Tahun 2015 Masyarakat Peduli Media (MPM) bekerja sama dengan Yayasan Tifa menerbitkan buku berjudul Media Terpenjara, Bayang-bayang Pemilik dalam Pemberitaan Pemilu 2014. Buku ini merupakan hasil penelitian yang berusaha mengungkapkan kecenderungan surat kabar Indonesia yang dimiliki oleh politisi dan atau mereka yang memiliki kepentingan politik secara langsung dalam memberitakan kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 9 April 2014 dan Pemilu Presiden (Pilpres) yang berlangsung 9 Juli 2014.
Lima media cetak yang menjadi sampel dalam buku tersebut adalah Jawa Pos, Koran Sindo, Media Indonesia, Jurnal Nasional, dan Kedaulatan Rakyat.
Jawa Pos dimiliki oleh Dahlan Iskan yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara dan pernah mengikuti konvensi calon presiden yang diselenggarakan Partai Demokrat. Koran Sindo bagian dari korporasi media yang berafiliasi pada MNC Group yang dimiliki Hary Tanoesoedibyo yang setahun menjelang Pemilu 2014 bergabung dengan partai Hanura serta diresmikan menjadi calon wakil presiden untuk mendampingi calon presiden Wiranto.
Media Indonesia bagian dari Media Group dengan direktur utamanya Surya Paloh yang sekaligus menjadi ketua umum partai Nasdem. Jurnas yang disokong pendanaannya oleh Gita Wiryawan yang merupakan politisi dan peserta konvensi calon presiden melalui partai Demokrat. Kedaulatan rakyat yang dimiliki oleh Idham Samawi, Bupati Bantul dua periode (2000-2005 dan 2005-2010) yang juga menjadi saah satu ketua DPP PDI Perjuangan.
Beberapa kesimpulan (halaman 145) dari riset dalam buku tersebut adalah:
Pertama, kecenderungan pemberitaan. Analisis isi kuantitatif atas kelima surat kabar menemukan bahwa bias pemberitaan di masing-masing media memang terjadi. Bias tersebut ditunjukkan oleh kecenderungan kelima surat kabar untuk menonjolkan pemilik atau partai politik dimana pemiliknya berafiliasi.
Kedua, konstruksi pemberitaan. Analisis framing memberikan bukti-bukti yang sangat meyakinkan terkait ‘keberpihakan’ surat kabar yang dianalisis dalam penelitian ini kepada pemilik dan partai politik pendukungnya melalui konstruksi beritanya.
Ketiga, pengaruh manajemen redaksional. Hanya redaksi Jurnal Nasional yang narasumbernya memberikan pengakuan jujur atas keberpihakan redaksional terhadap partai politik dan tokoh politik. Redaksi Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, dan Media Indonesia menegaskan independen dan tidak terkait dengan dengan partai politik atau pemilik media meskipun temuan dari poin kedua dan ketiga membantahnya. Sementara redaksi Koran Sindo tidak dapat diwawancara.
Reporter Himmahonline.id berkesempatan menemui Budhi Hermanto, salah satu peneliti dalam buku Media Terpenjara sekaligus ketua MPM sekarang di kantornya di Jalan Wirobrajan, Yogyakarta. Budhi banyak bercerita tentang buku tersebut, keadaan media sekarang, dan literasi media masyarakat saat ini.
Budhi juga mengatakan MPM akan melakukan penelitian serupa mengambil beberapa media membingkai berita saat masa kampanye Pemilu 2019 sudah ditetapkan. Penelitian ini juga berencana akan melibatkan masyarakat.
“Kita akan ambil tujuh hari bersamaan dengan track di dunia sosial media. Ambil secara acak dengan kata kunci tertentu, misal pemilu. Kita pilah dan analisis. Negatif dan positif, cara pandang mereka (masyatakat),” ucap Budhi.
Adapun dialog kami selengkapnya berikut:
Apa poin penting dari hasil riset yang ada di buku “Media Terpenjara”?
Beberapa media yang pemiliknya berafiliasi dengan partai politik menggunakan medianya sebagai alat dan corong kepentingan politik mereka. Itu berdasarkan analisis framing. Baik itu isi tulisan maupun foto sampai penempatan. Ini ditaruh di halaman berapa, lebar besar kecil foto, berwarna atau tidak, pilihan kalimat atau diksi wartawan dan redaktur memilih berita.
Menggunakan media untuk kepentingan partai politiknya. Misalnya, Surya paloh dengan Nasdem dengan Media Indonesia, Hari Tanoe dengan Hanura dengan Koran Sindo. Jawa Pos secara tidak langsung, namun memuat Dahlan Iskan, masih ada yang beberapa independen
Sebenarnya boleh tidak media memilih salah satu partai politik atau kandidat calon presiden?
