Kampus Paling Lestari, Berkat Siapa? (1)

Universitas Islam Indonesia (UII) menduduki peringkat ke-8 nasional dalam ajang Universitas Indonesia (UI) Green Metric World University Ranking atau kampus paling hijau dan lestari tahun 2020. Jarang diketahui, terdapat orang-orang yang tak tersorot hingga UII menyabet gelar tersebut.

Himmah Online – Hari itu cuaca pagi cukup cerah berbalut dengan udara sejuk khas Kaliurang kilometer 14,5. Menyuburkan niat saya untuk lari pagi di area kampus. Dengan menumpang bus Trans Jogja, saya tiba di depan boulevard UII.

Jejeran pohon kurma yang tak pernah berbuah menyambut kehadiran saya. Karena masih masa pandemi, salah satu jalur ditutup. Membuat saya leluasa berjalan sembari melakukan peregangan dan pemanasan.

Pemanasan dimulai dari menoleh dan menahan kepala ke kiri sampai hitungan delapan. Pandangan saya tertuju pada tanaman rambat yang menutupi pagar besi di balik tembok pemisah kampus dan rumah warga–daun dan bunganya berguguran.

Pandangan saya beralih ke sebelah kanan, masih tetap berjalan. Pandangan saya tertuju pada trotoar yang memiliki kanopi dan tanaman Bougainvillea di atasnya. Sama seperti sebelumnya, guguran bunga dan daun memenuhi trotoar.

Semakin ke dalam, pepohonan rimbun menghiasi kanan-kiri boulevard. Bisa dibayangkan betapa banyak sampah tanaman yang berguguran.

“Sendiri aja mbak? Mana temen-temennya yang lain?” Sapa Titi (54) salah satu pekerja lingkungan yang menyapu area boulevard. Titi tidak sendiri, ia menyapu bersama dua teman lainnya, Nur (60) dan Rubi (40). Posisi mereka terpencar di tiga titik berbeda.

Nur dan Rubi sudah bekerja sejak awal proyek pembangunan jalan boulevard UII. Tahun 2014, waktu itu mereka bekerja sebagai kuli yang memikul bebatuan material jalan. “Dulu kerjanya berat, pulangnya bisa sampai malam,” ujar Nur dengan mata berkaca-kaca di hari yang berbeda, saat saya temui khusus untuk melakukan wawancara.

Kini sapu lidi taman, pengki seng, dan tong plastik biru yang dibelah dua menjadi senjata utama mereka. Mulai dari menyapu jalan, mencabut rumput, dan mengumpulkan sampah hingga daun kering. Setiap hari kerja, mereka tiba di kampus pukul enam pagi kemudian pulang pukul tiga sore.

Di area boulevard juga terdapat dua pekerja lain, yaitu Sugeng (51) dan Pujianto (35) yang tugasnya lebih fokus untuk merawat tanaman. Seperti memotong rumput, menyiram tanaman, dan memberi pupuk.

Sugeng sudah bekerja sejak proyek pembangunan taman boulevard UII. Hampir sama seperti Rubi dan Nur. Hanya saja, Sugeng khusus bagian tanam-menanam. Mulai dari menanam rumput, tanaman hias, hingga pepohonan. “Sampai pohon yang besar-besar itu, tapi dulu kan masih dua meteran lah,” ujar Sugeng.

Kini selain merawat tanaman, ia diamanahi sebagai koordinator pekerja lingkungan area boulevard. Sugeng memiliki pekerjaan sampingan, hari Minggu biasanya ia dipanggil ke rumah salah satu dosen untuk bekerja merawat tanaman.

Lain halnya dengan Sugeng, Pujianto atau akrab dipanggil Gonjreng memiliki pekerjaan sampingan sebagai driver ojek online. “Kalau ngandelin kerja dari sini cuma mencukupi buat makan aja, belum kebutuhan anak,” ujar Pujianto yang anaknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Agenda lari pagi saya masih berlanjut. Melewati jembatan yang di kanan-kirinya menjuntai tanaman rambat Muccuna bennetti atau bunga Api Irian, pertanda akhir dari area boulevard UII. Sudah berbeda pula petugas lingkungan yang akan saya jumpai.

Jumlahnya ada 13 petugas lingkungan, tersebar ke tengah hingga belakang area Kampus Terpadu UII. Khususnya di jalanan utama yang biasa dilewati civitas akademika dari satu fakultas menuju fakultas lain, perpustakaan, maupun Masjid Ulil Albab.

Tugasnya hampir sama dengan petugas area boulevard, menyapu jalan, mengumpulkan sampah, dan merawat tanaman. Hanya saja ketigabelas petugas itu bisa dibilang memiliki kerja lebih ekstra dibandingkan petugas area boulevard.

Sing dialami temen-temen iki yo memang dari dulu pahit,” tutur Sambudi (57). 

“Tempatnya seperti ini, ada apa-apa mesti kita-kita yang disuruh nangani duluan. Ada pohon tumbang, selokan mampet, kita (petugas lingkungan),” lanjut Purwanto (54). 

“Semuanya, semua kerjaan sini kita yang nge-handle,” tutur Arkodin (44). 

“Ada problem sama kampung, kita (red: juga yang tangani),” timpal Suparno (53) langsung disambut dengan gelak tawa lainnya.

