Mencari Putri Duyung

Akhir-akhir ini, Emak terlihat lebih muram daripada biasanya. 

Pada hari-hari lain, Emak akan menjemur pakaian sambil menyenandungkan lagu lama yang sering diputar di radio. Waktu membersihkan rumah, senyum kecil akan terukir di wajahnya yang sudah berkeriput kala menemukan uang receh di bawah bantal milik Bapak. Teriakannya bisa mengalahkan lantunan azan Maghrib dari surau saat memanggil Ulin yang tengah asyik bermain bersama temannya.

Ulin, sebagai satu-satunya orang yang menemani Emak saat Bapak melaut, sadar betul akan perubahan mendadak ini. Emak akan menyiapkan makanan sebelum Zuhur, sebelum Ulin pulang dari sekolah. Namun, sekitar tiga hari ini Emak baru mulai menanak nasi setelah Ulin mengeluh kalau ia lapar setelah kembali dari sekolah. Saat menemani Ulin makan pun, Emak lebih banyak melamun daripada menanyakan apa yang Ulin pelajari di sekolah.

Saat Bapak pulang setelah melaut, Emak biasanya akan menyambut dengan segelas kopi untuk Bapak. Bapak pun akan mencium kening Emak lalu bercerita mengenai apa yang ditangkap selama melaut. Ulin bisa tahu rutinitas itu karena Bapak akan pulang sebelum Ulin pergi bermain.

Rutinitas itu, sepekan terakhir tidak pernah Ulin lihat lagi. Bocah berumur sepuluh tahun yang gemar bertelanjang dada tiap bermain ini bingung saat Emak hanya masuk kamar kala Bapak pulang. Tidak ada obrolan ramah di antara keduanya. Tidak ada kecupan manis di kening Emak atau segelas kopi hangat untuk Bapak.

Hari itu, Ulin memberanikan diri untuk bertanya.

“Ada apa dengan Emak, Pak?” Ia bertanya setelah mencium tangan bapaknya yang baru pulang setelah melaut, sekalian meminta uang untuk membeli es cekek saat bermain.

“Tidak ada apa-apa. Wajar kalau Emakmu begitu,” Bapak yang terlihat kelelahan masih bisa tersenyum tipis sebelum merogoh kantung celananya dan mengeluarkan selembar dua ribuan, “Maaf bapak cuma bisa kasih segini. Uangnya buat besok lagi, ya?”

Ulin mengangguk lalu cepat-cepat memasukkan uang tersebut ke saku celananya. Biasanya Bapak akan memberikan uang lima atau sepuluh ribuan. Hari ini hanya dua ribu, dan Ulin sudah cukup dengan itu. Harga es cekek di dekat rumahnya hanya berharga seribu saja. Biasanya uang sisa dari Bapak akan ia tabung di celengan ayamnya.

Meskipun begitu, ia masih belum mendapat jawaban mengenai apa yang terjadi pada Emak.

Setelah membeli es cekek dan menggantungkan plastiknya di salah satu paku rumah milik Wiro, Ulin berlari menghampiri teman-teman sepermainannya yang tengah bersiap-siap bermain voli dengan bola kumal yang mereka temukan di tempat sampah. Garis-garis pembatas tanda lapangan digambar seadanya menggunakan ranting pohon. Tidak ada net, yang ada hanya sandal berjajar di tengah-tengah “lapangan”.

“Kata Bapak aku, belakangan ini tengkulak membeli ikan dengan harga lebih murah,” Wiro, yang kebetulan satu tim dengan Ulin saat permainan voli ini, membuka percakapan. Ulin menengok ke arah temannya itu sambil mengepalkan tangannya untuk membalikkan bola dari tim lawan.

“Betulkah?”

“Ya, Emak aku jadi uring-uringan dibuatnya,” bukannya Wiro, Harun yang ada di tim lawan lah yang menjawab. Bola dari Ulin dikembalikkan dengan pukulan kerasnya. Tim Harun berhasil mencetak poin karena Ulin dan Wiro gagal menghalanginya.

Ulin memandang kosong ke arah Harun dan Bayu yang tengah melakukan tos sambil tersenyum satu sama lain. Wiro berjalan di belakangnya untuk mengambil bola voli. Permainan dimulai lagi setelah Putri, sebagai wasit, memberikan aba-aba agar keempat orang itu mulai bermain.

