Lombok itu Artinya Lurus

Sesekali bolehlah mengunjungi kampus itu untuk bernostalgia sejenak. Melepas penat sementara sehabis menghadapi hari-hari kerja nan terlampau berat. Ya, hari cerah tersebut menjadi momentum bagi Wahyu untuk mengenang rancaknya masa-masa kuliah dulu. Walau memang secara keadaan kini semua sudah berubah.

Setiap langkah gontainya yang melintasi boulevard membawa benak Wahyu pada rasian. Taman-taman yang asri ini menjadi saksi bisu bahwa setiap ada kelas pagi, seorang Wahyu selalu datang terburu-buru lantaran dirinya acapkali terlambat. Atau masjid ikonik kampus itu yang menjadi saksi ketika ada teman Wahyu yang kostnya sudah ditutup sebab waktu yang larut malam, mereka semua kompak menginap di sana… saling bersenda gurau hingga tiba azan Subuh.

Andaikata waktu terulang, mungkin insan itu ingin lebih mensyukuri tiap momen-momen berharga dengan sanak-sanaknya. Seketika ia teringat hari di mana dirinya pertama kali hendak berangkat merantau bersama teman-teman satu kampungnya.

***

Enam tahun silam, Bandara Zainuddin Abdul Madjid, Lombok. Dengan berat Wahyu keluar dari bus Damri sambil menenteng kopernya, ia sampai di bandara bertiga; bersama Ziyad dan Murad. Akhirnya mereka bertiga sampai di bandara, ini adalah momen yang menarik bagi ketiganya karena baru pertama kali Wahyu, Ziyad, dan Murad akan pergi merantau dalam waktu lama.

Tujuan mereka tak lain adalah Yogyakarta, tempat yang terkenal sebagai kota pelajar dan mungkin kota kenangan. Mereka memasuki bandara sambil berbincang-bincang, tampak di sana orang yang paling semangat adalah Wahyu.

“Pokokne amun te merantau harus te jari dengan-dengan sak bau piak perubahan aden bau membanggakan gumi Selaparang ne! (Pokoknya, kalau kita merantau haruslah kita jadi orang-orang yang bisa membuat perubahan supaya bisa membanggakan tanah Lombok ini),” ujar Wahyu dengan bahasa Sasak.

Wahyu kemudian melanjutkan “Bareh engkah dengan-dengan leq luah to paranan Lombok ne sebie doang lok haha…(Nanti orang-orang luar berhenti menganggap arti Lombok itu cabai).”

“Yee gati meton. Lombok nu artine lurus ndek napak sebie (Mantap saudaraku. Lombok itu artinya lurus bukan cabai),” balas Ziyad. Ia kemudian meneruskan dengan bahasa Indonesia. “Kita orang Lombok harapnya supaya kita bisa lurus dalam menjalani hidup, tak terlalu terpengaruh oleh godaan dunia!”

“Yaok Ziyad, makak mek silung marak jari Tuan Guru, solah ongkat mek. Padahal bilang jelo nyumpak’an dirik gawek mek (Duh Ziyad, kenapa kamu tiba-tiba seperti menjadi Tuan Guru, bagus ucapanmu. Padahal setiap hari kerjaanmu ngomong kasar),” sindir si Wahyu.

Murad yang sedari tadi hanya diam kini sedikit tertawa mendengar hal tersebut. Ziyad mendadak bijak padahal hari-harinya tak seperti itu, pantas saja Wahyu menyindir demikian. Di tengah Wahyu dan Ziyad yang adu bacot, Murad seketika tersenyum menyaksikan mereka. Dia pun hendak mengatakan sesuatu.

“Aku mele jari diplomat, aden engkah jari beban keluarge! (Aku mau jadi diplomat, supaya aku berhenti jadi beban keluarga),” ungkap Murad tanpa keraguan.

“Yee gati meton, engat bae aku endah bareh jari pengusahe… arak penghasilan terus bau wah merarik hehe,” Ziyad pun membagi mimpinya, ia ingin menjadi pengusaha sehingga bila ada penghasilan dirinya bisa segera menikah.

Kedua temannya bersorak menyemangati, ada yang menggoda Ziyad untuk segera menyebut merek (siapa identitas wanita yang akan ia nikahi). Suasana cukup ribut hingga kemudian giliran Wahyu.

Pandangan kini terarah ke Wahyu, mereka berdua penasaran apa yang ingin diungkapkan manusia satu itu.

