Merawat, menjaga, dan menceritakan rumah bersejarah Djiaw Kie Siong dalam peristiwa Rengasdengklok merupakan sebuah tugas yang harus dikerjakan dengan ikhlas serta penuh rasa bangga. Djiaw Kiang Lin dan Liaw Ching Lan bertahan untuk melakukan itu selama enam tahun terakhir.
Himmah Online – Pada pagi menjelang siang, dengan diantar layanan taksi online, saya menginjakkan kaki di depan rumah milik mendiang Djiaw Kie Siong. Sebuah rumah yang memiliki nilai sejarah penting bagi bangsa Indonesia di masa lampau. Rumah tersebut terletak di Kampung Bojong, Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Djiaw Kie Siong sendiri merupakan salah satu sosok yang sering terlupakan dalam ingatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Seorang keturunan Tionghoa tersebut merupakan sosok yang merelakan rumahnya ditempati Soekarno dan Hatta selama semalam saat diculik dan didesak golongan muda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945 silam.
Rumah Djiaw Kie Siong berukuran kurang lebih lima kali dua belas meter. Menampilkan dua buah kamar dan sebuah ruang tengah yang terdapat meja abu. Lantainya tersusun dari batu bata. Dinding kayu yang dipernis mengkilap menegaskan bentuk maupun karakter asli kayu yang terlihat kuat.
“Eh, silahkan masuk. Ini kamar Bung Karno, kalau yang ini kamar Bung Hatta,” ucap Liaw Ching Lan ramah akhir Juli lalu.
Liaw Ching Lan (73) atau biasa disapa Bu Yanto itu sibuk menjelaskan sejarah mengenai rumah mendiang Djiaw Kie Siong yang kini ditempatinya kepada beberapa pengunjung.
Saat saya memperkenalkan diri, karena sudah membuat janji, ia dengan mudah mengenali. Di sebuah kursi kayu tua, saya duduk berseberangan dengan posisi Bu Yanto, mencoba untuk mengajaknya bercengkrama.
Katanya, dalam beberapa waktu terakhir rumah ini sering kali dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat untuk mengetahui sejarah singkat tentang peristiwa Rengasdengklok. Mereka datang dari berbagai wilayah dan latar belakang instansi, hal itu dapat saya lihat dengan mudah dari buku tamu yang tersedia di sebuah meja di depan meja abu.
“Ya begini lah, tadi ada sih satu dua (tamu) yang datang,” jelas Bu Yanto sembari saya menyiapkan kamera untuk memotret beberapa sudut rumah.
Sesekali saya mengamati langit-langit yang terbuat dari bilik serta terali bambu yang memagari jendela di tiap ruangan. Memberikan sebuah gambaran bagaimana bentuk rumah ini di masa lampau.
Bu Yanto bercerita begitu semangat. Layaknya sedang meladeni seorang cucu yang ingin mengetahui banyak informasi tentang hal yang dijumpainya. Mengalir dan lengkap.
”Asli. Sudah seabad. Dulu si engkong bangunnya tahun 1920. Berarti kan udah 102 tahun,” kata Bu Yanto ketika ditanya mengenai keaslian ornamen rumah.
Bu Yanto juga menceritakan bahwa posisi rumah saat ini bukan lah posisi sebenarnya, posisi rumah sudah digeser dari posisi aslinya pada tahun 1957. Hal itu lantaran terkena banjir dari Sungai Citarum.
Pahit-Manis Menjaga Warisan
Liaw Ching Lan atau yang sering disapa Bu Yanto atau Cik merupakan wanita kelahiran Jakarta pada 1949 silam. Ketika saya temui, wanita berambut hitam legam tersebut mengenakan kaos berwarna merah bermotif dedaunan dengan masker berwarna hijau mint.
Di depan kamar Bung Hatta, di samping sebuah lemari, pada sebuah kursi kayu tua yang mengkilap, ia menceritakan riwayat hidup hingga kesan menghuni rumah Djiaw Kie Siong kepada saya.