Sebelum azan Maghrib berkumandang, Ulin sudah sampai di rumah sambil mengucap salam. Bapak tengah menonton teve dengan saluran paling jernih dibandingkan saluran-saluran lain. Saluran itu menyiarkan telenovela Turki yang mungkin tidak Bapak tonton sejak episode pertama. Pokoknya saluran yang paling jernih, itulah yang akan ditonton Bapak. Di meja yang ada di sebelah kursi Bapak, ada segelas air putih yang tinggal setengah. Aneh, biasanya jam segini Bapak akan minum kopi sebelum bersiap-siap pergi ke surau.

“Emak di mana, Pak?” Ulin menengok kesana-kemari mencari keberadaan Emak-nya.

“Di kamar, sedang menjahit baju koko Bapak yang robek. Bawakanlah minum untuknya,” mendengar itu, Ulin bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air. Langkah pendeknya lalu membawanya ke kamar Bapak dan Emak. Benar saja, ketika ia menyingkap tirai, ia menemukan Emaknya tengah menggigit ujung benang sebagai tanda bahwa kegiatan jahit-menjahitnya telah selesai.

Ulin baru menyadari bahwa raut wajah Emak terlihat lelah dan lebih muram daripada sebelumnya. Meskipun begitu, Emak tetap tersenyum pada Ulin dan menerima air dari anaknya itu. Setelah menenggaknya sampai habis, Emak memberikan lagi gelas kosongnya pada Ulin. Selain itu, Emak juga memberikan baju koko milik Bapak yang sudah dijahit. “Berikan pada Bapakmu. Emak mau menyiapkan makan malam.”

Ulin mengangguk ketika Emak melewatinya dan keluar dari kamar. Tidak tahu kenapa, tapi sekarang Ulin merasa bahwa dirinya adalah seekor burung merpati yang digunakan untuk berkirim pesan. Bapak bisa saja memberikan air pada Emak, dan Emak bisa saja memberikan baju ini pada Bapak. Kenapa semuanya harus lewat Ulin? Sungguh tidak biasa.

Kala azan Maghrib berkumandang, Ulin keluar dari kamar Emak dan Bapaknya. Ia menyerahkan baju koko milik Bapak lalu masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap ikut ke surau.

***

Pagi harinya, Ulin banyak melamun dan tidur di kelas. Raganya memang ada di kelas, tetapi pikirannya masih ada di tempat tidur. Hari itu ia terlambat bangun karena tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tengah malam saat bapaknya akan melaut, ia mendengar sayup-sayup suara keributan dari ruang tamu. Walaupun hanya setengah terjaga, Ulin yakin bahwa pemilik suara-suara itu adalah Bapak dan Emak.

Emak sempat berteriak sebelum ditenangkan oleh Bapak. Ulin juga mendengar kalau Emak sempat menangis dan Bapak tidak terdengar mengatakan apapun. Pintu terbuka lalu tertutup lagi tanpa salam dari Bapak. Ulin mendengar Emak menyeka ingusnya kemudian berjalan menuju kamar. Suara tirai kamar yang ditarik beberapa kali jadi akhir dari keributan kecil pada malam itu. Namun, Ulin malah terjaga sepenuhnya saat rumahnya menjadi sunyi seperti tidak ada keributan apapun sebelumnya.

Yang ia lakukan selama terjaga di tengah malam hanya menatap langit-langit kamarnya. Kadang ia mencoba memiringkan tubuhnya, melihat lubang-lubang kecil di dinding anyaman bambunya. Ia jadi memikirkan bagaimana perubahan sikap yang mendadak dari Emak membuatnya sedikit takut. Padahal selama ini, satu-satunya hal yang membuatnya takut adalah dimarahi oleh guru agamanya.

Diamnya Ulin bertahan sampai pada pukul tiga pagi. Selanjutnya, ia sudah terlelap lagi karena bosan dan lelah hanya diam saja saat terjaga. Di saat yang sama, Emak sudah keluar dari kamarnya dan bersiap salat Tahajud.

