Potret Kisah Hidup Pendi (2)

“Di umur saya yang sudah setua ini, apa lagi yang saya perlu kejar lagi.”

Himmah Online – Sunaryo yang biasa disapa Pendi, sangat ramah menyambut saya ketika kali pertama kami bertemu. Tak sungkan ia mempersilakan saya duduk di kursi. Tampak sekali barang-barang konstruksi, alat berat, besi tua, dan masih banyak hal lain yang  memenuhi gudang tempat Pendi bekerja.

Pendi merupakan seorang pegawai lingkungan di bawah naungan Divisi Pengelola Fasilitas Kampus (PFK) di Universitas Islam Indonesia (UII). Saya sengaja menemui Pendi di tempat kerja untuk mengetahui bagaimana kisahnya selama bekerja di UII. Dalam ceritanya itu ia merasa sangat bersyukur bisa menjadi pekerja di UII.

Pria yang telah memasuki umur 48 tahun ini memiliki kulit yang sawo matang. Di setiap perjumpaan saya dengan Pendi, dia selalu memakai seragam lapangan andalannya.

Seragam bagian lengan yang selalu digulung ke siku, rambut yang selalu ditata rapi ke arah kanan, juga kerutan-kerutan tipis yang menghiasi wajahnya membuat Pendi tampak bersahaja di umur yang tak lagi muda. Saya pun sangat mudah mengenali Pendi meski hanya beberapa kali saja bertemu.

Pendi sangat piawai membuat candaan di sela pembicaraan. Di perjumpaan kami, Pendi terus saja membuat saya tertawa saat ia membicarakan kejadian-kejadian lucu yang pernah ia alami selama bekerja. Saya pun jadi merasa tidak ada penghalang untuk lebih mengenal pribadi Pendi lebih jauh.

Pria berdarah Sleman yang lahir pada Juni 1973 itu sudah sekitar dua belas tahun bekerja di UII. Tak ayal, banyak sekali kelakar yang ia buat saat menceritakan kisahnya bekerja di sini. Di waktu yang cukup lama itu, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan pertama bagi Pendi. Ia pernah beberapa kali memiliki pekerjaan yang berbeda.

Pendi bercerita sukarnya kehidupan yang dia alami sampai akhirnya memutuskan untuk bekerja di UII.

Pendi menjadi Koordinator Divisi Logistik dan Workshop sekaligus, kedua divisi ini selaras satu sama lain. Oleh karenanya wajar jika bisa dikepalai oleh satu orang.

Di bawah koordinasi Pendi, ada dua orang pekerja di tiap divisinya. Divisi Logistik bertanggung jawab untuk mensuplai bahan dan barang kebutuhan divisi lainnya seperti Divisi Lingkungan, MEP (Mechanical Engineering and Plumping), Workshop, dan Bangunan.

Fasilitas-fasilitas yang sering digunakan di kampus seperti bangku, meja, lemari, plang nama, bahkan perihal barang protokol kesehatan seperti wastafel cuci tangan pun diproduksi oleh Divisi Workshop.

Pendi biasa memulai pekerjaannya dengan mengecek bawahannya dan dilanjutkan dengan pekerjaan yang bisa dilakukan di hari itu. Cukup sederhana melihat kegiatan yang ia dan bawahannya lakukan. Namun, Pendi langsung menambahkan pernyataan bahwa pekerjaannya tidak semudah itu.

“Tetap keteteran, kadang pekerjaan itu sudah mengantri dari jauh hari. Apalagi ukuran kampus UII yang besar ini sudah pasti kebutuhannya banyak juga,” lanjut Pendi memaparkan.

Dalam sepekan, Pendi bekerja dari Senin hingga Jumat. Tak jarang, pada hari Sabtu pun ia diminta datang ketika ada pekerjaan tambahan.

Normalnya, ia berangkat kerja di pagi hari. Saat fajar masih di garis ufuk, Pendi sudah melesat bersama motornya menuju kampus tempat ia bekerja. Berbeda ketika ia bekerja di saat pandemi.

Sejak pandemi Covid-19, kebijakan baru dari instansi tempat Pendi bekerja membuat ia punya waktu lebih di pagi hari. Pendi mulai bekerja pukul sembilan pagi, ia biasanya memanfaatkan waktu sebelum bekerja itu untuk mengurus tanaman cabainya di sawah.

