Pelestari UII, Pengorganisir Serikat Buruh (3)

“Apa pun yang terjadi, serikat pekerja saat itu hanya simbol, kita hanya jadi boneka. Serikat pekerja dulu bukan dipegang oleh pekerja, tetapi dipegang pengusaha. Nurani saya berontak, saya dengan teman-teman mendirikan serikat tandingan.”

Himmah Online – Dia adalah Mahsun, pekerja lingkungan kampus yang masuk ke dalam salah satu tim lingkungan di bawah kepemimpinan Pengelola Fasilitas Kampus (PFK) UII. Sudah dua puluh tahun lamanya Mahsun bekerja sebagai pekerja kebersihan di UII sejak 2001.

Ingat sekali saat pertama kali kami bertemu di siang tak terlalu terik. Tak perlu sukar memicingkan mata, terlihat belasan orang berkumpul membersihkan area rumput dan pepohonan di tepi Embung Barat UII. 

Hari itu para pekerja digabung menjadi satu tim usai menyelesaikan kerja di posnya masing-masing yang tersebar dari area Masjid Ulil Albab sampai Kantin Mawar seberang parkiran FTSP. Setelah mendapat perintah untuk membersihkan tepi embung, mereka berkumpul usai istirahat siang sampai habisnya jam kerja pukul tiga sore.  

Ada yang mengumpulkan rumput liar dan lekas menyapu bersih bagiannya. Beberapa yang sudah selesai berteduh mencari tempat duduk di sekitar Embung.

Aku lalu bergabung dengan mandor dan pekerja lainnya yang sedang beristirahat sekaligus mengambil angket. Senyum menyambut kami dari para pekerja yang pernah diajak berbincang tempo lalu. Pekerja lain yang baru dikenal hari itu ikut mendekat untuk berkenalan.

Tak lama setelah menyapa, suara baru yang belum kukenal dari belakang menghampiri.

“Mbak, harusnya kalau mau menghitung upah, ditanyakan secara berkala setiap tahun. Jadi bisa kelihatan perubahan dan kenaikan yang ada,” ucap Mahsun. 

Bengong. Aku lantas mengajaknya duduk bersama untuk berbincang. 

Kami berkenalan, lalu Mahsun menjelaskan kalkulasi upah panjang lebar yang menurutnya sudah sesuai dengan undang-undang yang ada.

Wah bapak ternyata banyak tahu. Makasih lho pak koreksinya, kita memang sedang masih sedikit memahami soal pengupahan hehe,” jawabku malu-malu.

“Iya, dulu saya paham soal beginian.”

“Oh, iya tah?”

“Saya dulu inisiator solidaritas pekerja. Tepatnya, saya bentuk serikat tandingan dari serikat perusahaan sebelum saya bekerja di UII.”

***

Sekitar tahun 1990, resesi global terjadi di berbagai belahan negara. Akibat dari resesi yang terjadi dalam kurun waktu serentak membuat ekonomi dunia merosot begitu tajam. Tak terkecuali Indonesia yang nilai rupiahnya terdevaluasi hingga mencapai 90%. 

Menjelang lonjakan ekonomi global, Mahsun muda yang saat itu berusia 20 tahun dan baru lulus STM mulai melamar kerja. Tepatnya tahun 1986, ia melamar ke salah satu pabrik tekstil tertua di Yogyakarta. 

Pabrik itu bernama Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang beroperasi di Sleman, DIY. Pabrik tersebut memproduksi kain dari bahan baku alami dan juga sintetis yang salah satunya diekspor dari Amerika. 

GKBI sendiri bukanlah satu-satunya pabrik tekstil saat itu. Karena saat Mahsun melamar, pabrik tekstil sudah banyak menjamur dengan persaingan yang cukup ketat. Begitu pula antar calon karyawan, tak terkecuali Mahsun. 

Prasyarat administrasi kemudian dipenuhinya, mulai dari KTP, Surat berkelakuan baik, dan kartu kuning melamar kerja.

