Teror Psikologis di Tengah Kegilaan

Judul: Penampungan Orang-Orang Terbuang

Penulis: Guillermo Rosales

Penerjemah: Gita Nanda

Penerbit: Labirin Buku

Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2020

Tebal: vi + 122 Halaman

ISBN: 978-623-92983-0-2

Tidak seperti pembaca karya sastra kawakan di luar sana yang begitu mengakrabi sastra Amerika Latin, saya justru tak tahu banyak tentang perkembangan dan keberagaman karya di sisi lain benua Amerika itu. 

Perjumpaan kali pertama saya dimulai dengan membaca “Pesta di Sarang Kelinci” milik Juan Pablo Villalobos, baru kemudian novela yang ditulis oleh Guillermo Rosales ini, yakni “Penampungan Orang-Orang Terbuang”. 

Untungnya, dua novela ini memberi pengalaman membaca yang tak sia-sia, terutama novela miliki Rosales. Dalam ketipisan halamannya, Rosales sukses memberikan teror psikologis yang tak main-main.

Seperti yang dijelaskan dari judulnya, novela ini mengisahkan orang-orang terbuang, atau memiliki gangguan kejiwaan di sebuah panti swasta bernama Boarding Home. 

Sejak di halaman pertama, si Aku-narator seolah sudah menggambarkan kegilaan yang akan menghadangnya di tempat itu. Dia bilang, “Bangunan itu bertuliskan “BOARDING HOME” di bagian luar, tetapi aku tahu ia akan menjadi kuburan bagiku (hlm. 1).” Ucapannya memang tak salah, tetapi alih-alih menjadi kuburan, saya kira, lebih tepatnya panti itu menjadi neraka baginya. 

Dalam perkenalan selanjutnya, si Aku-narator mengenalkan dirinya sebagai pria tiga puluh tahunan bernama William Figueras. Ia pria Kuba yang memiliki ketertarikan terhadap sastra, bahkan ia pun menulis sebuah novel. 

Akan tetapi, karena dinilai bernada murung, cabul, dan dekaden, terutama karena novelnya mencemari nama baik partai komunis di negaranya, oleh pengawas sastra pemerintahan novelnya itu dilarang terbit. Sejak saat itulah ia menjadi gila. William mulai melihat iblis di dinding dan mulai mendengar suara-suara yang menghinanya.

Setelah itu, ia memutuskan pindah ke Amerika Serikat, tempat sanak keluarganya tinggal. Namun, sambutan hangat yang ia pikir akan didapatinya, tak terjadi sama sekali. Mereka yang mendapati kondisi William kala itu: Seorang pria gila, nyaris ompong, kurus, dan penakut; bisa ditebak, merasa kecewa dengannya. 

William menodai citra keluarga borjuis itu. Ia menjadi aib keluarga. Untuk itulah, sang bibi—satu-satunya orang yang sedikit memiliki kepedulian terhadapnya—memutuskan untuk memasukkan William ke panti tersebut. 

Boarding Home terletak di kota Miami yang dimiliki oleh seorang pria bernama Curbelo. Disebutkan oleh si Aku-narator bahwa Curbelo ini perwujudan sosok borjuis kecil yang hanya mementingkan diri sendiri. Selama mengasuh pantinya, ia selalu mengambil uang tunjangan milik para penghuni panti yang setiap bulan didapat dari pemerintah. 

Fasilitas yang ia sediakan di panti itu pun jauh dari kata manusiawi. Misalnya, dalam hal makanan yang ia pesan dari katering bernama Sazon. Ia membiarkan saja pemilik katering itu meracik makanan untuk para penghuni panti dari bahan-bahan terburuk yang mereka miliki.  

Mendapati ketidaklayakan tersebut, William toh tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sudah dititipkan oleh bibinya di sana. Maka, di tengah pemandangan kekerasan, tingkah laku penghuni panti yang di luar nalar, dan gaya hidup jauh dari kebersihan itulah William mencoba menjalani hari-harinya. 

Sering kali, ia membaca buku puisi penyair Amerika yang selalu ia bawa, yang sepertinya seolah menjadi katarsis bagi kegilaan yang terus tergelar di sekitarnya itu. 

Kegilaan-kegilaan inilah yang saya bilang sebagai teror psikologis tadi. Dari satu tokoh berkuasa lain, yakni tangan kanan Curbelo yang bernama Arsenio, kegilaan ini diedarkan dari satu penghuni ke penghuni lainnya. Pria yang selalu tampak mabuk ini bersikap bak raja kedua di panti itu. 