“Lumayan to, buat nambah-nambahi pemasukan,” tutur Pendi.

Lain cerita dengan kehidupannya saat ini, Pendi sudah banyak mencoba berbagai macam pekerjaan.

***

Sayup-sayup suaranya terdengar payau. Sangat hati-hati pula dia berbicara saat menceritakan masa lalunya.

Berbeda dari kebanyakan orang, Pendi sudah bisa melihat peluang bisnis di tempat ia tinggal. Pria asli Cangkringan ini memilih untuk menambang pasir daripada harus merantau ke luar kota seperti kebanyakan orang. Pekerjaan ini sudah ia lakukan sejak tamat SMA hingga berumah tangga.

Pendi bisa melakukan bisnis itu dengan mudah karena tempat tinggalnya terdapat material bangunan sisa erupsi Gunung Merapi yang melimpah. Orang-orang di sana pun sangat mudah bila diajak untuk berniaga.

Kian waktu menggeluti pekerjaan tersebut, bukan hal mustahil bagi Pendi untuk menghasilkan banyak uang.

Pepatah mengatakan semakin tinggi kamu berdiri, semakin tinggi pula angin akan menerpamu. Nampaknya, peribahasa itu berlaku pula untuk Pendi. Dari penuturan Pendi, sifat istrinya yang muris akan kehidupan seperti juragan menjadi pemicu keretakan rumah tangganya.

Semenjana Pendi dengan kehidupannya yang sejahtera dalam waktu yang singkat ia ditinggal pergi oleh istrinya.

Tak tersisa apa-apa, truk yang dibelinya dengan mencicil untuk modal menambang pasir pun diraup istrinya pergi. Pendi dan anaknya yang masih belia hanya bisa menerima getirnya takdir. 

Hari yang harus terus dijalani membuat Pendi memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Demi menyambung kehidupannya, ia memulai pekerjaan barunya sebagai ‘laden’ atau asisten tukang bangunan.

Mata Pendi sedikit berkaca-kaca saat melanjutkan fase selanjutnya dari kehidupan dia dan anaknya. Jari-jemarinya saling bertaut mengusap bergantian seakan ia ingin mencoba mengingat lebih dalam lagi ingatan akan masa lalunya. Tak lama ia melanjutkan ceritanya.

“Waktu saya dapat pekerjaan ini, saya ndak langsung jadi tukang, saya laden tukang dulu baru jadi tenaga tukangnya,” ujar Pendi.

Pekerjaan barunya yang berurusan dengan material bangunan membuat Pendi melihat peluang bisnis baru lagi. Ketika ada proyek baru, dia berusaha untuk mensuplai bahan-bahan material bangunan dengan skala kecil. Cukup mudah bagi Pendi untuk mencari bahan seperti pasir atau batu kali mengingat material tersebut melimpah di tempat tinggalnya.

“Begitu saya dapat tawaran, saya langsung hubungi orang buat angkut materialnya, saya talangin dulu uangnya untuk bayar uang sewa truk. Baru setelah itu saya dapat upah waktu proyeknya sudah selesai,” tutur Pendi menjelaskan usaha barunya itu.

Lambat laun penghasilan Pendi sudah mulai stabil. Ia juga bisa cukup tenang karena anaknya tinggal dengan anggota keluarga lain di rumah. Sementara itu, Pendi mencoba keuntungan yang lain dengan memperbesar skala usahanya itu.

Pekerjaan sebagai tenaga tukang bangunan ia tinggalkan, Pendi fokus merintis usahanya. Semakin hari usahanya memberikan titik terang bagi kehidupan Pendi.

Kendati demikian, semakin berjalannya waktu Pendi merasa kurang nyaman dengan bisnis yang ia lakukan. Bisnisnya ini tidak bisa langsung membuahkan hasil. Ketika mendapatkan proyek untuk mensuplai barang, Pendi harus sudah siap dengan material dan kendaraan yang mengangkut ke lokasi proyek.

Hal tersebut harus dibayar awal oleh Pendi, sedangkan uang yang diterimanya untuk mensuplai barang baru bisa diterima ketika proyek sudah selesai bahkan kadang tidak sedikit pihak proyek yang mencicil tagihannya.

“Yang punya truk kan gak mau kalau uangnya dibayar di belakang, mereka maunya jalan kalo ada uangnya. Jadi mau gak mau ya saya harus nunggu talangan uang sama hasil upah murni saya di akhir,” ucap Pendi.

