Pohon Ponsel

Pada mulanya, Ali Shabran hanya berandai-andai mengenai pohon mangganya yang sedang berbuah, setelah merenungi nasib anak sekolah di kampungnya yang kebanyakan berasal dari keluarga dengan ekonomi kelas bawah. Ia membayangkan mangga-mangga yang belum matang bergelantungan di pohonnya itu keesokan harinya berubah menjadi ponsel.

“Aku berjanji akan memberikan semuanya kepada anak-anak di sini yang belum punya ponsel, agar mereka bisa sekolah dari rumah pada masa pandemi seperti ini. Jadi menimba ilmu tidak hanya sebatas datang ke sekolah untuk mengambil tugas dan materi yang harus dipahami sendiri,” kata Ali Shabran, sembari memandangi satu per satu buah mangga.

Ali Shabran tinggal di kampung yang cukup terbelakang dengan segala keterbatasan. Di kampung Ali Shabran dan sekitarnya, hanya terdapat satu sekolah—ada sekolah lain, hanya saja jaraknya cukup jauh. Ali Shabran merupakan penduduk asli, yang kemudian pada suatu hari dengan menggebu-gebu memutuskan untuk merantau; menimba ilmu dengan biaya yang diada-adakan oleh orang tuanya. 

Ia mempunyai keinginan, bisa mengubah kampungnya menjadi sedikit lebih baik. Kini Ali Shabran pulang, menemui janji lamanya, akan menyalurkan apa yang diperolehnya di masa kuliah untuk kampungnya.

Kampung Ali Shabran jauh dari kota. Ketika presiden mengumumkan bahwa sudah ada orang yang terkonfirmasi terpapar virus korona—virus berasal dari negeri tirau bambu yang begitu gencar diberitakan—maka tidak perlu menunggu waktu lama bagi menteri pendidikan untuk mengeluarkan kebijakan, yang tidak lain adalah belajar dilakukan secara daring dari rumah.

Mereka yang mempunyai anak masih sekolah mengeluh. Mereka tidak terbiasa hidup dengan benda elektronik semacam ponsel. Parahnya, di kampung Ali Shabran sangat susah sekali sinyal, dan Ali Shabran sempat mengeluhkan juga akan hal ini. Setiap kali ia mau berkomunikasi dengan seseorang, ia harus keluar rumah untuk mencari tempat, hingga sinyalnya membaik.

Pemerintah setempat dengan keras melarang anak-anak ke sekolah, mereka memaksa agar memaklumi keadaan ini dan berusaha mengadakan ponsel—pemerintah seakan-akan tidak memikirkan keadaan kampung yang susah sinyal. Kata mereka, tidak ada pilihan lain. 

Hal itu semata-mata untuk mencegah penyebaran virus korona. Pemerintah juga seperti tidak peduli dengan keadaan ekonomi orang tua yang punya tanggungan anak-anak yang masih harus mengenyam pendidikan. Pemerintah seakan tidak mau tahu. Dari dulu memang begitu.

Ada orang tua yang rela berutang. Ada yang membuka tabungan hasil jerih payah yang dikumpulkan selama berbulan-bulan—padahal sebenarnya tidak rela menggunakan tabungan itu untuk membeli ponsel. Ada juga yang tidak peduli, dengan kata lain lebih memilih anaknya tidak sekolah—ada yang menilai kebijakan yang diambil telah mencekik mereka. 

Bagi penduduk kampung di mana Ali Shabran tinggal, ponsel seakan merupakan barang yang langka, dan harga bagi orang yang akrab dengan benda tersebut murah, bagi mereka sudah menjadi barang yang sangat mahal harganya.

Tenaga pendidik tentu saja pusing tujuh keliling dengan keadaan ini. Anak sekolah tidak mungkin disuruh untuk nekat datang ke sekolah. Tenaga pendidik bisa-bisa disalahkan oleh aparat pemerintah, sebagai kambing hitam penyebaran virus korona. 