Etikanya tidak boleh. Jurnalis terikat kode etik jurnalis. Sebagai wartawan tidak boleh membawa opini atau mengarahkan pembaca untuk memilih partai politik atau kandidat presiden tertentu.
Media itu kan pilar keempat demokrasi selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang meskinya jadi watch dog, kelompok yang memantau. Media berperan menjaga jarak dengan semuanya. Menyuarakan kepentingan publik atas pelayanan hukum, pemerintahan, dan peran legislatif. Kalau media berkelindan dengan mereka, kongkalingkong begitu, menurut MPM jadi tidak tepat sebagai pilar keempat demokrasi
Kalau wartawannya? Misalnya Goenawan Muhammad yang sering membuat tweet bentuk dukungannya terhadap Jokowi?
Asal itu tidak mempengaruhi terhadap media yang dia punya. Setiap orang punya hak politik. Tempo masih on the track. Masih menelanjangi kabinet Jokowi lah, meskinya begitu. Harus berani menjaga jarak, ada kabinet Jokowi melakukan penyelewengan, ya, harus memuat. Jangan gara-gara mendukung, tidak memuat.
Penelitian terbaru mengatakan kepemilikan media hanya dimiliki beberapa orang, apa dampak untuk Pemilu dan Pilpres 2019 nanti?
Itu enggak sehat untuk demokrasi kalau mereka memanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek. Sebut saja MNC grup punya tiga televisi, nanti isinya televisi itu-itu saja, acara dangdut ada itu juga calon presiden, ini tidak menyenangkan untuk publik.
Apakah tidak independen media di Pemilu dan Pilpres 2014 akan terjadi lagi di tahun 2019?
Mungkin akan terjadi lagi. Saya harap masyarakat tidak nonton, matiin televisinya, buang remote-nya.
Kalau untuk berita daring?
Tidak membaca. Berita-berita sampah itu dibuang saja. Masyarakat cukup cerdas memilah dan memilih informasi mana yang benar. Tanggung jawab kita semua, masyarakat di literasi media.
Tidak independen hampir semua media, ada beberapa yang konsisten. Beberapa media online yang baru muncul agak menjaga jarak terhadap partai politik, saya sebut Beritagar, Tirto, Kumparan, Idntimes, Rappler, BBC Indonesia. CNN Indonesia sama Detik dibeli sama pengusaha yang punya Trans TV dan Trans 7. Kalau pemiliknya berkelindan dengan partai politik ya mungkin (tidak independen), kecuali kalau mau independen. Dalam beberapa kasus, CNN Indonesia agak miring-miring.
Pasca Pemilu dan Pilpres 2014 banyak perpecahan di masyarakat, apakah ada pengaruh dari media?
Itu enggak bisa dihindari, mungkin ada pengaruh, mereka juga pemain media sosial, jadi masing-masing memberikan opini di media sosial. Saya percaya akan ada banyak orang yang menyuarakan bekerja mendorong konten yang baik di sosial media.
Sekarang banyak media baru bermunculan. Apakah akan menambah kekisruhan informasi di Pemilu nanti atau sebaliknya?
Kadang-kadang itu saya belum punya data yang sangat valid pemilik media x ini siapa, mengapa memberitakan itu. Pengamatan sementara saya, yang membuat keriuhan pembicaraan di media sosial itu-itu aja, si a sama si b, dengan wajah masing-masing, terus bikin media atau portal sendiri.
Wonge iku-iku wae, enggak banyak. Mereka menjaga resonansi atau suara-suara negatif dijaga, di dalam dunia komunikasi apalagi untuk kepentingan politik, narasi kekhawatiran, kekacauan, ketidakberdayaan, narasi kekisruhan ada yang menjaga dan menciptakan agar selalu muncul. Orangnya itu-itu saja karena sering jadi bahan pembicaraan.
Orang yang tidak suka dengan narasi, sebel dengan berita hoaks, terjebak dengan me-retweet dan mengomentari karena tidak semua masyarakat terliterasi dengan itu, jadilah menggurita itu informasi. Saya masih percaya masih banyak orang baik di negara ini, mereka memilih diam daripada berkata buruk
Jadi permasalahannya ada dua: ada yang menjaga keriuhan dan tidak independensinya media? Lalu, bagaimana dengan literasi masyarakat terhadap media?
Kalau meliterasi masyarakat harus tahu. Literasi itu kan kesadaran dan kepemilikan pengetahuan bahwa media itu alat yang dipakai sekelompok orang dengan sengaja misalnya dalam memilih diksi. Misalnya mati itu padanan katanya wafat, mampus, modar. Diksi itu punya makna sendiri. Soeharto mangkat waktu itu. Pilihan mangkat itu begitu terhormatnya Soeharto. Diksi itu sengaja dipilih jurnalis dan redaktur untuk mempengaruhi cara berpikir.