Ia bekerja dengan perusahaan sebagai pekerja musiman, sebelum menjadi karyawan kontrak dan tetap. Di perusahaan, Mahsun kemudian dikenal sebagai pekerja yang ulet dan atlet voli. Tak jarang ia mengikuti pertandingan voli mewakili perusahaan. 

Kecakapan tadi membuat Mahsun lantas mudah dikenali para pimpinan. Tak butuh waktu lama, Mahsun menjadi karyawan tetap tanpa masa percobaan, sejak saat itu pula ia ditarik masuk ke dalam serikat pekerja. 

Di dalam serikat, Mahsun tidak mengerti apa pun terkait buruh. Yang ia ingat saat itu, ia datang dan disuruh duduk mendengar Disnaker dan perusahaan menyampaikan materi. Ujug-ujug pulang mendapat sangu.

Dua tiga tahun ia berdiam di serikat buruh dengan siklus yang sama. Ada undangan, rapat, masuk komisi, di akhir dapat sertifikat, yang semua diurus tetek bengeknya oleh perusahaan.

Semakin belajar tentang buruh di serikat, semakin Mahsun merasa tidak beres. Ia paham betul serikat pekerja selamanya milik pekerja. Tetapi perusahaan tempat ia bekerja terlampau jauh mengintervensi. Ia tak habis pikir, ketua serikat pekerja saat itu pun dipegang oleh pihak perusahaan. 

Baginya, serikat pekerja yang diketuai pihak pengusaha sebatas formalitas, tanpa ada upaya serius memihak pekerja. Adanya serikat di perusahaannya bukannya mengubah nasib, tetap saja banyak hak-hak pekerja yang ingin dihilangkan. 

Mahsun muda telah mencapai batas kesabarannya. Ia pergi mengumpulkan beberapa teman-teman sesama pekerja untuk berkonsolidasi. Diawali dari pertemuan kecil-kecilan beranggotakan sekitar sepuluh orang di rumah salah satu pekerja. 

Terdapat satu misi terbesar yang mendasari Mahsun dan teman-teman saat itu terdesak harus berkoloni membuat serikat baru. Mereka ingin tenaga kontrak dihapuskan.

“Saya mendirikan itu gara-gara apa? Gara-gara ada tenaga kontrak satu dua. Akhirnya perusahaan gak ada tenaga kontrak mbak. Percobaan tiga bulan, gak lolos, keluarkan. Jadi jangan memberi harapan kepada karyawan,” jelasnya tegas mengetuk-ngetuk meja makan Kantin Mawar UII.

Dia ingat betul, pembentukannya pun dibahas dengan saling tunjuk. Mahsun dinilai sebagai inisiator dan andil mengorganisir massa lantas ditunjuk sebagai ketua sementara sebelum nantinya resmi bergabung dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). 

Mahsun dan teman-teman lalu menamai dirinya sebagai Forum Solidaritas Sosial (FSS). Sebuah solidaritas yang kelak menjadi serikat tandingan dari serikat yang dibentuk oleh perusahaan.

Sepak Terjang Solidaritas Pekerja

Mengawali perjuangan, Forum Solidaritas Sosial mencoba mendaftarkan dirinya ke Disnaker pada tahun 1998 bergabung ke SPSI. Tak mudah bagi Mahsun dan teman-teman untuk sampai bisa tembus ke Jakarta. 

Mahsun mengakui, pada akhirnya mereka dibantu oleh salah satu partai dan organisasi untuk bisa diakui dan terdaftar secara legal. Lambat laun, anggota yang tergabung sepuluh dua puluh menjadi berjumlah dua ratus anggota.

Mahsun sebenarnya tak terlalu bangga, dia tau persis partai dan orang-orang yang mengantarkan mereka pada akhirnya punya kepentingan politik tersendiri. Dengan menembuskan serikat pekerja, mereka dianggap sebagai tokoh penting dan mendulang suara massa dalam pemilihan. 

