Alkisah, di sebuah desa bernama Kembang baru saja kedatangan pemuda asing. Tidak ada satu pun orang yang tahu, darimana ia berasal. Tidak ada satu pun orang yang tahu jika ia malaikat yang diutus Tuhan untuk menguji hati manusia. Perut pemuda itu dililit rasa lapar yang luar biasa. Salah satu tangannya memegangi perutnya. Wajah pemuda itu mengiba.
Ia mendatangi pintu demi pintu rumah tanpa bosan, dan mengetuknya. Pemuda tujuh belas tahun itu tidak pernah mengetuk lebih dari tiga kali di setiap pintu yang ia datangi. Jika pintu dibuka oleh si pemilik, ia akan meminta makan. Hingga entah pintu ke berapa, belum juga ada yang terpanggil hatinya untuk memberinya makan.
Bahkan saat ia mengunjungi sebuah pintu berwarna abu-abu, si pemilik rumah membawakannya sebatang sapu dengan mata merah menyala. Rupanya pemuda itu hendak dipukul. Untungnya ia segera pergi dengan berlari bagai kuda. Ada pula yang malah menyambut kedatangannya dengan tuduhan, kehadirannya hanya mengantarkan penyakit. Pemuda itu tentu saja heran. Penyakit apa? Ia merasa dalam keadaan baik-baik saja.
Bulir-bulir keringat seukuran biji apel, terus jatuh dari wajahnya. Pakaian pemuda itu basah, tak ubahnya orang yang baru saja selesai mandi. Sementara panas matahari seperti malah kian memanas, menyengat kulitnya yang sawo matang dan kusam. Di beberapa bagian tubuh pemuda itu terdapat bercak panu, dan beberapa kali pula ia menggaruk bagian-bagian itu karena gatal akibat tersengat panas matahari. Pemuda itu terus berjalan.
Tidak hanya lapar saja yang kini menguasainya. Rasa haus yang sangat bertandang ke kerongkongannya. Ia hanya bisa menelan ludah. Upayanya tidak mampu menghilangkan hausnya yang begitu akut. Pemuda itu kembali sudah berada di depan sebuah pintu yang warnanya memudar. Harapannya masih menyala di dada, meskipun pesimis mulai terbit di benaknya—prasangka pelit terhadap penduduk di desa yang sedang ia pijaki mulai muncul dan sulit dihilangkan.
Tanpa pemuda kecil itu tahu, Tuhan sedang menurunkan cobaan berupa pagebluk di Desa Kembang. Pagebluk berlangsung sejak kurang lebih dua bulan yang lalu. Awalnya, sepasang suami istri di desa itu mendapati suhu tubuhnya sangat panas manakala bangun dari tidur. Mereka batuk-batuk. Sepasang suami istri itu tidak berpikir apa-apa, selain anggapan, yang sedang mereka rasakan, hanyalah meriang biasa, sehingga aktivitas masih dapat dijalankan seperti biasa.
Sang suami masih sanggup pergi bekerja, membajak sawah juragannya. Pada hari selanjutnya, tujuh orang merasakan hal yang sama seperti sepasang suami istri itu. Keadaan sepasang suami istri itu sendiri memburuk. Mereka berdua sesak napas. Tiga hari setelahnya, tubuhnya kaku. Kemudian sore harinya keduanya menghadap pada Yang Maha Kuasa.
Penduduk pun berbondong-bondong datang ke rumah sepasang suami istri itu. Mereka mengucapkan belasungkawa kepada sanak saudaranya. Seminggu kemudian, sudah ada sepuluh orang yang meninggal dunia. Melihat latar belakang ke sepuluh orang sebelum meninggal dunia sama, maka terbitlah spekulasi-spekulasi di antara penduduk Desa Kembang.
Ada yang berpendapat, penyakit aneh itu tadinya berasal dari salah satu dari sepuluh orang yang telah tiada. Ada juga yang dengan berbusa-busa mengatakan, sepuluh orang itu terkena guna-guna, disalahi orang sebagai syarat pesugihan. Kebanyakan orang berkata, penyakit itu hanya penyakit biasa, dan mereka yang mati memang sudah takdirnya.
Dari sekian pendapat, yang paling mengundang polemik adalah perkataan seorang lelaki bernama Murisan, yang menyebar dari rumah ke rumah.
“Bagi siapa yang tetap di rumah saja, ia sudah pasti aman. Di luar rumah sedang banyak wabah tidak kasat mata beterbangan bebas mencari mangsa, sehingga siapa saja yang menghirup udara luar, kemungkinan besar terjangkit penyakit.” Begitu ucapnya.
“Jika saudara tidak percaya, sekarang buktikan saja, mereka yang sakit, pasti keluar rumah melayap ke mana-mana.”