Kenapa Republika selalu memuat PKS dan menyerang Jokowi atau sebaliknya Metro TV dan Media Indonesia selalu memuji-muji Jokowi? Masyarakat harus paham soal itu. Itu namanya meliterasi.
Bagaimana masyarakat melaporkan media yang tidak independen atau memiliki pemberitaan yang buruk?
Satu-satunya regulator itu kan Dewan Pers kalau ada sengketa di media. Orang boleh mengadu apabila melihat, membaca, dan menilai ada media yang tidak berimbang atau merugikan satu pihak, Dewan Pers akan memberikan penilaian. Kalau untuk penyiaran televisi, ada Komisi Penyiaran Televisi Indonesia. Sejauh pengalaman kita, aduan itu, media bersangkutan ditegur.
Kita sedang belajar. Masyarakat lebih beradab dalam mengkonsumsi media dan pelaku media juga. Berita yang seksis, yang sampah, enggak usah diklik lah, jangan diklik, biarin saja atau enggak usah beli korannya, biar tutup. Enggak usah nonton tvnya, saya berharap publik kita kritis biar pemilik media itu onani.
Kalau melaporkan media buzzer politik atau bukan media jurnalistik?
Ada aturan dewan pers soal cyber media, ketentuannya ada, bisa diadukan. Kalau cyber, portalnya. Kalau pendapat di sosial media masing-masing itu yang tidak bisa ada penengahnya. Kalau opini kan pendapat orang. Secara konten diadukan kalau mengandung memecah belah atau penghinaan, biarpun opini bisa saja, di Undang-Undang Pemilu ada itu, upaya mengadu domba.
Pinsip menggunakan asas freedom of speech, kebebasan pendapat kebebasan berbicara, enggak apa-apa orang mau pakai arrahmah, mau islami atau Geotimes, sebagai pendapat ilmiah yang dipertanggunjawabkan, dan penulisnya jelas bagus juga. Yang penting orang dapat bertanggung jawab dengan tulisannya.
Sebagai pendidikan politik untuk publik tidak apa-apa. Yang penting kita baca semua, bukan satu. Jadi pengetahun kita bertambah. Celakanya, orang a yang di-retweet itu media a saja, pendapat yang lain enggak mau baca, kan repot kalau membatasi diri kalau kebenaran hanya golongan sendiri.
Menggunakan asas freedom of speech, termasuk media yang sering dituduh menebarkan ekstremisme?
Pendapat saya pribadi, orang boleh berpendapat apa saja, di media apa saja, tidak usah dilarang. Nah, regulasi kita mengatur kalau sudah mengadu domba atau memfitnah, berbicara tanpa dasar, itu yang bisa diadukan. Semacam pendapat, misal pemerintahan masih kurang, data dia punya, yah tidak apa-apa. Tidak ada urusan dengan pendukung.
Kalau fitnah, presiden ini anak PKI, landasannya hanya perasaan dan katanya, ini enggak bisa dipertanggungjawabkan. Katanya, loh, kata siapa? Ini fitnah bisa dipermasalahkan. Orang boleh berpendapat dan bertanggung jawablah atas pendapatmu.
Misalnya ada yang bilang masyarakat suka dengan berita yang misalnya seksis, salah medianya atau siapa?
Medianya memanfaatkan, clickbait, maka itu judulnya bombastis, kepentingannya dapat iklan, semakin diklik semakin dapat duit, kesadaran netizen kurang bagus. MPM mengkampanyekan jangan diklik, jangan dikomentari, jangan ditonton. Mari kita lihat konten yang baik. Misalnya, berita yang ngomongin seks yang bagus kan ada daripada berita yang merendahkan perempuan.
Memisahkan konten yang baik dan sampah itu seperti apa?
Cek pilihan narasumbernya berimbang atau tidak, dari kubu yang mana. Dibaca tidak apa-apa, diendapkan dulu jangan reaksi. Kalau narasumbernya oposisi, dimana-mana opisisi akan bersuara kritik. Dibaca tidak apa, tidak usah ikutan baper, malah ikut marah-marah, misuh-misuh.
Dilihat pilihan narasumbernya siapa? Berimbang atau tidak antara kelompok a dan b. Menurut saya begitu baik dan tidak relatif yah. Pembaca, bacalah, endapkan dulu, coba baca yang lain. Semakin banyak yang dibaca semakin bagus.
Baru baca satu berita terus reaksi?
Terus di-retweet, dibagikan di WA keluarga, itu harus diingatkan.
Reporter: Nurcholis Maarif
Editor: Hana Maulina Salsabila