Mereka tidak mungkin mengorbankan diri, menjumpai satu per satu anak di rumah masing-masing untuk menyampaikan materi pelajaran. Cara tersebut sangat memakan waktu dan tenaga. Tenaga pendidik benar-benar mumet!

Pada akhirnya diambil keputusan yang sebenarnya cukup berat. Ada tenaga pendidik, yang dengan blak-blakan merasa berdosa dengan keputusan itu. Ada juga yang bodoamat, sebab keadaan sedang genting-gentingnya. Sementara penambahan jumlah orang yang terpapar virus corona semakin bertambah. 

Keputusan itu adalah tenaga pendidik tidak akan memberikan materi pelajaran, peserta didik datang ke sekolah untuk mengambil tugas dan materi pelajaran dengan dijadwal supaya tidak menimbulkan kerumunan.

Peserta didik dituntut memahami sendiri materi pelajaran yang ada—Ali Shabran menganggap metode ini tidak efektif, ia tidak yakin setiap peserta didik mau memahami sendiri materi yang diberikan. 

Tenaga pendidik memberi kebijakan, jika memang tidak bisa memahami, bisa ditanyakan kala mereka datang ke sekolah untuk mengambil tugas, maupun materi. Tidak lupa pula, pihak sekolah mewanti-wanti agar setiap peserta didik datang ke sekolah menggunakan masker dan selalu cuci tangan.

“Betapa aku ingin melihat anak-anak sekolah gembira bisa menyerap materi pelajaran dari rumah….” ucap Ali Shabran. “Metode belajar yang telah diputuskan di sekolah itu, seakan member kesan gurunya cuma tiduran.”

Ali Shabran benar-benar berjanji, bila Tuhan mengabulkan andaiannya, ia akan memberikan ponsel-ponsel yang bergelantungan di pohon mangganya kepada anak-anak yang belum punya. Ali Shabran sangat menyadari apa yang melekat pada dirinya sekarang. Di belakangnya telah ada gelar sarjana. 

Mempunyai andaian seperti itu, tentu saja hal konyol, dan tidak mencerminkan sebagai seorang mahasiswa yang identik dengan pikiran-pikiran ilmiah. Andaian itu awet di tempurung kepalanya. Terus bertahan di sana, terus, terus, dan terus.

Bosan memandangi buah mangga yang belum matang, Ali Shabran masuk ke dalam rumah. Ia merasakan matanya disengat kantuk. Ke kamar tidur merupakan pilihan terbaik. Ali Shabran bukan orang yang percaya pada kata-kata, jika kamu mengantuk, minumlah kopi, niscaya kantukmu akan hilang. Baginya, mengantuk tetaplah mengantuk. Mau beberapa gelas kopi diminum, kalau memang mengantuk, tidak akan bisa ditawar. Ali Shabran pun tidur pulas.

Seseorang yang tidak jelas wajahnya datang pada mimpinya. Ia mengatakan jika esok hari buah mangga di pohonnya akan berubah menjadi ponsel. Ia pun memuji sikap Ali Shabran, yang menaruh perhatian terhadap lingkungannya. 

Pada malam harinya ia juga bermimpi sama. Ali Shabran tidak habis pikir. Ia pun pergi ke hadapan pohon mangganya, dan apa yang terlihat? Apakah pembaca menebak jika buah mangga yang ada di pohon Ali Shabran telah berbuah ponsel? Ya! Buah-buah itu telah berubah ponsel! 

Hari masih begitu pagi, dan jalan di depan rumahnya masih sepi. Cepat Ali Shabran menurunkan ponsel-ponsel yang bergelantungan, hingga tidak tersisa. Ia tidak henti-hentinya berterima kasih kepada Tuhan, dan terus memuji-muji namanya. 

Ponsel-ponsel yang berbagai merek itu ia letakkan di suatu wadah besar terbuat dari plastik. Sebelumnya, Ali Shabran telah menghitungnya. Jumlahnya sembilan puluh sembilan buah! Ia tidak pernah membayangkan akan mempunyai ponsel sebanyak itu.