Bu Yanto bersama sang suami, Djiaw Kiang Lin, menempati rumah Djiaw Kie Siong pada 2016 silam. Sebelum tinggal di rumah warisan Djiaw Kie Siong, ia berjualan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur. Melanjutkan usaha orang tuanya.
“Dulu saya dagang, dagang beras. Di Pasar Induk Cipinang. Banyak langganan saya dari Jawa, Jogja, banyak. Dari Magelang. Dagang beras dari saya masih muda,” kenangnya.
Mereka memutuskan untuk tinggal di Karawang karena sudah tidak ada lagi kerabat yang bisa mengurus rumah bersejarah tersebut. Selain itu, merawat rumah yang sudah berstatus cagar budaya tersebut semacam jadi hal turun-temurun dari para pendahulunya.
Merawat, menjaga, sekaligus sebagai penutur peristiwa sejarah di masa lampau yang terjadi di rumah Djiaw Kie Siong kepada tamu merupakan tugas dari pasutri tersebut semenjak menempati rumah ini.
Cerita yang dituturkan bukan berasal darinya sebagai pelaku sejarah, melainkan dari penuturan mendiang Djiaw Kie Siong, paman, kakak, atau kerabat lain yang menjadi pelaku sejarah saat itu. Meski demikian, ia bersaksi bahwa cerita tersebut tidak ditambah maupun dikurangi.
Wanita berumur tujuh puluh tiga tahun tersebut bukanlah cucu langsung dari Djiaw Kie Song. “Saya mah orang Jakarta. Bapak (suami) yang asli cucunya ini (Djiaw Kie Siong). Bapak yang asli. Saya orang Jakarta,” jelas Bu Yanto mengenai hubungannya dengan mendiang Djiaw Kie Siong.
Masih banyak orang yang belum mengetahui bahwa pemilik rumah sejarah penculikan Bung Karno dan Bung Hatta adalah etnis Tionghoa. Tak jarang terdapat tamu yang datang enggan untuk masuk ke dalam rumah karena melihat meja abu di ruang tengah.
Menurut penuturan Bu Yanto hal semacam ini sering dialami, ia mengaku bahwa masih ada tamu yang datang dengan pandangan miring.
“(Ada) yang datang ke sini, ‘Dih, kok cina sih?’ ‘Iya, saya memang cina. Saya keturunan cina. Emang kenapa?’ (Dia) diem,” katanya.
“Ada yang bilang juga, ‘Kok bisa sih (Bung Karno dan Bung Hatta) ke rumah orang cina?’ ‘Kalo itu mah saya ga paham,’ saya bilang,” lanjutnya.
Namun tak semua orang yang datang demikian, Bu Yanto mengaku masih terdapat orang yang bangga dan berterima kasih atas adanya rumah ini.
“Tapi kalo yang pikirannya nasional, ‘Waduh, hebat ya dulu’ katanya. ‘Wah terima kasih banget nih sama si bapak ini, kalo gak ada rumah ini gak merdeka.’ Kayak gitu-gitu,” tutur Bu Yanto.
Dalam perjalanannya menjaga rumah ini Bu Yanto menceritakan bahwa telah mengorbankan banyak hal. Di usianya yang telah senja, tak jarang ia merasa jenuh.
Enam tahun terakhir waktunya dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang sama setiap harinya. Tanpa ada waktu libur, kecuali ketika sakit atau ada kerabat dekat yang meninggal.
“Jenuh? Jenuh. Kita kan gak bisa ke mana-mana, kan nggak mungkin rumah ini kita kunci. Kalo jujur, cape, iya. Walaupun cuma duduk, nunggu, ngobrol. Kan cape juga,” kata Bu Yanto layu.
Aktivitasnya dimulai selepas subuh sebelum rumahnya dibuka untuk tamu. Menyapu bagian dalam dan luar rumah menjadi rutinitasnya setelah ia bangun. Setelah beberes rumah, ia menuju dapur untuk memasak makanan untuknya dan suami.
