Yang Menyoroti Kerakusan

Judul: Nggragas

Penulis: Triyanto Triwikromo

Penerbit: Diva Press

Cetak: Pertama, Februari 2021

Tebal: 212 Halaman

ISBN: 978-623-7378-37-2

“Ia makan tak sesuai kebutuhan” kata Kunti kepada Bima, “Kalau saja gunung bisa dimakan, ia akan menelan gunung itu tanpa sisa” (Nggragas).

Salah satu wiracarita kuno India yakni Mahabharata, menggambarkan Bakasura sebagai sosok omnivora. Raksasa pemakan segala. Alkisah, warga Erucakra sangat takut padanya. Ia nggragas, rakus. Tak ada seorang pun yang sanggup menghentikan kerakusannya itu. Selain rakus, hasrat menguasai siapa pun kian tak tertangguhkan di kedirian Bakasura.

Demikianlah sepenggal narasi Bakasura.  Sosok Bakasura ditilik sebagai representasi manusia yang rakus dan angkuh dalam buku. Entitas karakter antagonis maujud dalam segenap tindak tanduk kesehariannya. Karena ia antagonis, demikianlah karakter ini menjadi analogi yang relevan  untuk menggambarkan umat manusia yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk mengejar hasrat kesenangan temporal.

Perspektif Jawa

Tajuk “Nggragas” pada kumpulan esai Triyanto Triwikromo ini menjadi semacam tilikan yang sanggup mendedahkan mata melihat segenap persoalan kekinian bangsa. Salah satunya kerakusan orang dalam berpolitik. Pengisahan demi pengisahan dalam perspektif budaya Jawa pun digunakan untuk membidik lebih jauh persoalan itu.

Jawa, dengan segenap kearifan lokalnya menyimpan narasi adiluhung yang hingga kini masih terus kontekstual. Kearifan lokal itu berkelindan dengan bagaimana seharusnya manusia dapat memaksimalkan potensi hidupnya. Ia tidak hanya sekadar bertindak, namun juga memikirkannya terlebih dahulu. Itulah salah satu manifestasi peningkatan potensi diri.

Pemaksimalan potensi diri menjadi penanda bahwa ia suatu entitas yang berpikir. Manusia terus bergumul dengan realitas karakteristik alamiahnya, konstruktif dan destruktif. Dua karakteristik alamiah yang  senantiasa tarik ulur itu memerlukan kendali yang berangkat dari hulu akal budi. Ya, dari hulu akal budi ini tersemai dimensi kebajikan yang sanggup menghentikan laju karakter destruktif dalam diri manusia.

Akal budi menjadi pelopor jalan terang pengetahuan. Manusia berpengetahuan akan memaksimalkan akalnya demi kemaslahatan bersama. Ia tidak gila kekuasaan dan menghamba pada materi. Bagi manusia yang paham mendayagunakan akalnya, dua hal tersebut bak ornamen semu yang berusaha bersembunyi di balik tabir kenestapaan orang banyak.

Karena itu, ia mesti ditanggalkan. Hal-hal yang berurusan dengan materi kini menjadi tujuan utama hasrat manusia modern. Tak ada penundukan ego dalam pemenuhan hasrat itu. Semuanya sama-sama memperebutkan sesuatu yang tampak artifisial berupa kekuasaan. Di balik tampuk kekuasaan inilah manusia ditarik ke dua sisi yang saling mempengaruhi, antara berdedikasi dan mencari kenikmatan semu duniawi.

Jika ia berdedikasi, energi positif akan selalu tercurah di setiap gerak langkah, sorot mata, dan getaran hati seorang pemimpin yang berjalan di atas kepentingan orang banyak. Tak ada pamrih materi di sini. Semesta mendukung. 

Sebaliknya, kenikmatan semu duniawi membuat seorang pemimpin akan semakin terbius pesona bujuk-rayu berhala materialisme. Ia menjadi semacam candu yang mengubah sikap pemimpin menjadi nggragas dan melupakan hakikat eksistensialisme kepemimpinannya di ruang publik.

Yang terakhir ini merupakan tujuan salah arah yang bersegera diluruskan. Penyair Darmanto mengingatkan, manusia perlu hidup secukupnya. Baginya, hidup yang cukup membuat seseorang tidak rakus. Kerakusan, sebagaimana karakter destruktif, menyebabkan suatu tindakan korupsi terjadi (Halaman 70).

Bagi masyarakat Jawa, jika kita ingin hidup bahagia, kerakusan mesti diganti prinsip hidup sebagaimana mestinya. Jika mestinya ia memakai blangkon, sepantasnya memakai blangkon. Jika mestinya ia memakai selop, sepantasnya memakai selop. 

Seperti yang disebut Ki Ageng Soerjomentaram dalam anggitannya, “Kaweruh Jiwa”, bahwa orang bakal bisa beja jika mereka menjalankan kehidupan dengan sakpenake, sabutuhe, seperlune, sacukupe, samestine, dan sabenere.

Menjalani hidup sebagaimana mestinya menjadi cara ampuh untuk meredakan konflik yang sering terjadi akibat hasrat mendudukkan dirinya dalam dominasi kekuasaan. Segerombolan binatang yang berjaga-jaga dalam tiap diri manusia yang digambarkan Sapardi perlu segera dipenggal. Jika tidak, manusia akan menjadi serigala bagi yang lain.

Akhirnya, 46 esai dalam buku merangkap secara subtil memuat refleksi atas kehidupan kita dengan liyan. Pada setiap inti babakan esainya, Triyanto banyak menimba pelajaran adiluhung dari tiap kisah dalam dunia pewayangan Jawa. Ini dilakukan karena dalam dunia pewayangan termuat dimensi kearifan lokal yang kontekstual menggambarkan lelaku hidup manusia modern, salah satunya ihwal kerakusan. 

Triyanto yang karib dengan puisi, membuat “Nggragas” terasa begitu satir, analitik, dan memantik imajinasi sambil melihat kerumunan realitas dunia politik mutakhir yang tidak karuan juntrungannya. Melalui perspektif budaya Jawa, esainya sarat dengan muatan kearifan lokal yang telah mengalami kristalisasi gagasan paling sublim. Kini, sehimpun esai “Nggragas” secara implisit hendak memberi jalan terang atas fenomena perpolitikan tanah air. 

Skip to content