Agenda-agenda dalam solidaritas pekerja tandingan yang dikomandoi Mahsun berjalan sembunyi-sembunyi. Pertemuan tidak dilakukan di DIY, melainkan ke Semarang ataupun kota lain yang jauh dari area perusahaan. Itu pun diakuinya tetap saja kedapatan mata-mata.

Meski begitu, suara solidaritas pekerja selalu diperhitungkan. Seperti dihilangkannya kebijakan cuti haid dan cuti melahirkan yang apabila tidak diambil, maka akan diganti dengan uang. Mereka dapat memperjuangkannya, bersama dengan insentif-insentif lain. Mahsun mengenang, keberhasilan terbaik mereka adalah penghapusan tenaga kontrak.

Bener-bener perusahaan itu gak berani ngontrak karyawan. Walaupun serikat kita gak diakui perusahaan, tapi (red- perusahaan) tetap memakai ide-ide kita,” ujarnya. 

Solidaritas pekerja melihat saat tenaga kontrak ada, tidak ada jaminan hidup layak yang didapatkan. Belum lagi ketakutan tidak lanjut kontrak dan tidak mendapat pesangon.

Meskipun begitu, Mahsun tak jarang menghadapi beberapa anggota dikriminalisasi para preman ataupun diculik untuk diinterogasi. Sedangkan dirinya sebagai ketua, acapkali menerima teror.

Mahsun bersikukuh dan tetap melanjutkan serikat. Ia mengingat jelas, satu peristiwa di mana serikatnya gagal memperjuangkan satu kasus pekerja yang dikenakan PHK. 

Solidaritas pekerja mendapati pelanggaran yang dilakukan belum pantas untuk mendapatkan PHK sesuai aturan yang berlaku. Mereka memperjuangkannya sampai pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). 

Hari pengadilan untuk karyawan PHK digelar. Massa buruh solidaritas pekerja telah bersiap membawa arak-arakan untuk berdemo di depan pengadilan. 

Hasil yang dibawa dari pengadilan pun memuaskan, solidaritas pekerja menang. Karyawan tidak jadi di PHK. Namun ternyata ada skenario yang tidak diperhitungkan oleh Mahsun. 

“Sudah direncanakan gini-gini, ternyata direksi sama Disnaker udah ngobrol sebelum kita datang. Saya ditarik sama orang Disnaker, saya kenal kebetulan. Terus dibilang, ‘sangumu piro?’”

Serikat kecolongan. Sekali pun pengadilan memenangkan kasus, karyawan yang sebelumnya di-PHK telah kembali bekerja, malah ditolak masuk. Saat ditanya apakah kemudian perusahaan tidak disanksi, Mahsun menjawabnya dengan santai. 

Owalah zaman dulu mana ada yang ga punya duit tetap menang. Yang ga punya duit ya tetap kalah,” ujarnya sambil nyengir.

Tahun 2001 adalah puncak tekanan terhadap serikatnya dari segala arah. Sebagai inisiator serikat, Mahsun memang tak jarang dilobi oleh perusahaan dengan iming-iming agar tidak bertindak merugikan perusahaan. 

Pertanyaan seputar apa yang dibutuhkan dan berapa sangu yang diinginkan selalu hadir selama sepak terjangnya di serikat. Sehingga sewaktu-waktu Mahsun memutuskan keluar dari perusahaan, banyak kawannya mengira Mahsun telah dilobi untuk mengundurkan diri. 

“Kebetulan 2001 istri saya melahirkan anak yang kedua. Operasinya gagal, di rumah sakit dua bulan. Sementara jatah melahirkan dari perusahaan cuma 250 ribu,” jelasnya. 

Uang jatah melahirkan dari perusahaan nyatanya tak cukup bagi Mahsun saat itu. Karena jumlah yang terlalu besar, biaya operasional sementara ditalangi oleh perusahaan. Mahsun akan mengembalikan setiap bulan, dikurangi dari lima belas persen upahnya. 