Ia sangat tahu menggunakan akalnya sebagai salah satu manusia waras di sana dan memanfaatkannya untuk memeras, menganiaya, merampok, dan beragam tindakan buruk lainnya. Dan karena ia tahu para penghuni panti tak ada yang berani melawan, ditambah ia pun tahu Curbelo tak peduli meskipun ada yang protes, maka ia dengan leluasa bertindak sesuka hatinya. 

Kegilaan itu pun lambat-laun menghinggapi tokoh utama kita. Itu terjadi ketika ia sudah berminggu-minggu tinggal di sana, ketika di suatu siang ia hendak ke kamar mandi, tampak pria tua bernama Reyes yang memiliki masalah pada saluran urin. Ketika Reyes tengah kencing sembarangan, saat itulah William menghajarnya dengan mengirimkan tendangan ke arah kelamin pria itu dan menghantamkan kepalanya ke dinding. 

Kala itu, Arsenio melihatnya, tetapi tak berbuat apa-apa. Di kemudian hari mereka bersepakat untuk tak peduli. Biarlah itu menjadi urusan masing-masing, demikian mereka bersepakat.

Gugatan Kemanusiaan

Bagi beberapa orang, novela ini sangat mungkin dipandang sebagai bacaan yang keras. Adegan dan kata-kata kasar enteng sekali diucapkan dan dilakukan oleh para tokohnya. Di samping itu, terdapat sekian perilaku menyimpang dan tindakan tak manusiawi yang digambarkan cukup realistis. 

Sekian hal inilah–saya rasa–tidak cocok bagi beberapa pembaca. Sebab, bagaimanapun, mendapati hal-hal semacam itu bisa menimbulkan perasaan tak nyaman.

Namun, itu tidak berarti novela ini patut dihindari sama sekali. Di sisi lain, pembaca bisa melihat bahwa apa yang ditampilkan di dalam novel sebagai wujud gugatan atas kebobrokan sistem dan ketimpangan relasi kekuasaan di suatu tempat. Gabungan kedua hal itu lantas termanifestasi dalam praktik penindasan, pelecehan, dan kekerasan fisik serta psikis terhadap sekian tokoh di dalam kisah ini. 

Pada sisi itu, penulis seolah menggugat, sebenarnya siapa yang salah? Siapa yang paling gila di antara mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas sekian kejadian yang dialami oleh mereka?

Untuk menjawab pertanyaan kedua, kita bisa menyitir ucapan salah satu penghuni panti, Hilda, saat tengah berbincang dengan tokoh utama kita, “Curbelo-lah makhluk yang paling gila dan menjijikkan di tempat ini.” 

Ucapan tersebut cukup beralasan, sebab Curbelo alias pemilik panti terus memeras tiap tetes darah yang masih tersisa pada tubuh para penghuni tempat asuhannya. Lalu, apa dengan begitu, dialah pihak yang sepenuhnya bersalah dan mesti bertanggung jawab?

Belum tentu. Penulis sengaja membuat pembaca merekonstruksi ulang dugaannya. Bisa jadi, dalam pembacaan awal, kita menduga demikian, tapi begitu menyelami kisah ini semakin dalam, bisa jadi kita juga berubah pikiran. 

Sekilas, proses ini mungkin cukup melelahkan dan menyebalkan bagi sebagian pembaca. Tapi, bila dilihat hasilnya nanti, setidaknya kita bisa mendapat perspektif baru dalam memandang kondisi kompleks di tempat-tempat sulit seperti yang ditampilkan novela ini.

Lalu, bagaimana dengan teror psikologis? Tentu, teror yang saya maksud berkaitan dengan sekian hal yang dijabarkan di atas. Bahwa dalam proses pembacaaan novel ini, tak jarang, otak seperti terserang teror yang berat dan mengganggu. 

Di beberapa bagian, kita seperti memerlukan jeda untuk berhenti sejenak, yakni sebuah tindakan demi menetralisir apa yang kita dapati dari novela ini. Namun, pengalaman semacam itu bukannya membuat kita menyesal sebab telah memilih novela ini sebagai bahan bacaan. 

Sebaliknya, kesan yang didapat sedemikian kuat dan mendalam. Ya, novela ini bukan sejenis bacaan yang hanya selintas lalu kita baca dan terlupakan begitu saja.

Skip to content