Begitulah cuplikan percakapan dengan empat petugas kebersihan bagian tengah. Keempat petugas itu sudah mulai bekerja jauh lebih lama dibanding petugas boulevard, yaitu dari tahun 2001. Kecuali Arkodin yang baru mulai bekerja dari tahun 2005, itupun tidak dapat dibilang ‘baru’ juga.

***

Tinggal sedikit lagi saya mendapatkan satu putaran berlari, tiba-tiba seseorang mendahului saya dengan sepeda merah muda berkeranjang depan. Lengkap dengan kaos kuning lengan panjang bertuliskan “Lingkungan” di bagian punggung. Ia adalah Rum (55), petugas kebersihan area makam.

Nggeh,” suara Rum yang khas dengan nada tinggi menjawab sapaan saya.

Sejak tahun 2011 Rum bekerja mencabuti rumput liar, menyapu guguran daun, dan merapikan tanah sisa makam. Tidak hanya itu, tugasnya juga membuat papan nama atau semen yang akan dijadikan nisan sebagai tugas lembur.

Rum tidak sendiri, ada Karjo (71) yang juga bekerja di area makam, mengerjakan tugas yang sama seperti Rum.

Di lain kesempatan saya dapat berbicara lebih leluasa dengan Karjo. Saat itu jam istirahat siang, di bawah pohon rindang sebelum jalan menurun menuju makam, saya duduk bersila bersama Karjo. Ia mulai menceritakan sepenggal hidupnya bekerja di UII.

“Awalnya saya 2002 dulu membersihi itu (red: area perpustakaan), sebelum ada gedung itu (perpustakaan) saya kekreki (membersihkan rumput),” ujar Karjo.

Karjo juga menjelaskan rumput yang tadinya dibersihkan, ketika digali lebih dalam ternyata terkubur candi, saat ia masih bekerja sebagai pekerja proyek pembangunan gedung Perpustakaan Pusat UII.

“Candi bego atau candinya mengko nggon suket tak nyak-nyak, candi iku dibego ada candine (Candi bego atau candinya tadinya tempat rumput saya injak-injak, candi dikeruk (menggunakan bego) ada candinya),” terang Karjo saat bekerja di proyek pembangunan gedung perpustakaan dan menemukan Candi Kimpulan.

Barulah pada tahun 2012 Karjo bekerja di bagian kebersihan makam UII hingga saat ini.

Di tengah Karjo menceritakan kisah hidupnya selama bekerja di UII, ia mengutarakan ketidaktahuan akan nasibnya setelah pensiun.

“Saya ini enggak tahu Mbak, besok itu saya bisa dapat pensiun atau enggak,” tutur Karjo dengan intonasi pelan. 

Karjo juga memaparkan jika ia mendapatkan uang pensiun, ia memiliki impian ingin membelanjakan makanan yang enak untuk anak-cucunya.

“Anak putuku ben do mangan lek aku nduwe pensiun ngoten ngunu lo, dadi sak pensiunan tak belanjake putuku tak kon mangan enak,” ujar Karjo.

***

Ketika mengunjungi situs yang menjelaskan mengenai tata ruang kampus, terpampang foto area UII yang diambil menggunakan drone. Terlihat betapa hijau dan asrinya area kampus terpadu seluas 388.924 m2. Di foto itu juga terdapat keterangan persentase area hijau, yaitu 68% meliputi hutan kampus, taman luar, dan taman dalam.

Di laman tersebut juga menjabarkan deretan prestasi Kampus Terpadu UII dari tahun ke tahun sebagai kampus hijau, kampus asri, hingga kampus swasta paling lestari di Indonesia.

Terdapat satu sub judul yang menjelaskan mengenai lingkungan kampus hijau nan asri, paragraf utamanya terlampir seperti ini:

Kondisi tanaman di Kampus Terpadu UII sejatinya adalah hasil dari proses penghijauan yang diawali sekitar tahun 1995. Hampir semua tanaman adalah hasil dari proses penghijauan tersebut. Kampus Terpadu yang hijau dan asri ini telah membawa UII mendapatkan penghargaan Indonesia Green Awards untuk kategori Green Campus dari La Tofi School of CSR pada tahun 2012, 2014 dan 2016.

Sisanya menjelaskan strategi penghijauan kampus UII dengan empat lapisan tanaman dan prestasi baru pada UI GreenMetric World University Rankings pada tahun 2019 & 2020.

Pada akhirnya penghargaan-penghargaan itu tak lepas dari peran petugas lingkungan yang telah merawat hijaunya kampus UII.

“Sering denger untuk kampus penghijauannya sering dapat nomor, tapi kita yang namanya kayak gitu-gitu (red: apresiasi atau bonus) belum pernah dapat sama sekali mbak,” jawab Purwanto (55) saat ditanyai mengenai apresiasi dari UII kepada pekerja lingkungan setelah mendapat penghargaan kampus paling lestari.

Reporter: Himmah/Adim Windi Yad’ulah, Armarizki Khoirunnisa D., Ika Rahmanita, Yola Ameliawati Agustin

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

*Naskah ini merupakan seri pertama dari empat serial laporan khusus tentang Pekerja UII. Naskah selanjutnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Skip to content