Mahsun memperhitungkan dirinya sekeluarga sulit untuk melanjutkan hidup dengan kemampuan finansial yang ada. Anak pertamanya akan masuk SMP dan butuh biaya. Mau tak mau, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan pengunduran diri. 

Pengunduran dirinya pun berlangsung dengan memberikan surat kuasa. Pesangon diambil oleh rekannya. Saat ia keluar, beberapa karyawan datang memadati rumahnya. 

Para karyawan mempertanyakan alasan Mahsun mau keluar dengan pesangon yang tidak seberapa. Justru sebaliknya, Mahsun tahu betul pesangon pengunduran diri memang tidak sebanyak ketika di-PHK. Ia telah menghitungnya matang-matang sebelum pesangon diserahkan kepadanya. 

Mahsun pun resmi keluar dari perusahaan, meninggalkan serikat bersama segala perjuangannya.

***

Setelah bekerja di pabrik, Mahsun menginjakkan kakinya pertama kali mencari nafkah di UII. 

“Awalnya kita dicari lewat takmir masjid, cuma tujuh orang kalo ga salah. Gaji pertama yang diberikan 15 ribu per hari,” terangnya. 

Sudah dua puluh tahun Mahsun bekerja di UII. Ia bertanggung jawab membersihkan bagian luar lingkungan antara FTSP UII, Syar’e Mart, Kantin Mawar, dan sekitar parkirannya. 

Beberapa kali kami bertemu, tampak ia sedang merapikan taman, menyapu halaman, atau pun sedang menyeruput kopinya saat beristirahat di Kantin Mawar. Waktu di mana kami menyempatkan diri untuk bertukar cerita ataupun sekadar berbincang santai dengan para pekerja lingkungan lainnya. 

“Pak, semenjak di UII ga ada niatan untuk buat serikat buruh lagi, kah? Sepertinya keren ya pak kalo ada,” tanyaku suatu waktu. 

“Saya kurang ngerti serikat buruh di kampus itu seperti apa. Saya juga sudah tua, gak punya energi sebanyak dulu. Sekarang sudah pasrah aja, apa lagi yang mau dicari,” jawabnya menyungging senyum.

Aku membalas senyum. Kami sama-sama menghela napas dan mengangguk paham.

“Apa sih pak yang buat bapak waktu itu berani banget dulu ngelakuin semua itu?”

Air mukanya kembali serius. Mahsun menjawab lugas. 

“Saya? Saya udah merasakan kesakitan karyawan yang diinjak-injak perusahaan. Banyak hak dipenuhi tapi ga seratus persen. Kan jelas udah ada peraturannya.”

Dua puluh tahun lebih berlalu sejak perjuangannya di serikat, ia merefleksikan ada rasa kesia-siaan yang merayapi dirinya. 

Semenjak keluar dari hingar bingar serikat, ia masih tak habis pikir sekarang tenaga kontrak bertebaran, bahkan menurutnya jauh lebih banyak dari karyawan tetap. 

“Tapi yo terus kok sak negoro terus jadi tenaga kontrak kabeh. Sampai sak Indonesia, kan? Lah iki piye, aku bingung mbak pas itu,” pungkasnya sambil memegang pelipis kanannya. 

Hehe nggih Pak. Bukan hanya kontrak, pasukan magang pun sekarang bertambah dari mahasiswa hehe,” tambahku lagi. 

Mendengar itu Mahsun menyungging senyum, dahinya sedikit mengernyit. Ia membalikkan badan menatap lurus pepohonan tinggi menjulang yang sedari bibit ia tanam dan rawat di UII. 

Perjuanganku koyo ngono kok dadi mergene yo mbak saiki,” jawabnya pelan. 

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Armarizki Khoirunnisa D., Ika Rahmanita, Yola Ameliawati Agustin

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

*Naskah ini merupakan seri ketiga dari empat serial laporan khusus tentang Pekerja UII. Naskah sebelum maupun selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Skip to content