Anggap Aku Sahabatmu

Oleh: Ruhul Auliya

Sudah 2 jam aku duduk di aula ini. Namun aku belum juga ingin beranjak. Hingar- bingar santriwati lain tidak berpengaruh untukku. Karena di hati ini masih terasa sangat sepi.

Aku masih merenung. Sedalam yang aku bisa. Menyandarkan kepala, hati dan fikiranku pada tiang aula. Karena tak ada lagi pundak yang mau menyanggaku. Menyangga hatiku yang rapuh.

Ku arahkan pandanganku lurus kedepan. Kearah sebuah pondasi bangunan. Disana ada 3 orang santriwati sedang bercengkrama ria. Ana, Fitria, dan sarah. Mereka adalah 3 sahabat. Namun bukan ketiganya yang aku perhatikan saat ini. Melainkan salah satu diantara mereka. Sarah.

Sarah adalah seseorang yang selama ini ku anggap sahabat. Ya, bagiku dia adalah sahabat terdekatku. Sejak aku mulai menginjakkan kakiku di pesantren ini. Dia orang pertama yang dekat denganku. Dulu kami sering menghabiskan waktu bersama. Bermain, belajar, atau hanya sekedar ngobrol. Berbagi suka dan duka. Tapi kini, waktu itu telah hilang. Namun masih sempat saling bertukar fikiran. Aku sangat peduli padanya. Apaka dia masih peduli padaku? Aku tidak tau. Yang jelas, dia tidak pernah bertanya lagi “ Kamu kenapa?” dan tidak pernah mengucapkan “Met Ultah”.

“Kamu kenapa, yen?” Tanya Afwan , teman akrabku saat ini, kepadaku setelah melihat air mataku yang mengalir tanpa sadar.

“ Gak ada apa-apa kok.” Ujarku berbohong sembari menghapus air mataku.

“Kamu masih mikirin Sarah?” Tanyanya lagi tak percaya. Dia memang tau permasalahanku tentang Sarah. Aku hanya menunduk dan beranjak pergi.

***

Teeeetttt…..!!!!!!!

Bell tanda istirahat telah berbunyi. Aku keluar dari kelas. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Teman-teman sekelas mengucapkan selamat dan memberikan hadiah. Aku benar-benar senang hari ini.

Ku langkahkan kakiku menuju tempat wudhu. Tapi tepat di sebuah lorong sepi depan gudang, kulihat sarah duduk sendiri sambil menunduk. Sebuah buku catatan kecil terpaku ditangannya. Aku heran. Sepertinya dia sedang sedih. Ku balik arahku menuju sarah. Ku dekati ia.

“ Kamu kenapa?” Tanyaku. Dia menggeleng. Nanun kulihat butiran air mata jatuh di tangannya. Aku duduk disampingnya. “ Aku tau kamu sedih. Jangan nutup-nutupin dech.” Ujarku dan menggenggam tangannya.

“ Aku berantem sama Ana dan Fitria.” Ujarnya. Dia terdiam sejenak dan kembali bercerita. “ Semalem, paku minta di ajarin tugas matematika ke Fitria. Tapi  dia nggak mau. Dia bilang dia sibuk harus ngumpulin proposal untuk acara “Debate Contest” dua minggu lagi. Aku minta Ana yang ngajarin. Tapi Ana juga bilang sibuk buat yel-yel untuk English camp. Aku marah sama mereka. Lalu mereka bilang kalo aku egois. Dan mereka gak pernah nyapa aku pagi ini. Mereka cuek. Aku sedih banget. ” Ujarnya sambil menangis tersedu-sedu. “Mereka adalah sahabat aku. Aku gak mau kehilangan mereka.” Tangisnya pecah. Ku peluk ia erat. Ingin rasanya aku menangis. Ucapannya sangat mengiris hatiku. ‘Apa aku bukan sahabatmu?’ tanyaku dalam hati. Hanya di dalam hati. Aku menangis dalam diam. Sambil sesekali menyeka air mataku agar tidak terlihat olehnya. Ku lepas pelukanku, Kemudian ku hapus air matanya dan berkata.

“ Sarah….terkadang apa yang kita inginkan tidak mesti kita dapatkan. Kalian memang sahabat. Dan aku yakin mereka juga sangat menyayangimu. Tapi, mereka juga punya kehidupan sendiri. Aku tau kamu butuh banget. Tapi mereka juga punya kesibukan sendiri. Kamu tau kan, proposal yang di kerjakan Fitria penting banget?” Ujarku. Dia mengangguk perlahan. Aku tersenyum tulus. “ Sekarang kamu minta maaf ke mereka. Tuh mereka baru keluar dari tempat wudhu’ !” Seruku sambil menunjuk ke arah Ana dan Fitria yang baru keluar dari tempat wudhu’.

Sarah tersenyum dan mengangguk. “ Thanks, ya” Ucapnya dan berlalu meninggalkanku. Aku hanya bisa tersenyum setulus yang aku bisa. Kulihat dia dari kejauhan. Sarah terlihat canggung berkata pada Ana dan Fitria. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun sesaat kemudian aku melihat mereka berpelukan. Hatiku terasa sangat perih. Air mataku merembes dari sudut mataku. Ku telungkupkan wajahku dengan kedua kakiku sampai kurasakan sebuah pelukan hangat. Ku dongakkan kepalaku. Kulihat Afwan. Kupeluk ia erat. Sangat erat.

“ Dia memang tidak pernah menganggapku sahabat.” Ucapku perih. Entah berapa lama.

Skip to content