nya yang berasal dari Kuningan. Menjadi sebuah pertanyaan, bukan? Mengapa di setiap burjo selalu saja orang Kuningan yang bekerja di sana. Kami mendatangi beberapa warung burjo yang cukup ramai dan “Aa”-nya yang memiliki kisah yang beragam dan menarik.

Burjo Palm Kuning

Kami jajan di Burjo Palm Kuning yang berada di Pogung pada Minggu, 13 Oktober 2019 pukul empat sore. Sebelum datang ke sana, kami telah membuat janji dengan pemilik burjo, Bella. Suasana warung pada sore hari itu cukup lengang. Tidak ramai dan tidak juga sepi. Setelah menunggu sebentar, kami bertemu Bella.

Bella bercerita, bapaknya berasal dari Kuningan dan ibunya berasal dari Palembang. Dari situlah nama Palm Kuning tercipta. Karena banyak orang Kuningan yang memerlukan pekerjaan maka orang tua Bella mengambil karyawan dari Kuningan. 

“Soalnya juga mereka orang-orangnya lebih gampang, lebih manutan.” ujar Bella.

Burjo Palm Kuning mempunyai 14 cabang di Jogja. Pusatnya di Pogung ini. Masing-masing warung memiliki penanggung jawab yang merupakan kerabat Bella. Seperti burjo pada umumnya, Palm Kuning buka 24 jam. Dengan dua hingga tiga karyawan pada shift pagi, dan lebih banyak karyawan pada shift malam. Total karyawan dari seluruh Burjo Palm Kuning ada kurang-lebih 70 orang.

Bella mengaku, pada malam hari pengunjung warung lebih banyak dibanding pagi dan siang hari. Omzet untuk tiap warung rata-rata bisa mencapai Rp 1,5 juta per hari. Berbeda dengan warung yang lebih besar. Salah satunya di daerah Pogung dan Gejayan, bisa mencapai Rp 4 juta.

Untuk upah karyawan, terdapat perbedaan antara para “Aa”. Standarnya ialah lama kerja dan kinerja “Aa” tersebut. Bella menyebutkan range Rp 800 ribu hingga Rp 1,5 juta. Juga terdapat tambahan bonus apabila menjelang lebaran. 

“Biasanya ada bonus tapi bonusnya lebih dikasih pas lebaran. Pas mereka mau pulang,” jelas Bella kepada kami.

Selain warung yang buka 24 jam, burjo juga identik dengan “Aa”-nya yang tinggal di belakang warung burjo tempat mereka bekerja. Tempat tinggal merupakan sebagian dari fasilitas yang diberikan Bella untuk para karyawan di burjonya. Untuk masalah perut, karyawan Palm Kuning diberikan kebebasan untuk makan di warung burjo.

Bella juga mengadakan fasilitas mudik bersama. Mudik bersama ini dilaksanakan pada momen lebaran untuk para karyawannya dengan berkolaborasi bersama salah satu merek mi instan. Sembari memulangkan, Bella juga mencari karyawan baru untuk burjonya.

Lalu kami mewawancarai Andi dan Purwanto, karyawan dari Burjo Palm Kuning. Menariknya, Andi dan Purwanto bukan berasal dari Kuningan. Andi berasal dari Boyolali, dan Purwanto berasal dari Magelang.

Purwanto berkata dengan gaji yang ia dapatkan sebuah motor telah berhasil dibelinya. Selain itu, kebutuhan sandang dan tabungan juga dapat ia penuhi. Ia berkata, gaji yang didapat selalu sama. Tetapi, bonus yang didapatkan berbeda-beda, mengikuti omzet dari burjo tersebut.

Andi bercerita, ia tinggal bersama lima temannya dalam satu kamar. Tempat tidur di kamar tersebut beralaskan lantai dari ubin dan tidak ada ventilasi. Beruntungnya, terdapat kipas angin di sana. Namun tetap saja, Andi mengeluh kepanasan saat siang hari. “Kalau siang kepanasan, panas banget,” keluhnya.

Andi menjadi karyawan burjo karena tetangganya yang memerlukan bantuan. 

Enggak, ada kakaknya di sini. Jadi bosnya ini tetangga (red- saya) di rumah, di Boyolali. Itu disuruh cariin kerja. Jadi (red- saya) dapat kerjanya di sini. Jadi di sininya butuh orang,” ujar Andi. Dia sendiri telah bekerja di sana selama dua tahun.