Pikiran tentang kejadian malam itu membuat Ulin tidak bisa fokus mengikuti pelajaran. Saat pelajaran olahraga, kepalanya terkena bola sepak karena tak mendengarkan peringatan dari teman-teman maupun gurunya. Saat pelajaran Bahasa Inggris, Ulin terpaksa dikeluarkan dari kelas karena tidak memperhatikan guru yang sedang mengajarinya tata bahasa, grammar, atau apalah itu. Tidak biasanya Ulin begini.

Saat istirahat, biasanya Ulin dan teman-temannya akan bermain sepak bola di lapangan sekolah. Namun, karena Ulin terlihat lesu hari itu, teman-teman sepermainannya pun duduk di dekat bangku Ulin. Yang ada di sana hanya Wiro dan Putri. Harun dan Bayu tidak bersekolah.

Kedua temannya berniat untuk menghibur Ulin. Yang dihibur sebetulnya merasa bahwa itu adalah hal yang tak perlu dilakukan, karena ia cuma butuh tidur. Namun, mana mungkin Ulin menolak usaha kedua temannya? Toh, yang mereka lakukan cuma mengobrol dan saling melontarkan kelakar agar setidaknya Ulin bisa tersenyum.

“Eh, aku baru dapat cerita ini dari Lina, tapi kalian jangan bilang siapa-siapa, ya?” Putri menurunkan suaranya, yang lain pun refleks mendekat, ‘kemarin Lina bertemu dengan putri duyung. Dia lalu memohon agar putri duyung yang sedang bernyanyi itu memberi ayahnya perahu yang baru. Lalu saat sampai di rumah, ayahnya betul memamerkan perahu barunya pada Lina!’

“Ah, yang betul kamu, Putri?” Wiro meragukan ucapan Putri. Ulin juga sebetulnya meragukannya, karena bisa jadi Ayah Lina membeli perahunya dengan uangnya sendiri. Lagi pula, khayalan seperti itu hanya ada dalam cerita rakyat yang sering diceritakan Emak pada Ulin sewaktu ia masih kecil.

“Aku serius! Kalian juga tahu sendiri kalau tengkulak akhir-akhir ini membeli ikan ayah-ayah kita dengan harga yang sangat rendah. Perahu yang dimiliki ayah kalian pun semuanya menyewa. Tapi Ayah Lina? Ia mendapatkannya dengan cuma-cuma, dan perahu itu jadi punya ayahnya! Tidak ada sewa-sewa lagi,” Ulin rasa, mungkin Putri sedikit jengkel karena ceritanya tidak dipercaya oleh Wiro, makanya sekarang Putri terdengar seperti berteriak.

Putri kembali ke tempat duduknya saat Wiro tertawa terbahak-bahak. Wiro senang tiap kali Putri marah. Ulin hanya terkekeh. Putri dan teman sebangkunya, Lina, selalu penuh dengan imajinasi. Keajaiban-keajaiban yang mustahil ada di dunia nyata pun mereka percayai begitu saja. Lagipula, di kehidupan ini, mana ada putri duyung yang bisa mengabulkan permintaan.

Setelah istirahat, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi pelajaran terakhir untuk hari itu. Saat kelas dibubarkan, guru sekaligus wali kelas Ulin belum memperbolehkan Ulin untuk pulang dan mengikuti teman-temannya. Ada sesuatu yang harus dibicarakan, kata wali kelasnya.

“Bagaimana kabar Ulin hari ini?” tanya wali kelas sambil tersenyum tipis.

“Aku baik, Bu,” Ulin menjawab sekenanya, “Ada apa Ibu memanggil aku?”

“Tidak, tidak ada apa-apa. Apa kondisimu keluarga Ulin baik juga? Apa Bapak dan Emak baik-baik saja?” Pertanyaan itu hanya dibalas dengan anggukan oleh Ulin. Walaupun sebetulnya, ia masih memikirkan sikap Emak yang menjadi aneh akhir-akhir ini.

“Kenapa Ibu bertanya begitu?”

“Tidak ada apa-apa,” wali kelas Ulin mengubah senyumannya menjadi senyuman getir, “Tenggat waktu untuk pembayaran sekolah sudah lewat tujuh hari. Guru-guru di sekolah cukup khawatir dengan Ulin, apalagi Ulin adalah murid berprestasi di sekolah,”

Ulin cuma mengangguk-angguk saat wali kelas menyuruhnya untuk menyampaikan hal tentang pembayaran sekolah pada Emak dan Bapaknya. Ada beberapa hal yang tidak terlalu ia mengerti. Mungkin kalau wali kelasnya tidak memperhalus bahasa saat berbicara dengannya, Ulin akan mengerti sepenuhnya.