Ia mengatakan bahwa kegiatan itu akhir-akhir ini dilakukan ketika ia merasa sehat saja. Setelah semua aktivitasnya rampung, baru ia membuka pintu rumah untuk tamu. Pukul delapan pagi menjadi waktu rata-rata jam buka rumahnya, ditutup pukul lima sore.
Dari kegiatan yang dilakukannya setiap hari, tak jarang ia juga ingin merasakan seperti orang-orang pada umumnya: bisa istirahat, bisa berlibur bersama keluarga.
“Wajarlah, namanya juga kita manusia biasa, terus pengen istirahat, terus pengen kayak orang-orang, bisa wisata ke mana lah. Justru kalau hari-hari libur, hari-hari besar kita ga berani ke mana-mana, dek, pasti banyak tamu,” tutur Bu Yanto dengan air muka yang sedih, matanya berkaca-kaca.
Masalah kesehatan juga menjadi hal yang harus mereka jaga dan perjuangkan di usianya yang telah senja. Sudah beberapa bulan terakhir, Pak Yanto jarang menemui tamu yang datang karena sakit jantung. Meski saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik, namun sang istri lah yang akhir-akhir ini lebih sering menemui setiap tamu yang datang.
Sejak mereka memutuskan untuk tinggal di rumah Djiaw Kie Siong, terdapat dua alasan mengapa mereka terus bertahan: rasa bangga dan tulus menjalankan tugas.
“Kita bangga. Selain itu kan kita menjalankan tugas. Yang penting kita ikhlas ngerjainnya, gitu aja,” ungkap Bu Yanto berbinar.
Merawat Kebhinekaan
Ketika menjelang siang, sayup-sayup adzan mulai terdengar. Terik matahari mulai terasa menggigit kulit. Ketika itu saya memutuskan untuk menghentikan obrolan untuk salat serta memberikan waktu istirahat untuk Bu Yanto.
“Salat belakang gih, ada musala,” kata Bu Yanto mengarahkan letak musala.
Berjalan menuju bagian belakang rumah, saya terperanjat melihat sebuah surau yang berdiri kokoh. Sebuah bangunan yang nampaknya belum lama berdiri.
Memasuki area dalam surau, saya melihat perlengkapan salat yang lengkap: mukena, sarung, sajadah, bahkan al-quran. Ditambah dengan ornamen-ornamen pelengkap lainnya.
Selepas salat, saya mengungkapkan kekaguman atas apa yang saya lihat dan injak ketika beribadah: sebuah kenyamanan beribadah saya dapatkan. Lalu saya mencoba menanyakan beberapa hal kepada Bu Yanto.
“Gapapa, namanya Bhinneka Tunggal Ika,“ jawab Bu Yanto tertawa ketika saya bertanya perihal kepedulian beliau terhadap kenyamanan beribadah. Padahal, ia bukan seorang muslim.
“Sebenarnya gini, memang saya pengen punya musala waktu itu, sebelum adanya (musala) itu. Kadang ada tamu yang nanyain tempat wudu di mana, kita bingung masa di kamar mandi, gak lucu,” lanjutnya.
Ia juga menuturkan bahwa pembangunan musala tersebut dilakukan bertahap yang awalnya menggunakan dana pribadi. Setelahnya ada ulur tangan dari salah seorang yang berasal dari Jakarta.
“Setelah kita pengen, sedikit-sedikit kumpulin beli bata atau apa gitu, belakangan ada orang Jakarta sering datang ke sini nanyain apa bener katanya mau bikin ini (musala)? ‘Iya’. ‘Yaudah nanti saya bantu’.”
Bu Yanto juga menuturkan bahwa di musala tersebut biasa digunakan oleh anak-anak sekitar untuk kegiatan mengaji maupun salat berjamaah.
Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Intan Yuni Triolita, Nadia Tisha Nathania Putri
Editor: Pranoto
*Naskah ini bagian dari serial laporan khusus tentang rumah sejarah Djiaw Kie Siong. Naskah lainnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.