Berbeda dengan Andi, alasan Purwanto mau bekerja sebagai di burjo karena merasakan ada kecocokan di bidang ini. “Kerjaan tuh semuanya sama. Enaknya tuh pertamanya makan, gratis. Bosnya juga enak,” ungkap Purwanto sambil tersenyum.

Karyawan-karyawan burjo Palm Kuning bukan merupakan karyawan yang diikat kontrak, seperti karyawan lain pada umumnya. Apabila sudah merasa bosan, mereka bisa keluar dan berpindah ke pekerjaan lain. Apabila dirasa sudah mampu untuk membuka warung burjo sendiri, maka dipersilakan.

Tidak adanya ikatan ini membuat kesehatan para “Aa” tidak dijamin oleh penanggung jawab masing-masing warung. Memang, “Aa-aa” ini tidak mempunyai jaminan kesehatan. Biasanya, jika ada “Aa” yang sakit si pemilik yang akan menanggung biaya pengobatannya. Mulai dari periksa dokter, hingga membeli obat. 

Bukan berarti dengan ditanggung oleh pemilik maka karyawan tersebut dapat terbebas dari biaya pengobatannya. Pada saat gajian, sebagian gaji akan dipotong untuk membayar biaya perawatan yang dijalani.

Di Burjo Palm Kuning, tidak ada jenjang karir untuk para karyawan. Bella lebih mengutamakan sisi kekeluargaan dalam burjonya. Bella mengumpamakan, jika karyawan tersebut sudah bekerja selama delapan tahun maka kinerjanya akan dinilai bagus. Tandanya karyawan tersebut bisa bertahan dan akan dipertahankan di burjonya. Otomatis gajinya akan mengikuti loyalitasnya.

Burjo Waruga

Selanjutnya, pada 19 Oktober 2019, kami jajan di Burjo Waruga. Di siang yang terik itu, kami menerjang panasnya Jogja dengan menaiki motor. Warung burjo itu terletak di pengkolan Jalan Laksda Adi Sucipto. Lokasinya sangat strategis, dekat dengan jalan raya, Galeria Mall, dan Rumah Sakit Bethesda. Burjo ini terbilang sangat ramai, terlebih lagi saat jam istirahat. Kami mengunjungi Burjo Waruga tepat saat jam istirahat karyawan-karyawan dari Galeria Mall.

Burjo ini adalah milik Andi Waruga, ketua Persatuan Pengusaha Warga Kuningan (PPWK). Saat kami berkunjung ke sana, Andi Waruga tidak sedang berada di Jogja.

Setelah kami menyantap sepiring Indomie goreng dan nasi telurnya, akhirnya kami bertemu dengan Bagus Cahyadi, salah satu penanggung jawab burjo ini. Saat itu terdapat empat orang karyawan yang sedang bekerja di dapur. 

Bagus berasal dari Kuningan. Sebelum bekerja di warung burjo, ia pernah bekerja di salah satu hotel terkenal di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 2010, ia memulai bekerja sebagai “Aa” burjo. Pria 27 tahun ini akhirnya pindah ke Waruga pada 2013. Sebelum bekerja di Waruga, ia bekerja di Burjo Sami Asih yang terletak di Jalan Kaliurang KM 5.

Karena Burjo Waruga terletak di foodcourt, tidak ada tempat untuk tidur bagi para karyawannya. Bagus dan karyawan lainnya tinggal di rumah kontrakan yang berada di Klitren. Satu rumah kontrakan tersebut digunakan untuk delapan karyawan Burjo Waruga.

Jika kita melintas dari Jalan Laksda Adisucipto menuju Jalan Sagan, burjo ini terlihat ramai. Bagus menuturkan, omzet yang diraih berkisar antara empat hingga lima juta rupiah per hari. “Sehari rata-rata lima juta rupiah, lah. Kalau lagi sepi paling empat juta rupiah,” ungkap Bagus. Namun, ia enggan untuk menyebutkan nominal gaji para karyawan burjo ini.

Selama sembilan tahun ia bekerja sebagai “Aa” burjo, kebutuhan hidup Bagus sudah sangat tercukupi. Ia mengaku sudah bisa mencicil membangun rumah di kampungnya. Bagus juga dapat membeli motor dengan gaji yang ia dapatkan. 

Bagus bercerita, sebelum ia menjadi penanggung jawab seperti sekarang, ia pernah menjadi juru masak di burjo ini. Tidak memerlukan keahlian khusus untuk menjadi juru masak. 

Resep masakan ditemukan bersama-sama dengan mencicipi tiap masakan yang dibuat. “Aa-aa” disini belajar bersama untuk menemukan racikan yang pas untuk makanan dan minuman yang dihidangkan kepada pelanggan.