Ucapan wali kelas Ulin langsung disampaikan ketika Ulin sampai di rumah. Emak tengah mencuci baju di kamar mandi yang berada di sebelah dapur. Ulin hampir mengurungkan niatnya untuk menyampaikan apa yang ia dengar siang ini saat melihat Emak dalam keadaan yang benar-benar tidak seperti biasanya. Rambut Emak terlihat begitu lusuh, seperti tidak disisir setelah bangun tidur. Baju daster yang digunakannya masih baju yang kemarin. Emak juga mencuci baju dengan kasar. Rasa-rasanya baju yang bahannya tidak terlalu bagus akan segera robek kalau Emak menguceknya.

“Mak,” Emak tidak menanggapinya dan Ulin pun menelan ludahnya, “Bu Guru bilang, aku belum bayar sekolah bulan–”

“Diam!” Bohong namanya kalau Ulin tidak terkejut dengan bentakan Emak. Bocah itu mundur selangkah mendekati pintu kamar mandi saat Emak semakin kasar mengucek pakaian. “Kau dan Bapakmu sama saja. Bisanya hanya menyulitkan Emak masalah duit. Bapakmu lebih buruk, sudah tidak bisa cari duit, sekarang dia berani berhutang sama lintah darat. Memang harusnya aku tidak menikahi bajingan itu.”

Merasa kalau Emak akan semakin meledak-ledak apabila ia melanjutkan perkataannya, Ulin pun membalikkan badannya dan pergi ke kamarnya. Ia mencoba menahan air matanya tetap berada di tempatnya. Ia tidak mau menangis karena hal seperti ini. Meskipun begitu, ia cukup sedih dan terkejut karena Emak dan Bapak, nyatanya, sedang bertengkar sekarang.

Memikirkan hal itu, Ulin tak kuasa untuk menahan tangisannya. Ia menangis tersedu-sedu seperti ia telah dilukai oleh seseorang. Memang hatinya terluka karena selama ini, Emak dan Bapak tidak pernah bertengkar. Kondisi keuangan keluarganya bukan golongan yang begitu baik atau buruk, jadi Emak dan Bapak jarang sekali membicarakan masalah uang.

Selama di sekolah, ketika Wiro bercerita tentang ayah dan ibunya yang sangat sering bertengkar, Ulin tidak terlalu mendengarkannya. Buatnya, obrolan seperti itu tak ada bedanya dengan khayalan Putri tentang putri duyung atau unicorn. Ia merasa semua keluarga yang ia kenal pasti baik-baik saja karena keluarga Ulin sendiri baik-baik saja.

Namun, kini Ulin merasakan ketakutan yang dirasakan Wiro, dan Ulin membenci hal itu.

Ulin menghapus air matanya dengan seragam yang masih ia pakai, begitu juga dengan ingusnya. Rasa sedih yang tadi hadir, kini digantikan dengan amarah yang meluap-luap. Masih berseragam, Ulin keluar dari rumahnya. Ia berjalan dengan langkah yang memperlihatkan kalau ia sedang marah. Ulin hafal betul arah menuju rumah tengkulak karena sebelum masuk sekolah, Bapak sering mengajaknya ke rumah tengkulak ini. Ia tidak menghiraukan Bapak yang baru sampai rumah setelah melaut.

Dari kejauhan, Ulin bisa melihat tengkulak yang biasa membeli ikan Bapak sedang menimbang ikan dari nelayan-nelayan lain. Wajahnya jadi merah-hitam karena terbawa emosi. Saat Ulin lebih dekat, tengkulak itu menyapanya dengan wajah gembira, bak melihat kemenakan yang sudah lama tak ia temui.

Ulin tak membalas sapaan si tengkulak dan malah berjalan menuju timbangan gantung besar yang terikat pada tiang kayu. Timbangan yang tengah menimbang satu jaring besar penuh ikan pun ia tendang begitu saja. Ikan yang sedang ditimbang pun berhamburan keluar. Nelayan yang tengah mengantre pun kaget bukan main, apalagi si tengkulak. 