Di Desa Kembang, Murisan terkenal pandai meramal. Bahkan kepandaian meramal menggema hingga ke desa-desa sebelah. Hampir setiap ramalan selalu benar. Terutama bila ada hubungannya dengan bencana. Mulai dari gempa bumi hingga gunung meletus, sudah pernah masuk dalam ramalannya. Terlepas dari itu, yang membuat Murisan begitu spesial, Murisan sama sekali bukan dukun dan tidak mempunyai masa lalu pernah belajar ilmu ramal-meramal.
“Apa hubungannya keluar rumah dengan penyakit aneh itu?” ucap salah seorang penduduk, berbadan tinggi dengan tangan kekar.
“Sepengetahuanku, baru kali ini, desa kita tertimpa penyakit aneh seperti ini.” Kali ini yang berujar seorang tukang bajak sawah.
“Bahkan aku bertanya kepada kakekku, katanya bila menilik dari fakta sejarah, baru kali ini di desa kita ada penyakit aneh,” ucap seorang pemuda berusia kira-kira dua puluh lima tahun.
Orang-orang terus kasak-kusuk. Rumah Murisan disatroni beberapa warga akhirnya. Mereka menganggap, Murisan telah memantik keresahan penduduk. Salah seorang warga hampir saja mendaratkan pukulan di wajahnya. Murisan masih beruntung, orang-orang yang melabraknya, masih mempunyai perasaan, sehingga tindakan itu dicegah. Oleh orang-orang, Murisan disuruh untuk meminta maaf. Murisan tidak mungkin menghindar. Ia tidak mau mengundang kemarahan orang-orang.
Orang-orang tetap saja keluar rumah. Murisan tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa, agar orang-orang segera dipekakan pikirannya, peka terhadap hal yang menyebabkan seseorang bisa terkena penyakit aneh itu. Mereka yang tetap keluar rumah, di hari berikutnya suhu tubuhnya menjadi sangat panas. Batuk-batuk. Mereka ingat dengan kata-kata Murisan; tanda-tanda bila terkena penyakit itu. Hanya penyesalan yang terukir di jiwa. Mereka menyesal telah tidak percaya dengan omongan Murisan.
Korban sudah banyak berjatuhan. Ketakutan menjalar di setiap orang. Mereka takut keluar rumah, walau ada yang memaksakan diri untuk tetap keluar. Apalagi setelah ada kabar yang menyebar hingga ke sudut-sudut desa itu; kepala desa ikut terkena penyakit itu. Orang-orang gelisah. Tidak ada yang mempunyai pengetahuan, dengan apa penyakit itu dapat disembuhkan. Dari pengakuan mereka yang sembuh, mereka hanya menanam keyakinan dalam hati mereka; penyakit itu hanyalah penyakit biasa, serta tetap tenang dalam menghadapinya.
Namun kepala desa berhasil memenangkan pertarungan dalam pertandingan melawan penyakit itu. Penduduk Desa Kembang sedikit lega mendengar kabar itu. Mereka seperti menemukan kembali induknya, setelah terpisah. Kesembuhan kepala desa tidak lepas dari bantuan seorang tabib yang didatangkan istrinya dari desa nun jauh atas usul temannya. Tabib itu berpakaian putih pada saat tiba di kediaman kepala desa. Jenggotnya yang putih dan tebal, menandakan usianya tidak lagi muda. Istri kepala desa sempat ragu, di matanya, sekilas wajah tabib itu tidak meyakinkan karena mirip orang dungu.
Si tabib tidak mau mengakui, bahwa dialah yang menyembuhkan kepala desa. Selain itu, si tabib menolak bayaran dari kepala desa. Ia justru menyuruh kepala desa memberikan upahnya kepada orang yang membutuhkan. Si tabib tidak memberikan obat apa-apa kepada kepala desa, selain mendoakannya.
Meski ia melakukan itu, si tabib yakin, tanpa kehendak Yang Maha Kuasa, doanya tidak akan berarti apa-apa. Lalu kepala desa mengutusnya untuk mencoba mengobati penduduk lain yang terserang penyakit. Nyatanya tidak semua orang yang dibacakan doa bisa sembuh. Di sini, ucapan si tabib semakin terbukti.
Seperginya si tabib, kepala desa membuat wara-wara. Ia menghimbau agar penduduk desanya keluar rumah bila ada kepentingan yang mendesak saja; wabah masih bertebaran. Mengurangi kegiatan di luar, akan menghambat penularan penyakit. Mengurangi kegiatan di luar, berarti sudah menjadi pahlawan. Kepala desa juga mewanti-wanti supaya menggunakan kain atau benda apa saja yang sekiranya bisa menutupi hidung dan sebagian wajah, untuk mengurangi risiko tertular penyakit—wabah itu menular lewat udara.