Setelah menjadi juru masak, Bagus beralih menjadi kasir. Lalu jenjang yang tertinggi adalah manajer, yang saat ini dijabatnya. Ia berkeinginan suatu saat untuk membuka warung burjo juga.

Untuk pasokan bahan pangan, Burjo Waruga berlangganan dengan UD Ratna. UD Ratna cukup banyak mendistribusikan bahan pangan di burjo-burjo daerah Maguwoharjo, Timoho, dan sekitarnya.

Pelanggan Burjo Waruga beragam. Banyak karyawan dari Galeria Mall, mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana, dan pengunjung-pengunjung biasa. Tak jarang juga pada dini hari ada pelanggan yang selesai clubbing mampir untuk jajan. “Kadang pagi (dini hari) juga orang-orang balik abis pada dugem,” kata Bagus.

Karena panasnya Jogja, saya sampai memesan es teh lagi. Setelah menghabiskan es teh dan menyelesaikan percakapan, saya dan Azizah berpamitan untuk pulang. Saat kami pulang pun burjo ini masih tetap ramai oleh karyawan mall dan pengunjung lain yang masih mengisi perutnya.

Burjo Opat “R” Mufti

Kami berjalan sedikit jauh menuju Jalan Ring Road Selatan pada 2 November 2019. Tepatnya di sekitar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Burjo ini berbeda dengan dua burjo di atas. 

Saat kami akan berangkat, cuaca sudah mendung. Di tengah perjalanan, kami sempat kehujanan. Memang ajaib cuaca di Jogja. Saat tiba di lokasi, cuaca berubah menjadi panas.

Sampai di sana, kami memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Setelah menyelesaikan santapan, kami bertemu Sodikin, pemilik dan “Aa” burjo di burjo Opat “R” Mufti. Burjo ini sebelumnya berlokasi di Jalan Raya Solo. Karena harga sewa ruko yang mahal, Sodikin memutuskan untuk pindah ke daerah sekitar UMY. Dibanding dengan Jalan Raya Solo, daerah yang baru ini lebih ramai karena banyak mahasiswa/mahasiswi yang jajan disini.

Sebelum membuka warung burjo, Sodikin sempat bekerja di Jakarta. Ia pernah bekerja sebagai pengawas kereta, asisten koki, satpam, hingga office boy. Setelah menikah, barulah ia membuka warung burjo bersama istrinya.

Sodikin mengontrak sebuah ruko bersama istri dan anaknya. Ia memberanikan diri membawa keluarganya sejak anaknya masih berusia enam bulan. Sang istri, Rika Lestari, memang mengikuti suaminya tanpa pikir panjang. “Ya nggak ada pertimbangan sih kalau aku ikut suami, ya. Kalau ikut suami ya bantuin kan,” ujar Rika.

Menariknya, burjo ini tidak buka 24 jam seperti burjo pada umumnya. Sodikin menggelar lapaknya pada pukul lima pagi dan tutup pada pukul sepuluh malam. Untuk bahan-bahan makanan dan minuman, pasangan suami-istri ini berbelanja di pasar. Mereka tidak berlangganan pada distributor tertentu seperti burjo-burjo lain yang sudah bercabang.

Pelanggan yang datang biasanya dari kalangan mahasiswa. Burjo ini mempunyai fasilitas wi-fi yang bisa dinikmati gratis. Selain itu, terdapat menu spesial yang berbeda dari burjo lainnya.

Sebelum membuka warung burjo, Sodikin melakukan survei terlebih dahulu di burjo yang ada di sekitar UMY. Tujuannya untuk menyesuaikan harga dan varian makanan yang akan dijualnya. “Cuma kita nyamain yang ada di lingkungan-lingkungan, lah. Masa di lingkungan (sekitar) segini, kita jual lebih tinggi, ngga ada yang mau nanti,” ucapnya.

Berbeda dengan sekarang, saat sebelumnya berjualan di Jalan Raya Solo, pelanggan burjo biasanya karyawan Transmart. Sodikin mengatakan, karyawan Transmart sering sekali utang di warungnya. “Hampir berapa tuh ya di situ, hampir dua sampai tiga jutaan ada kalo digabungin,” kata Sodikin.

Membangun sebuah usaha tentu ada manis dan pahitnya. Beruntung kini Sodikin sudah memiliki sebuah motor dan tempat tinggal di Kuningan. Baginya, bukan harta yang menjadi capaian utamanya, tetapi berkumpul bersama keluarga kecilnya. 