Dengan tenaga yang masih tersisa, Ulin membalikkan bak-bak berisi ikan yang ada di halaman rumah tengkulak itu. Ikan-ikan pun bergelimpangan karena keluar dari air. Ulin benar-benar membuat kekacauan di sana. Ia melempari tengkulak dengan beberapa ikan yang ada di dekat kakinya.

“Tengkulak sialan! Karena kau, Bapak aku jadi harus berhutang. Bapak dan Emak bertengkar karena kau membeli ikan-ikan Bapak dengan harga murah. Keluargaku jadi berantakan!” Ulin terengah-engah saat mengucapkan kalimat itu. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah tengkulak. Ia tidak peduli kalau-kalau umur tengkulak itu lebih tua dari Bapak. Ia terlampau marah untuk saat ini.

“Ha?” Tengkulak yang tadinya terkejut bukan main itu justru tersenyum bengis sambil menatap Ulin, “Bapak kau itu lah yang terlalu malas. Tangkapannya terlalu sedikit dan ikan yang ditangkapnya kecil-kecil. Jangan salahkan aku kalau kau jadi tidak bisa makan karena itu,”

Tengkulak itu lalu mencengkram kerah seragam Ulin dengan erat. Tengkulak mengangkat tubuh Ulin sedikit kemudian satu bogeman pun dilayangkan ke pipi bocah itu. Ulin pun terlempar ke tanah. Ujung bibirnya berdarah dan ketika tengkulak mencoba memaksanya untuk berdiri lagi agar mereka bisa kembali berkelahi, nelayan-nelayan yang tadinya mengantre pun memisahkan mereka berdua.

“Pak, itu anak Tono. Jangan dipukul gitu,” Ulin bisa mendengar salah satu nelayan berkata begitu sambil terus menahan tubuh tengkulak. Dua nelayan lain pun mencoba menjauhkan Ulin dari rumah tengkulak agar pertikaian tidak berlanjut.

Amarah dalam benak Ulin masih membara-bara. Nelayan yang mencoba menenangkannya pun ketakutan saat melihat ke mata Ulin. Anak itu lalu dibiarkan untuk pulang sebelum berusaha ditenangkan. 

Ulin berjalan perlahan ke rumahnya. Amarahnya kian mereda saat perih di bibirnya mulai terasa. Pipinya juga terasa sakit karena bagaimanapun juga, ia masih berumur sepuluh tahun, dan wajahnya ditinju oleh seorang pria dewasa. Separuh wajahnya terasa kaku dan sakit. 

Belum sempat mengobati rasa sakit yang ada, Ulin sudah dikejutkan dengan pemandangan rumahnya yang dipenuhi preman-preman. Hampir seluruhnya bermuka garang dan bajunya cukup bisa dikenali apabila Ulin melihat preman-preman yang sering berhutang di warung milik Harun. Ulin langsung berlari ke rumahnya saat ia mendengar Emak berteriak-teriak.

“Sudah kubilang, suamiku akan membayar utang dan bunganya. Kami cuma perlu waktu,” mata Emak cukup berkaca-kaca, tapi suaranya begitu keras untuk menggertak preman-preman itu keluar dari rumah. Ulin menghambur memeluk Emak. Emak pun langsung menyembunyikan Ulin ke belakang tubuhnya.

“Duh, miskin, miskin. Kalau tidak bisa bayar utang, tidak usah berutang!” Salah satu yang tubuhnya paling besar mengejek keluarga Ulin. Matanya beralih dari pandangan remeh untuk Emak dan Ulin, menuju suara ribut-ribut yang berasal dari dapur. Dua orang bertubuh kekar tengah menggiring Bapak yang sudah babak belur.

“Aku bawa si tua bangka ini sebagai jaminan. Setidaknya kalau kalian tidak bisa bayar seminggu lagi, ginjalnya bisa dijual,” orang itu membalikkan badannya dan keluar dari rumah Ulin sambil menendangi beberapa perabot rumah. Baik Ulin maupun Emak tidak bisa menahan rentenir-rentenir itu untuk tidak membawa Bapak. Kehadiran pria-pria kasar itu saja sudah membuat keduanya takut dan berlinang air mata.

“Ulin, ayo bereskan semua kekacauan ini,” Ulin tahu kalau Emak mencoba untuk tegar dari suaranya yang bergetar.

