Minim Partisipasi hingga Pencurian Suara dalam Pemilwa, Apakah Student Government Masih Relevan? (3)

Gelaran Pemilwa 2022 diselimuti berbagai persoalan. Mulai dari minim partisipasi, adanya pencurian suara, hingga tidak adanya pengawasan dari pihak eksternal. Pada akhirnya timbul pertanyaan besar mengenai relevansi sistem Student Government yang dianut KM UII.

Himmah OnlineDiikuti oleh 30,55% dari total populasi mahasiswa, Pemilwa 2022 rampung digelar pada 26 Maret lalu. Bersamaan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Nomor 020/KPTS/KPU II/III/2022 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Wakil Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Periode 2021/2022.

Minim partisipasi hingga pencurian suara masih menyelimuti gelaran Pemilwa 2022. Ini pun memunculkan pertanyaan, apakah sistem Pemilwa hingga sistem dalam menjalankan roda lembaga legislatif dan eksekutif di UII masih relevan.

Sistem Student Government (SG)—sistem yang digunakan sekarang—mulai digunakan KM UII sejak 1950. Menurut Rizaldy Mahendra, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2018, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB), sistem SG tidak relevan di era sekarang.

“Relevan di zaman Slamet Saroyo (aktivis UII tahun 80-an) belum tentu relevan hari ini,” terang pria yang disapa Aldy saat diwawancara reporter himmahonline.id pada Sabtu (23/04) melalui pesan WhatsApp.

Bagi Aldy, penggunaan sistem parlementer (yang dijalankan dalam sistem pemerintahan SG) akan percuma, karena sistem pemerintahan di Indonesia menggunakan sistem presidensial. “Untuk apa kita belajar parlementer kalo ujung-ujungnya di Indonesia kita pakai presidensial? Kan, percuma,” tambah Aldy. 

Berbeda dari Aldy, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (DPM-U) 2020/2021, Fadli Nur Yusup menilai bahwa sistem SG masih relevan. Namun, ia mengakui bahwa terdapat kelemahan pada kontestasi Pemilwa.

“Itu (SG) masih sangat relevan, tetapi lemahnya sistem parlementer ada pada kontestasi Pemilwa karena tidak ada pengawasan dari partai. Pengawasannya hanya dari internal saja, tidak ada dari eksternal yaitu partai,” tutur Fadli saat diwawancara Rabu siang (01/06) melalui media telekonferensi Zoom.

Di tingkat universitas, terdapat 23 mahasiswa yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg). Sejumlah 22 caleg tersebut berhasil melebihi ambang batas (threshold) yang sudah ditetapkan (201 suara). Satu dari yang terpilih akan menjadi mandataris Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) yang ditentukan dalam forum tertutup dengan hanya diikuti 22 orang tersebut.

Menimbang Kekurangan dan Kelebihan Student Government 

Fadli yang menilai sistem SG masih relevan pun sempat mengakui kelemahan sistem tersebut. Baginya, itu terlihat pada kontestasi Pemilwa yang tidak ada pengawasan pihak eksternal seperti partai.

Sementara, Aldy menilai bahwa kelemahan sistem SG adalah rawan penyimpangan. “Sistem SG ini sangat rawan penyimpangan. Penentuan eksekutif rawan dengan politik praktis karena mandataris LEM ditunjuk dalam sidang tertutup DPM,” tutur Aldy.

Hal demikian dianggap rancu dalam pelaksanaan Pemilwa, ini dikarenakan saat mencalonkan diri, setiap calon akan berkampanye sebagai legislatif, bukan eksekutif. Namun, pada akhirnya akan ada satu yang jadi ketua eksekutif.

“Lucunya lagi, seseorang yang ingin memegang jabatan eksekutif diharuskan dulu mencalonkan diri menjadi legislatif. Jadi, ketika kampanye ia harus berkampanye sebagai legislatif bukan eksekutif,” ungkap Aldy. “Biar tidak lucu, ya, solusinya eksekutif dipilih langsung (oleh mahasiswa),” tambahnya. 

Selain itu, menurut Fadli, sistem SG berakibat pada dinamika politik di KM UII yang terbatas. Termasuk dalam kontes-kontes perpolitikan, pemilwa, dan sebagainya.

“Itu (dinamika politik) sangat kurang sekali. Makanya banyak aliansi-aliansi seperti UII Bergerak berupaya untuk menggerogoti proses pemilu kita. Saya sangat mengapresiasi, tetapi memberi catatan kepada mereka (bahwa) kurang tajam untuk menjadi orang yang peduli terhadap KM UII. Karena, menurut saya hanya sebatas dilakukan pada saat momen itu, padahal DPM banyak sekali (tugasnya) kalau mau dikaji. Saya sangat mengapresiasi,” ucap Fadli.

Aldy menambahkan, bahwa positifnya Student Government di UII karena berbentuk lembaga dan bukan badan. Sehingga posisinya bukan di bawah rektorat, tetapi sejajar. Namun, ia beranggapan dalam penerapannya masih belum sepenuhnya bisa mandiri.

“Kita belum punya lembaga penegak dan lembaga audit. Jadi investigasi dan lainnya jika tidak buat badan ad hoc, ya, diserahkan ke fakultas atau rektorat,” ungkap Aldy. 

KM UII Perlu Berbenah Diri 

Minimnya partisipasi bukan menjadi hal yang baru dalam gelaran Pemilwa KM UII. Menilik laporan berjudul “Pemilu dan Kebisuan Mahasiswa” yang termuat dalam Majalah Himmah Nomor 03/XXI/1990-Transformasi Pesantren; Mau Kemana?, menampilkan persentase partisipasi mahasiswa dalam memilih Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM)—sekarang DPM-U dan DPM-F.