“Kalau saya sih kalau kayak gitu nggak dinomor satukan, ya. Yang penting tuh saya bisa hidup sama anak istri, bareng-bareng,” ujar Sodikin.

Ia bercerita, orang Kuningan memang memiliki passion untuk berwirausaha. Tak hanya berjualan di burjo saja, namun banyak pekerjaan lain yang juga dilakukan untuk mendukung passion-nya.

Sodikin juga memiliki alasan lain. Apabila ia bekerja di sebuah perusahaan atau bekerja kantoran, ia tidak bisa bebas untuk izin jika ada keperluan mendadak. Kini, ia tidak tertekan dan memiliki pendapatan yang lebih banyak dibanding dulu saat bekerja.

Sodikin tidak mempunyai karyawan di sini. Ia berjualan bersama istrinya. Rika berkata “gampang-gampang susah” untuk mencari karyawan. 

“Kalau nyari karyawan tuh gampang-gampang susah, ya. Ada yang jujur, ada yang nggak. Jadinya mendingan kalau sendiri,” kata Rika.

Mertua Sodikin juga membuka burjo di Bantul. Tetapi burjo milik Sodikin bukanlah cabang dari burjo mertuanya. Terkadang Rika harus membantu di burjo milik orang tuanya.

Rika merupakan lulusan strata satu jurusan manajemen. Ibu satu anak ini sempat bekerja sebagai guru madrasah ibtidaiyah (MI) di Kuningan selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian Rika bertemu dengan Sodikin lalu mereka menikah. Dari pernikahan mereka, lahirnya satu anak laki-laki pada 2017. Setelah si anak berumur enam bulan, pasangan ini langsung menuju Jogja untuk berwirausaha bersama dengan membuka warung burjo.

Setelah dirasa cukup, kami berpamitan dengan Sodikin dan istrinya sekitar pukul tiga sore dan pulang menyusuri panasnya Ring RoadSelatan Jogja. 

Tanggapan Dinas Terkait Mengenai Warung Burjo

Kami masih penasaran mengenai peran pemerintah terhadap burjo. Dengan wawancara yang sudah kami lakukan, para pemilik maupun penanggungjawab dari burjo merasa tidak diawasi maupun ditarik pajak oleh pemerintah.

Reporter Himmah Online pun berkunjung ke Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Sleman pada 7 November 2019. Kami bertemu Sri Wahyuni Budiningsih, selaku Kepala Seksi Pengembangan Usaha Mikro. Gedung kantor pada hari itu cukup ramai. 

Kami sempat menunggu dan mengisi daftar pengunjung sebelum mewawancarai Yuyun, sapaan Sri Wahyuni Budiningsih. Ia menjelaskan, dinas yang membina usaha terkait kuliner, spesifiknya warung makan adalah Dinas Pariwisata.

Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah baru berusia dua tahun. Karena masih seumur jagung, mereka baru bisa melakukan updating data terkait usaha kecil dan menengah yang ada di Kabupaten Sleman khususnya. “Pendekatan yang kami lakukan selama ini belum menyentuh warmindo,” ujar Yuyun, sapaan Sri Wahyuni.

Yuyun menerangkan, usaha lain yang sudah dilakukan adalah dengan mendirikan Pojok UKM dan mengadakan workshop terkait kewirausahaan. Yuyun juga berharap, para pelaku usaha burjo segera mendaftarkan usahanya agar data-data terkait usaha burjo dapat dicatat dan disimpan. Sehingga tidak ada tumpang-tindih data antara instansi satu dengan yang lain.

Dapat disimpulkan bahwa Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah belum mempunyai data terkait warmindo yang ada di Kabupaten Sleman dan sedang dalam proses updating.

Ia tidak bisa menjelaskan secara luas tentang apa yang kami tanyakan. Ada rapat yang harus ia datangi saat kami berkunjung ke sana. Sehingga, informasi yang kami dapatkan hanya sedikit.

Pandangan Akademisi Terkait Aktualisasi Diri “Aa’” Burjo

Reporter Himmah Online berkunjung ke Fakultas Bisnis dan Ekonomi UII untuk bertemu salah satu dosen manajemen. Kami mewawancarai Jaya Addin Linando di ruang Markom FBE UII pada pukul 11.30. Kami langsung bertemu Addin, sapaan Jaya Addin Linando. 

Menurut Addin, ada banyak definisi suksesnya karir seseorang. Yang pertama adalah work-life balance. Seseorang akan merasa sukses berkarir jika punya waktu untuk keluarga. Juga bisa seimbang dalam menjalankan hobi, bertemu anak dan istri, dan mengembangkan potensi-potensi lainnya.