***

Tiga hari pertama setelah kepergian Bapak dihabiskan oleh Emak yang mulai mencari pinjaman ke tetangga-tetangga. Nominal lima juta adalah nominal yang sangat besar di lingkungan Ulin. Seumur-umur, melihat satu juta pun Ulin tidak pernah. Angka itu terdengar sangat besar, padahal utang pokok yang dimiliki Bapak cuma tujuh ratus ribu. Namun, bunga dari lintah-lintah darat itu terlalu besar. Bapak menggunakan uang itu untuk membayar sewa perahu dan memberi uang untuk Emak.

Sekali-kali, Harun akan memberi uang pada Ulin barang sepuluh ribu atau dua puluh ribu. Uangnya ia ambil dari hasil jualan warungnya. Ulin selalu menolak uang itu, berkata bahwa Harun tidak perlu melakukan hal sejauh itu untuknya. Namun, tetap saja Harun akan membawakan uang-uang itu pada Ulin.

Ulin juga terpikir untuk memecahkan celengan ayamnya. Walaupun isinya hanya recehan, tapi setidaknya bisa membantu Emak sedikit. Emak menolak, “Yang menyebabkan semua ini adalah Bapak. Biar Emak yang menyelesaikan. Simpan saja uang itu untuk dirimu sendiri.” 

Tiga hari ini juga, Ulin merasa bahwa Emak semakin kurus. Pandangannya juga selalu ke bawah. Rambutnya acak-acakan dan Emak baru mandi pagi tadi setelah ditinggal Bapak. Rumah tidak terurus dan Ulin hanya makan mi instan. Emak menghabiskan waktunya di kamar. Entah melakukan apa.

Emak juga melarang Ulin untuk bertemu teman-temannya dan pergi ke sekolah. Emak bilang kalau Emak cukup malu setelah kedatangan rentenir. Ulin juga tak kunjung membayar uang sekolahnya. Jadi, lebih baik Ulin tetap di rumah saja, walaupun Ulin juga tidak tahu harus berbuat apa selama di rumah saja.

Pada pagi hari keempat, Emak membangunkan Ulin pagi-pagi sekali untuk salat Subuh. Ulin tidak langsung bangun, tetapi matanya sedikit terbuka saat Emak memaksanya bangun. Emak berdandan begitu rapi, tidak seperti hari-hari sebelumnya.  Sayup-sayup terdengar Emak menangis terisak. Namun, Ulin tidak memperdulikan hal itu dan kembali pada tidur lelapnya.

Ulin pun akhirnya bangun pukul tujuh pagi, saat sinar matahari masuk melalui lubang-lubang kecil di antara dinding anyaman bambunya. Tangannya tergerak untuk mengucek matanya saat ia duduk di tepian ranjang. Buat Ulin pagi ini sepi sekali. Biasanya Emak sudah sibuk memasak di dapur. Namun, saat Ulin ke dapur, tidak ada Emak di sana.

Nyatanya, tidak ada Emak di rumah.

Ulin panik dan kebingungan. Emak tidak pernah pergi tanpa pamit. Dan sekarang, Ulin pun ditinggalkan sendiri di rumah. Pikiran bahwa Emak meninggalkannya membuat lutut Ulin terasa lemas. Setelah Bapak direnggut darinya, kini Emak pun juga membuangnya. Ulin merasa bahwa sekarang ia sendirian dan tidak punya siapapun di sisinya.

Bocah itu berjalan ke ruang tengah dan duduk di kursi yang biasa diduduki oleh Bapak. Ia menatap kosong pada teve yang mati. Rumahnya kini begitu sunyi. Telinganya hanya menangkap suara deburan ombak yang menabrak batuan karang. Ia merasa hampa dan pikirannya dipenuhi berbagai pemikiran buruk.

Saat nyaris tertidur, Ulin mendengar suara ketukan di pintu. Ia pun segera berlari menghampiri pintu, berharap bahwa yang mengetuk adalah Emak. Ia berharap bahwa Emak akan memberikan kejutan dan meminta maaf telah meninggalkannya. Mungkin, Emak juga akan membawa Bapak, dan mereka bisa hidup dengan tenang seperti sedia kala.