Sistem usaha Pendi yang mengharuskan uangnya terus diputar, tidak akan bisa berjalan kalau ada tunggakan yang belum dibayar oleh mandor proyek.

“Kalau uang gak muter, otomatis saya harus nombok sana-sini. Sedangkan, upah yang seharusnya saya dapat belum juga dikasih kan, saya jadi rugi waktu dan material. Jadinya saya gak nyaman sama pekerjaan ini,” keluhnya.

Pendi mengaku ruang lingkup usaha barunya ini memang sangat menjanjikan. Sekali mendapat tawaran, ia sudah bisa menghitung bagaimana kebutuhan hidupnya di beberapa waktu mendatang. Namun, hal itu juga tidak berlaku ketika tidak ada proyek sama sekali yang bisa Pendi dapat untuk di suplai bahan material.

Alasan itulah yang membuat Pendi untuk tidak melanjutkan usahanya tersebut.

Tahun 2006, rekan Pendi menawarkan pekerjaan sebagai pekerja di UII. Mendapat tawaran itu, Pendi tidak ragu untuk mengambil kesempatan itu, ia bekerja langsung di bawah divisi PFK.

Saat mulai menceritakan bagaimana kehidupannya selama bekerja di UII, raut wajah Pendi mulai cerah, kerutan di dahinya pun mengendur.

Pendi tidak munafik ketika di awal mendapat tawaran pekerjaan ini, ia langsung menanyakan seberapa banyak upah yang akan diterimanya nanti.

“Kalau dibandingkan sama pekerjaan-pekerjaan saya yang dulu, jelas beda sekali kalau dilihat dari upahnya,” jelas Pendi.

Upah yang Pendi peroleh dari pekerjaannya, dibayar dengan sistem upah perhari yang nantinya dibayarkan setiap bulannya.

Sekurang-kurangnya enam puluh ribu rupiah per hari, nominal yang Pendi peroleh selama bekerja. Namun, nominal tersebut belum dikalkulasikan dalam sebulan dan ditambah uang lemburan yang kadang Pendi terima tiap bulannya.

Saat ditanya apakah nominal tersebut bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, Pendi langsung menjawab bahwa rezeki bisa datang dari mana saja.

“Kalau dipikir pakai logika, pasti kurang lihat gaji saya per bulan. Tapi emang kuasa Allah, gak disangka-sangka uang segitu ya cukup aja, ” ungkap Pendi dengan santai.

Pendi menambahkan hal yang membuat ia jauh lebih nyaman untuk bekerja di UII adalah rasa kekeluargaan antara pekerja dan pihak PFK.

“Kalau kerja di sini waktunya fleksibel banget. Kadang saya kalau kerja terus mendadak ada urusan keluarga juga gampang izinnya, dari PFK juga ndak terlalu menuntut, kalau misalnya ada pekerjaan ya dikerjakan kalau bisa, nek dirasa gak mampu nanti diambil alih sama vendor,” lanjut Pendi.

Ia juga mengatakan kalau susahnya mencari pekerjaan membuat ia tetap bertahan untuk bekerja di divisi PFK.

“Sekarang tuh cari kerjaan susah mbak. Ya memang kalau dicari kekurangannya jadi pekerja di sini tuh pasti ada. Cuman gak banyak yang bisa nerima orang kayak saya yang cuman lulusan SMA dan bahkan dapat posisi kerja yang nyaman,” ujar Pendi.

Tampaknya memang pekerjaan inilah yang cocok untuk Pendi, ia sama sekali tidak ragu mengatakan kalau ia nyaman bekerja di sini.

“Walaupun gak seberapa gajinya, tapi saya betah di sini, bisa dibilang ini pekerjaan tetap yang saya miliki,” pungkas Pendi.

Masih berada di gudang tempat ia dan pekerja lainnya berkumpul, Pendi dengan semangat menunjukkan barang-barang fasilitas kampus yang diproduksi dari gudang itu. 

Banyak fasilitas kampus yang digunakan oleh mahasiswa dibuat dan dirawat oleh pekerja-pekerja seperti Pendi.

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Armarizki Khoirunnisa D., Ika Rahmanita, Yola Ameliawati Agustin

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

*Naskah ini merupakan seri kedua dari empat serial laporan khusus tentang Pekerja UII. Naskah sebelum maupun selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Skip to content