Semua itu ia peroleh setelah ia bercerita kepada si tabib, apa yang sedang terjadi di desanya. Berangkat dari situ, ia menjadi percaya akan ucapan Murisan yang mengundang polemik di kalangan orang-orang.
Wara-wara kepala desa berdampak pada menyepinya suasana desa. Kabar penyakit aneh itu telah menyebar ke desa-desa lain. Nyaris tidak ada orang dari desa lain yang berani melintas di desa itu. Dampak lain, aktivitas mencari rezeki yang terbengkalai karena kebanyakan penduduk memilih berdiam diri di rumah. Di sawah-sawah hanya satu dua petani saja yang bekerja. Ada juga orang yang sampai rela kehilangan pekerjaan setelah beberapa hari tidak masuk kerja.
Sebagaimana petani yang memilih tetap ke sawah, ada orang yang nekad keluar rumah walau harus menahan sumpeknya bernapas; bila tidak pergi bekerja, ia tidak bisa memenuhi rongga lambung dengan sesuap nasi. Mereka yang memang bekerja dari rumah atau tidak keluar rumah, juga ikut terkena dampak pagebluk. Penghasilan mereka menurun drastis. Orang-orang yang bertahan di rumah, jelas akan menghabiskan stok makanan yang ada.
Pagebluk juga melahirkan ketidakamanan kampung. Di malam hari, tidak ada orang di pos ronda, menjaga kampung sembari ngerumpi apa pun yang bisa dibicarakan—kepala desa setuju ronda ditiadakan. Kabar kemalingan menyebar laksana api yang membakar daun kering di musim kemarau. Ada yang sapinya hilang. Ada yang ayamnya hilang. Beras. Sayuran yang sengaja ditanam di depan rumah juga raib. Peralatan rumah tangga. Meja kursi yang ada di teras.
Rupanya, pagebluk membawa berkah tersendiri bagi maling. Mereka dibantu keadaan yang sepi, leluasa keluar masuk desa dengan aman. Lalu kehilangan-kehilangan selanjutnya masih menggema juga di kemudian hari.
“Jika dipikir-pikir, malingnya pemberani juga,” ucap seorang perempuan paruh baya bernama Suti, kepada suaminya Maksan.
“Namanya maling, ya pemberani. Kalau tidak pemberani, bukan maling namanya,” kata Maksan menertawakan. “Kamu ini aneh-aneh saja.”
“Saya tahu, maling itu punya nyali, tapi yang saya maksud bukan begitu. Ini berkaitan dengan pagebluk. Apa mereka tidak takut kena wabah? Itu menurut saya cukup nekad, dan berisiko. Mereka tidak mungkin tidak mengetahui, kalau tertular penyakit bisa berujung pada kematian.”
Kepala desa pusing tujuh keliling. Bila ia kembali mengumumkan agar ronda kembali digulirkan, itu sama saja mendekatkan para peronda pada jurang kematian. Jika dibiarkan? Penduduknya semakin larut dalam penderitaan. Kepala desa benar-benar dihadapkan pada dua pilihan yang susah. Segerombolan orang penduduk Desa Kembang menghadap kepala desa, setelah untuk yang kesekian kalinya, salah seorang penduduk desa ada yang kemalingan. Segerombolan orang itu berinisiatif untuk mengorbankan dirinya menjaga desa. Kepala desa terharu dengan gerombolan orang itu.
Kepala desa menyetujui niat tulus mereka, dengan menyertakan perintah untuk menutup sebagian wajah. Singkatnya, segerombol orang itu oleh kepala desa dibagi ke beberapa kelompok. Setiap malam di jalan masuk desa dan pos ronda, mereka berjaga
Sementara itu, pemuda itu tidak juga berhenti berjalan. Pemuda itu selalu mengetuk pintu tidak lebih dari tiga kali. Jika tiga kali pintu belum dibuka, ia tidak memaksakan diri.
Ketidakmauan orang-orang memberi makan pemuda itu, mengundang penasaran tersendiri. Begitu juga mungkin dengan Anda yang sedang membaca cerita ini. Lalu apa yang sebenarnya membuat mereka demikian? Untuk kepentingan cerita, akan disebutkan sebuah alasan.
Orang-orang itu berubah menjadi pelit karena pagebluk—meski agak lucu alasannya, kenyataannya di cerita ini memang demikian. Musibah itu memaksa mereka untuk menghemat sehemat-hematnya pangan yang tersedia. Jadi bukankah wajar bila mereka tidak memberi makan pemuda itu?
“Puluhan pintu kuketuk, puluhan orang kujumpai, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang memberiku makan. Apa yang telah membuat mereka pelit?” Dan pemuda itu memang belum tahu jika di desa itu sedang ada wabah.