Namun, yang ia temui hanya seorang nelayan tua dengan sepasang sepatu basah di tangannya. “Ulin, apa Emak-mu memang membuang ini ke laut? Aku ingat betul kalau Bapak-mu lah yang membelikan ini saat dia masih bujang. Aku menemukannya mengapung tadi di tengah laut.”

Otak Ulin tidak bisa memproses apapun sekarang. Yang ia lakukan hanya mengambil sepatu itu dari tangan nelayan tua itu lalu menutup pintu dengan keras.

Ulin tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Emak bukan tipe orang yang akan membuang barang pemberian begitu saja. Apalagi tadi pagi Emak berdandan begitu rapi. Emak pasti sedang menjemput Bapak. Pokoknya Emak tidak melakukan sesuatu yang buruk, kan? 

Bocah itu pun terduduk di depan pintu rumahnya sambil menunduk. Keluarganya runtuh dalam waktu yang begitu cepat. Penyesalan mulai memenuhi otaknya. Dadanya sesak dan matanya panas. Ulin menangis karena ia tidak punya siapa pun sekarang.

***

Dua hari berlalu dan Emak tak kunjung pulang. Selama ditinggal, Ulin tak makan apapun dan hanya minum air. Sekarang ia jauh lebih kurus daripada sebelum-sebelumnya. Tubuhnya terlihat lusuh karena ia tidak mandi. Ia tidak lagi tidur di kamarnya, tetapi tidur di kamar Emak dan Bapak. Wangi minyak angin milik Emak masih tersisa dan tiap membaunya, Ulin akan menangis lagi. Walaupun ia bukan orang penakut seperti Bayu, tetapi tetap saja semua ini membuatnya resah.

Malam hari datang dengan cepat tanpa sempat Ulin sadari. Ia pun jadi teringat tentang cerita putri duyung dari Putri. Putri duyung yang bisa mengabulkan permintaan. Rasanya, imajinasi itu seperti oase di tengah padang pasir penderitaan milik Ulin ini. Lagipula, esok hari rentenir-rentenir itu akan kembali ke rumahnya. Kalau ia meminta Bapak dan Emak agar kembali secepatnya, ia tidak akan mendapat masalah besar. Sungguh, ia hanya meminta agar Bapak dan Emaknya agar bisa kembali.

Ulin pun keluar dari rumahnya dengan jaket kebesaran milik Bapak. Dengan tenaga yang tersisa, ia melepaskan tali-tali yang mengikat perahu sewaan Bapak dan mencoba mendorongnya sekuat tenaga ke lautan lepas. Saat separuh bagian bawah perahu sudah menyentuh air, Ulin cepat-cepat untuk naik ke perahu. Ia mendayung kapal itu sedikit demi sedikit.

Sekarang, yang perlu ia lakukan adalah mencari suara nyanyian dari putri duyung. Setelah menemukannya, Ulin tinggal mengucapkan permintaannya. Setelah itu, saat ia kembali, ia akan menemukan Bapak dan Emak tengah menunggu kepulangannya. Membayangkan itu pun membuat hati Ulin menghangat.

Namun, bukannya nyanyian yang ia temukan, Ulin hanya mendapat rasa hampa. Setelah hampir dua jam mendayung, tidak ada suara nyanyian yang terdengar. Bahkan seorang putri duyung yang tengah duduk di atas batu sambil menunggu pelaut yang akan melewati lautnya pun tidak ia lihat.

Ulin berhenti mendayung dan diam di tengah laut yang ujungnya tidak terlihat. Rasa kosong pun kembali memenuhi dadanya dan sekarang ia ingin muntah. Kesunyian tidak pernah se-menyesakkan ini sebelumnya. Ulin pun menatap refleksi dirinya sendiri di air laut yang cukup tenang. Ia merasa telah dibohongi dirinya sendiri.

Ia paham betul bahwa Putri dan Lina hanya membual, tetapi ia tetap mencari putri duyung. Hal itu jadi satu-satunya harapan yang Ulin pegang dan kini setelah ditipu oleh dirinya sendiri, Ulin merasa hampa. Tatapan matanya pun kosong dan ia tidak bisa berpikir. Ia tahu bahwa Emak menenggelamkan diri di laut, tetapi ia enggan mempercayai pikirannya sendiri. Kini, ia juga mau menyusul Emak.

Maka dari itu, Ulin pun menjatuhkan dirinya ke laut.

***

Skip to content