Kedua, apabila seseorang sudah mencapai financial security. Keuangan yang cukup menunjukkan bahwa ia sudah sukses. “Jadi saya nggak ngemis-ngemis, mau makan ya ada duit, beli baju ada duit, mau kontrak rumah ada duit. Security, aman”, ujar Addin.

Ketiga, financial achievement. Disini seseorang akan merasa apabila memiliki ukuran finansial tertentu. Ia harus mencapai goals tertentu agar dapat dikatakan sukses.

Selanjutnya adalah entrepreneurship. Seseorang akan merasa sukses berkarir ketika dia dapat melakukan hal-hal lain diluar pekerjaan yang ia lakukan. Berbisnis contohnya. Ia dikatakan sukses jika pekerjaan dan bisnisnya berjalan lancar.

Menurut Addin, “Aa” burjo sendirilah yang bisa mendefinisi karir suksesnya. Ia berkata, “Aa” yang bekerja dengan waktu cukup lama dapat diasumsikan dua hal. Pertama, merasa karirnya sukses-sukses saja, sehingga ia tidak menemukan alasan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai “Aa” burjo. Kedua, bertahan bekerja di burjo karena tidak ada pilihan lain. Hal ini memang umum terjadi pada dunia pekerjaan.

Orientasi orang juga berpengaruh terhadap pencapaiannya. “Kalau orangnya cuma punya orientasi, santai gitu kan, dikasih rokok aja udah seneng, ada kan yang seperti itu. Maka tidak sulit memenuhi kebutuhan kesuksesan karirnya. Selama dia dapat rokok, bisa main HP, kuota internet gak pernah habis, ada wifi, itu bagi mereka sudah sangat lebih dari cukup.”

Menurutnya, apabila dengan klasifikasi tersebut “Aa” burjo sudah merasa cukup, maka semakin beragam pula tipe-tipe “Aa” burjo. Efek dari beragamnya tipe “Aa” burjo ini akan berpengaruh pada penanganan tiap-tiap “Aa”. 

Jika kita lihat wawancara dengan “Aa” burjo di atas, beberapa karyawan memiliki cita-cita untuk membuka warung burjo sendiri. Hal ini dianggap wajar oleh Addin. Ia berkata, para “Aa” ini merasa bahwa mengelola burjo tidak serumit mengelola warung makan lainnya.

Dalam Teori Kebutuhan Maslow, terdapat lima tingkat pencapaian dalam aktualisasi diri. Tingkat terendah yaitu Physiological, tingkat berikutnya Safety, tingkat selanjutnya Social, lalu Esteem, dan puncaknya yakni Self Actualization. Tingkatan yang berada di posisi bawah merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia. Makin ke atas, makin kompleks pula kebutuhannya.

Addin mengatakan, tipikal karyawan burjo adalah tipikal individu yang tidak memerlukan kebutuhan Esteem. Mereka sudah merasa puas bila Physiological dan Safety telah terpenuhi. Sehingga mereka tidak memikirkan tentang gengsi yang dimiliki.

Physiological “Aa” burjo tentu akan sangat tercukupi. Ditambah, lingkungan kerja yang mendukung, salah satunya dengan banyak karyawan yang berasal dari daerah yang sama, maka hal ini tidak mungkin menghambat kerja mereka. 

Apabila “Aa-aa” ini bekerja dengan enjoy maka Physiological terpenuhi dan naik ke Safety. Safety yang dimaksud Addin adalah finansial yang dimiliki mereka. 

Apabila kebutuhan keamanan telah terpenuhi, maka sudah cukup bagi karyawan-karyawan burjo ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Soal Social “Aa” burjo, kita ketahui bahwa banyak “Aa” yang berasal dari Kuningan. Hal ini mempermudah untuk tiap individu dalam berinteraksi dan memberikan pengaruh baik.

Dengan tiga indikasi ini, “Aa” burjo tidak akan terhambat dalam bekerja karena merasa nyaman dengan lingkungannya. Karyawan yang dibina dengan tiga indikasi ini akan membentuk sistem bisnis yang memenuhi tiga indikasi ini.

Penulis: Monica Daffy

Reporter: Azizah Hafsah, Monica Daffy, Muhammad Prasetyo, Rivan Sodiq

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

*Liputan ini merupakan liputan kolaboratif bersama LPM Kognisia dan LPM Ekonomika

Skip to content