Namun kemudian, apa yang terjadi? Ali Shabran berhenti tersenyum dan tampak seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Kalau misalnya semua ponsel ini aku berikan kepada anak sekolah di sini, rasa-rasanya sayang. Sembilan puluh sembilan bukanlah jumlah yang sedikit. Masa sebanyak itu hanya kuberikan secara cuma-cuma?” batin Ali Shabran. “Kalau ada kesempatan, kenapa tidak?”

Ali Shabran tidak lagi menyebut-nyebut nama Tuhan. Ia telah silau dengan jumlah ponsel yang fantastis. Hatinya telah diselimuti kabut keserakahan, seakan lupa dengan janji yang pernah ia ucapkan sendiri. 

Padahal Tuhan sudah begitu baik. Ali Shabran tidak peduli dengan dosa yang akan ia terima karena sudah membohongi Tuhan. Yang ada di kepalanya, hanyalah uang dan uang. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Ponsel-ponsel ini bisa membuatku dalam sekejap memperoleh uang jutaan rupiah, kata Ali Shabran lirih.

Mendapatkan rezeki nomplok, mengingatkan Ali Shabran dengan kata-kata yang pernah diucapkan bapaknya.

“Seseorang yang mendengar seorang pejabat terkena kasus korupsi, kemungkinan akan bilang, kalau aku yang jadi pejabat, pasti aku tidak akan korupsi. Itu omong kosong. Kemungkinan terjadi hanya kecil, sangat kecil. Yang ada dia korupsi bila dikasih kesempatan, jelas-jelas ada peluang dan berhadapan langsung dengan uang, kok! Orang yang bilang kayak gitu, karena dia belum saja berhadapan dengan uang.”

Ali Shabran membenarkan juga perkataan bapaknya. Dan ia merasakan akan hal itu sekarang. Kemarin, ia begitu menggebu-gebu berjanji jika buah mangga yang ada di pohonnya berubah menjadi ponsel, ia akan memberikan ponsel-ponsel kepada anak sekolah di kampungnya yang membutuhkan. 

Ali Shabran berjanji demikian karena hal itu tidak mungkin terjadi—di luar nalar manusia. Sama halnya seperti orang yang melihat seorang yang korupsi bilang, kalau aku yang jadi pejabat tidak akan korupsi. Ia tidak menghadapi keadaannya, sehingga bisa berucap demikian.

Ali Shabran pun menjual ponsel-ponsel tersebut kepada mereka yang memiliki anak sekolah. Agar terlihat menarik, Ali Shabran sedikit menurunkan harganya dari harga asli yang beredar. Singkatnya, ponsel-ponsel itu telah laku hampir setengahnya. 

Tetapi kemudian yang terjadi, ponsel-ponsel yang belum laku, seakan telah diberi roh oleh Tuhan. Ponsel-ponsel itu melayang di hadapan Ali Shabran. Lelaki itu ketakutan. Dalam sekejap ponsel-ponsel itu menghantam tubuh Ali Shabran.

“Akkhhhhh….”

Ali Shabran terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Bulir-bulir keringat bercucuran di wajahnya. Sembari mengatur napasnya, matanya menatap genting di atas kamarnya. Ternyata hanya mimpi, gumamnya.

Ali Shabran merasa ditampar dengan mimpi itu. Ia malu dengan dirinya sendiri. Setelah napasnya pulih, ia duduk di pinggir ranjang. Ingatannya berjalan jauh ke empat tahun silam, saat ia berjanji akan memberikan sesuatu kepada kampung halamannya agar menjadi lebih baik begitu ia memperoleh gelar sarjana. 

Kini ia telah punya gelar sarjana, dan Ali Shabran merasa malu dengan dirinya sendiri. Gelarnya seakan tidak berarti. Janjinya belum ditepati. Mimpi itu benar-benar mengingatkan akan janjinya. 

Tapi apa yang bisa ia lakukan kini? Ia hanyalah seorang sarjana pertanian yang menganggur. Sementara itu di luar sana, anak sekolah sedang berkutat dengan masalah yang sekarang mereka hadapi; keadaan pandemi yang membuat mereka seharusnya sekolah dari rumah!

Podcast

Skip to content