“Amun aku jak mele jari… (Kalau aku sih ingin jadi),” dengan lantang Wahyu hendak berucap, tetapi…

“Panggilan terakhir kepada bapak Lalu Wahyu Hidayat, bapak
Ziyad Rabbani, dan bapak Nuruddin Murad untuk segera naik ke pesawat.”

Pemberitahuan tersebut lantas membuat ketiganya panik dan berlari sekencang-kencangnya menuju pesawat. Jikalau mereka tak mendengarkan peringatan tersebut sudah pasti ketiganya tertinggal. Memang menunda-nunda adalah kebiasaan mereka, bahkan parahnya sampai di bandara pula.

***

Momen itulah yang kadang membuat Wahyu garuk-garuk kepala bila diingat lagi. Setelah melintasi boulevard kini ia sampai di depan fakultasnya. Berjalan melewati kantin tempat di mana ia acap berdiskusi dengan batur-baturnya dulu.

Kendati sekarang yang dilihat di hadapan mata Wahyu hanyalah kantin kosong tak berpenghuni, namun imajinya membuat seolah-olah lingkungan sekitar hidup – dihuni oleh keramaian anak-anak kampus eranya dahulu.

Terkadang dia berpikir, apa memang niat awalnya dulu untuk menjadi orang Lombok yang dapat membawa perubahan sudah terealisasikan? Wahyu berpikir tidak, lantaran ia merasa tidak ada perubahan yang banyak dalam dirinya selama bertahun-tahun.

Paling yang berubah hanyalah sifatnya, dulunya dia sangat aktif dan semangat tetapi kini amat pendiam serta apatis. Tidak heran dia sering mempertanyakan pada dirinya sendiri apakah ia sudah berguna bagi orang lain, apakah ia sudah menjadi orang yang lurus sebagaimana lurus dalam makna Lombok.

Yogyakarta itu istimewa bagi dia yang punya cerita di sana. Sedangkan sekarang Wahyu tidak berpikir demikian, ia justru berpikir tiada lagi cerita yang bisa dibuat di Yogyakarta selain bertahan hidup. Ia merasa bersyukur ketika dahulu di bandara hendak mengungkapkan apa mimpinya tiba-tiba terpotong oleh pemberitahuan keberangkatan.

Mengapa begitu? Karena bila Wahyu mengungkapkannya dengan semangat yang menggebu-gebu pada saat itu, pastinya di masa kini hanya ada rasa kecewa bercampur malu nan membebaninya. Sebab impian itu tak lebih hanyalah idealisme belaka yang harus dibuang jauh-jauh.

Dia seperti telah kehilangan arah, tidak tahu lagi hendak melakukan apa. Isi pikirannya sekarang hanya bagaimana cara bertahan hidup, tidak lebih dari itu.

Memperturut keinginan gaya hidup saja enggan, apalagi mengharap sebuah cinta – Wahyu skeptis akan hal itu bahkan sejak sebelum dia merantau. Maka sampai setua apa pun ia tidak mempermasalahkan bila dirinya terus-terusan membujang.

Terlepas dari semua itu, setidaknya Wahyu memiliki sebuah kebahagiaan kecil yang entah kenapa timbul tatkala dirinya mengikuti reuni sahabat, puasa lalu. Rasa senang itu semakin kuat ketika kini Wahyu menginjakkan kaki di masjid kampus, sebab saat ramadan beberapa bulan lalu pertemuan reuni kecil mereka bertiga di sini.

Alangkah bahagianya Wahyu mengetahui dua temannya itu berhasil memperjuangkan impian mereka. Kini Murad telah bekerja sebagai diplomat Indonesia di luar negeri, adapun Ziyad berhasil mengembangkan usaha kulinernya dan membuka cabang di Yogyakarta serta Solo.

Tiada rasa iri ataupun dengki pada diri Wahyu, justru dia malah senang menyaksikan langsung pencapaian teman-temannya. Dalam reuni kecil tersebut mereka malah berdiskusi tanpa saling jaim sebagaimana dulu.

Turut gembira Wahyu melihat putra pertama temannya Ziyad kini sudah bisa jalan, begitupun ketika ia mengetahui Murad baru saja menikah. Meski dalam reuni itu kedua temannya tampak menggandeng istri, itu tak membuat Wahyu kehilangan percaya diri lantaran membujang. Dia yang sering pendiam malah lebih aktif berbicara pada saat itu.

Di masjid itu tiada hentinya tersenyum ceria menyaksikan foto dirinya bersama Ziyad dan Murad ketika reuni kemarin. Apa pun keadaannya di masa sekarang, Wahyu tetap bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk bersobok pandang dengan sanak-sanaknya.

Skip to content