Di tingkat universitas, hanya 11,8% mahasiswa yang menggunakan hak suaranya, atau sebanyak 1.075 dari total 8.012 mahasiswa.

Pada tingkat fakultas, angka partisipasi paling tinggi dipegang oleh Fakultas Tarbiyah (sekarang FIAI), dengan tingkat partisipasi mencapai 25,6%. Sedang paling minim dipegang oleh Fakultas Ekonomi (sekarang FBE), dengan tingkat partisipasi hanya 6,7%.

Tabel persentase pemilih Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) pada Pemilu 1990 dalam laporan berjudul “Pemilu dan Kebisuan Mahasiswa” yang termuat di Majalah Himmah Nomor 03/XXI/1990-Transformasi Pesantren; Mau Kemana?. Foto: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari

Fadli berpendapat, minimnya partisipasi mahasiswa dalam Pemilwa dikarenakan adanya lima tipe mahasiswa di UII. Pertama, ada yang berminat dan aktif dalam organisasi (aktivis). Kedua, semi aktivis atau ikut dalam kegiatan kepanitiaan jangka pendek. Ketiga, aktivis karbitan, yaitu mahasiswa yang tidak minat keduanya tetapi ikut bersuara dan ikut membuat kegaduhan. Keempat, mahasiswa akademisi, mahasiswa yang aktif secara akademik seperti melakukan riset dan pengabdian masyarakat. Kelima, mahasiswa yang tak peduli apapun atau hanya kuliah pulang-kuliah pulang. 

“Tidak bisa kita mengambiuskan (memaksakan) nilai itu—tingkat partisipasi dalam Pemilwa 2022—tanpa mengindahkan lima poin (tipe mahasiswa) yang saya sebutkan. Semakin ke sini yang saya soroti adalah kepercayaan mahasiswa terhadap lembaganya. Saya ambil (contoh) dinamika universitasnya, jangankan mahasiswa terhadap lembaganya, DPM-F ke DPM-U pun tidak memiliki kepercayaan,” tutur Fadli.

Aldy juga mengatakan, bahwa partisipasi mahasiswa dalam Pemilwa 2022 sebanyak 30,55% tidak bisa dijadikan representatif dari seluruh mahasiswa. “Menurut saya minimnya partisipasi mahasiswa ini dikarenakan iklim di UII tidak kompetitif dan tidak mendukung untuk belajar berpolitik,” papar Aldy.

“SG kita ini tidak memakai sistem multi partai, tapi sebenernya ada partai yang bermain di belakang. Kan sudah tidak fair. Lalu untuk Pemilwa, lebih spesifiknya tidak ada aturan yang mengatur calon yang sedang diinvestigasi tidak boleh mencalonkan diri. Buktinya ada calon yang menjadi terduga kasus pungli tetap bisa menjadi anggota DPM periode ini,” tambahnya. 

Untuk meningkatkan tingkat partisipasi, Aldy berpandangan bahwa caranya adalah dengan menciptakan iklim politik yang kondusif. “Kalau ada aturan pelarangan partai (organ ekstra) ya harus tegas, jangan pilih-pilih untuk menindak,” pungkasnya terkait pencalonan dalam kontestasi Pemilwa.

Selain itu, ia juga menyarankan untuk membuat sistem multi partai. Sama halnya dengan sistem eksekutif yang dipilih langsung oleh mahasiswa. Menurutnya, hal ini akan meningkatkan tingkat partisipasi dalam memilih wakil mahasiswa.

“Itu akan menaikan minat partisipan, jadi suasana politik nanti akan hidup. Lebih lengkapnya bisa dibuat semi presidensial atau presidensil agar ada keseimbangan kekuasaan (power distribution) dengan sistem check and balance antara legislatif dan eksekutif,” tegas Aldy. 

Sementara bagi Fadli, terdapat tiga poin evaluasi untuk sistem kelembagaan SG di UII. Salah satunya mengangkat Badan Audit

Kemahasiswaan (BAK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilwa (PANWASLA), dan Komisi Penyelenggara Sidang Umum (KPSU) menjadi independen.

“Walaupun secara Peraturan Keluarga Mahasiswa (PKM) itu diatur menjadi badan independen sementara, tetapi seharusnya diangkat. Artinya dia bisa memilih (administratif dan hukum) sendiri, regenerasi sendiri,” tutur Fadli.

Selain itu, ia berpendapat bahwa PKM perlu adanya pembaruan undang-undang yang ada di UII. “Terutama PKM. Contoh, yang saya soroti adalah PKM pembagian anggaran triwulan, itu banyak sekali yang perlu diubah dan direvisi, karena sifat lembaga sekarang sudah mulai banyak memperbaharui dan sudah banyak kegiatan program kerjanya,” sambungnya.

“Selanjutnya, SG atau parlemen ini yang harus dibongkar adalah pemikiran mereka yang ada di legislatif, yakni menghilangkan metode berpikir politik dan metode berpikir kepentingan,” ucap Fadli.

Reporter: Himmah/Kemal Al-Kautsar Mabruri, Qothrunnada Anindya Perwitasari, Pranoto, Syahnanda Annisa, Zalsa Satyo Putri Utomo 

Editor: Nadya Auriga D.

*Naskah ini merupakan seri ketiga dari tiga serial laporan khusus tentang Pemilwa KM UII 2021/2022. Naskah sebelumnya dapat Anda temukan dalam baris di bawah ini.

Skip to content