Pemuda itu kembali mencoba tidak berprasangka bahwa semua orang yang mendiami desa itu sama sifatnya; pelit, meski pada akhirnya gagal. Sedang perutnya semakin dililit oleh lapar. Saat ia keluar dari halaman sebuah rumah kayu, ia benar-benar merasa lelah. Ia menepi ke bawah sebuah pohon. Punggungnya ia sandarkan pada batang. Dalam hati pemuda yang tidak diketahui namanya itu, ada sesuatu yang tumbuh, semacam dendam.
Di kejauhan, penglihatan pemuda itu menjala seorang perempuan tua yang berjalan dengan begitu pelan menggunakan tongkat. Sebagian wajahnya tertutupi kain. Di kedua bahunya ada selembar selendang tersampir. Ia semakin dekat dan semakin dekat. Pemuda itu tidak lagi ada hasrat meminta makanan, kepadanya. Ia iba dengan cara berjalan perempuan tua itu.
“Mengapa kamu duduk di tempat kotor seperti itu?” tanya perempuan tua itu saat ia di dekat pemuda itu.
“Saya kelelahan. Sudah dua hari perut saya tidak kemasukan makanan,” kata pemuda itu.
Ada perasaan sejenis bersalah yang hadir pada hati pemuda itu atas prasangkanya terhadap orang-orang di desa itu, setelah perempuan tua tersebut mengajak ke rumahnya untuk menikmati makanan. Meski ala kadarnya, pemuda itu menerima makanan dengan senang, seperti mendapat “durian runtuh”. Baginya, kebaikan perempuan tua itu luar biasa dan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Perempuan tua itu terharu menyaksikan pemuda itu menyantap makanan.
Makan rampung, pemuda itu berceloteh kepada perempuan itu soal pengalamannya mengetuk pintu demi pintu, untuk meminta makanan. Namun tidak ada satu pun orang yang terketuk hatinya.
“Apa di desa ini ada aturan, pelarangan memberi apa pun kepada pengemis? Kalau ada, mengapa tidak ada satu pun orang yang menyinggung hal itu kepada saya?”
“Apa benar yang kamu katakan itu?”
“Saya tidak mengada-ada. Demi apa pun!”
“Desa ini sedang dilanda pagebluk.”
“Pagebluk?”
Perempuan tua itu pun menerangkan apa yang sedang terjadi di desa itu.
“Mungkin itu sebabnya, mereka semua tidak memberimu makan. Mereka sedang kekurangan pangan. Dan pagebluk, mendorong saya untuk selalu menggunakan kain untuk menutupi hidung dan mulut saat keluar rumah,” terangnya. Selembar kain masih menempel di sebagian wajahnya. “Dan itu pula yang membuat saya, tadi memaksamu untuk menutupi hidung dan mulutmu dengan selendang saya. Itu pula alasan menempatkanmu tidak di dalam rumah, hanya di sini, di bawah pohon kelengkeng saya. Maafkan saya atas perlakuan saya kepada kamu, Nak.”
Pemuda itu hanya manggut-manggut saja, seolah ia bisa menerima alasan, mengapa penduduk Desa Kembang bisa semuanya pelit. Padahal hatinya menolak mentah-mentah alasan itu. Masa jika hanya sesuap nasi tidak ada? Seharusnya pagebluk justru menyadarkan mereka pentingnya bersedekah dikala terdesak.
Perempuan tua itu lalu menceritakan, anak semata wayangnya yang juga terkena penyakit aneh itu dan sedang dalam perawatannya. Perempuan itu mengaku cemas, bayangan kematian anaknya terus menguasainya.
Pemuda itu mengeluarkan buntalan kain dari balik celana pendeknya, begitu perempuan itu berhenti berbicara. Buntalan itu ia berikan kepada si perempuan tua. Kepadanya, pemuda kecil itu berkata, isi buntalan itu dapat digunakan untuk mengobati anaknya yang sakit. Perempuan tua itu ragu-ragu menerima, tapi pemuda itu dapat meyakinkannya.
Sebelum ia pergi, ia berpesan agar dua hari ke depan ia meninggalkan desa itu untuk sementara. Kata si pemuda, akan ada bencana yang akan melanda desa itu. Pemuda itu juga berucap, “Jika tetap di sini, besar kemungkinan tidak akan selamat.”. Perempuan tua itu tidak sempat menanggapi ucapannya; pemuda itu terlampau buru-buru melangkahkan kaki.
Beberapa langkah dari rumah perempuan tua itu, pemuda itu menghentikan gerak kakinya. Ia memutar badannya seratus delapan puluh derajat. Ia menatap dengan sinis rumah-rumah penduduk.
“Tuhan, enyahkanlah wabah yang ada di desa ini, jika bisa, bersama sekalian dengan penduduknya!”