Buah dari ilmu adalah akhlak yang mulia. Kalimat padat berisi ini yang menjadi landasan beberapa pondok pesantren untuk melahirkan generasi-generasi berbudi pekerti santun. Di mata masyarakat umum, tanda santri yang mendapatkan ilmu manfaat bisa dilihat dari tata kramanya terhadap sesama.
Akhlak yang mulia merupakan kunci keberkahan di dalam hidup. Bahkan Nabi Muhammad SAW diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak-akhlak manusia.
Bagi para santri, faktor keberkahan yang paling ampuh adalah tata krama seorang santri kepada Pak Kyai. Cara para santri memuliakan Pak Kyai sering dianggap tidak masuk akal oleh sebagian masyarakat. Seperti ketika santri melihat Pak Kyai hendak melewati jalan di area Pondok, maka santri akan segera mengosongkan jalan yang hendak dilewati sebagai wujud memuliakannya.
Contoh lainnya adalah ketika mencium tangan Pak Kyai, santri biasanya menciumnya bolak-balik. Bagi sebagian masyarakat, hal ini dinilai terlalu berlebihan sebab sama saja dengan menuhankan manusia.
Tentu saja hakikatnya tidak seperti opini sebagian masyarakat, justru hal seperti itulah cara mendapatkan keberkahan dari orang yang dekat dengan Sang Pencipta. Para santri biasa menyebutnya dengan istilah Ngalap Barokah.
***
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim dijelaskan bahwa ilmu manfaat dapat diperoleh dengan enam syarat. Satu di antaranya ialah harus dalam kurun waktu yang lama, bahkan dalam hadits disebutkan bahwa tuntutlah ilmu mulai dari ayunan ibu hingga ke liang kubur, atau dengan kata lain menuntut ilmu itu hingga hembusan nafas terakhir.
Di Pondok Pesantren Raudhatul Muta’allimin yang terletak di Desa Kedung Cangkring, Jabon, Sidoarjo terdapat satu santri yang telah belajar di Pondok selama 18 tahun sekaligus menjadi Ustadz tertua di sana. Santri tersebut biasa dipanggil Ust. Reden. Ia dikenal sebagai sosok yang pendiam, bersuara halus, dan menguasai tiga pelajaran pokok pondok pesantren, yakni Tauhid, Fiqih, dan Nahwu Shorof.
Sangat jarang seorang santri yang mampu menguasai tiga bidang ilmu tersebut, karena tiga bidang ilmu tersebut memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang-bidang ilmu lain.
Saat mengajar, Ust. Reden selalu berkata bahwa ia bisa menguasai tiga bidang ilmu sekaligus bukan karena memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tetapi semua itu karena berkah dari Pak Kyai. Suatu siang saat Ust. Reden mengajar Nahwu Shorof, ia menceritakan tentang cara-cara santri Ngalap Barokah kepada Pak Kyai.
Ia menjelaskan bahwa kata “berkah” diambil dari bahasa Arab “barokatun”. Menurut Imam Nawawi, berkah adalah kebaikan yang berlimpah dan abadi. Sedangkan dalam kitab Riyadhus Sholihin berkah berarti bertambahnya kebaikan. Jika ilmu seseorang itu berkah, maka akan menarik kebaikan-kebaikan yang lain.
“Akan aku ceritakan kepada kalian semua tentang tiga santri yang mendapatkankan keberkahan dari Pak Kyai dengan caranya sendiri-sendiri. Tiga santri tersebut bernama Arya, Rikan, dan Firdaus,” kata Ust. Reden.
***
Tidak semua santri di pondok pesantren mampu menyerap ilmu yang diajarkan oleh guru dengan cepat. Ada yang dijelaskan cukup satu kali sudah memahami secara keseluruhan, namun ada juga yang dijelaskan berkali-kali pun malah mandi di kali hingga para santri menyebutnya Jahl Murokkab.
Itulah pondok pesantren, sebuah miniatur realita kehidupan di masyarakat. Salah satu santri yang mendapat gelar Jahl Murokkab adalah Arya. Meskipun begitu, Arya tak patah semangat sebab ia yakin bodoh atau pintar merupakan takdir yang bisa diubah jika ada niat yang sungguh-sungguh. Yang paling penting Arya yakin, ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar pintar, yakni berkah.
Suatu pagi di ambang fajar, Pak Kyai sedang mengajar ilmu Faroidh. Ilmu Faroidh adalah ilmu yang membahas tentang tata cara membagi harta warisan sesuai dengan syariat Agama Islam. Pak Kyai menjelaskan bahwa setiap anggota keluarga memiliki bagian harta waris yang berbeda-beda, namun ilmu ini sudah jarang diterapkan oleh masyarakat umum.
Sebagian masyarakat memilih membaginya secara rata agar tidak terlalu rumit. Setelah menjelaskan dengan tuntas, Pak Kyai ingin menguji tingkat kepahaman santrinya. Satu per satu diberi pertanyaan hingga tiba giliran Arya.
“Arya, apa yang dimaksud dengan Akhun Syaqiq?” tanya Pak Kyai. Arya hanya diam tertunduk tak menjawab. Bukan karena Arya tak bisa menjawab, tetapi Arya tidak tahu harus menjawab apa. Padahal Arya sudah berusaha mendengarkan dengan serius, berusaha tak melewatkan setiap kalimat yang disampaikan Pak Kyai meskipun satu kata saja. Namun tetap saja Arya tak mengerti.
“Arya, dengarkan! Maksud dari Akhun Syaqiq adalah saudara laki-laki sekandung,” kata Pak Kyai menjelaskan kepada Arya yang diulang sebanyak tiga kali dengan harapan memudahkan pemahaman Arya.
“Arya, istilah apa yang digunakan dalam ilmu Faroidh untuk menyebut saudara laki-laki sekandung?” tanya Pak Kyai sekali lagi. Tentu saja masih dengan jawaban yang sama, jawaban yang tak berjawab.
Arya bingung, mengapa pertanyaan yang diajukan Pak Kyai berbeda dengan yang pertama tadi? Andai saja Arya tahu bahwa sejatinya pertanyaannya sama. Pertanyaan yang hanya dibalik subjeknya, tetapi semua itu hanya tinggal andai saja. Sampai pada akhirnya Pak Kyai memanggil Arya untuk maju.
“Arya, majulah!” panggil Pak Kyai. Arya maju dengan tubuh gemetar.
“Buka mulutmu!” Perintah Pak Kyai diiringi terbukanya mulut Arya.
“Kurang lebar!” kata Pak Kyai. Arya langsung membuka mulutnya lebar-lebar.
“Hadapkan ke langit!” perintah Pak Kyai. Selang beberapa detik, Pak Kyai sudah mengambil ancang-ancang. Kejadian selanjutnya adalah suara “Huuueeekkkk Juuuhh” dari lisan Pak Kyai. Pak Kyai meludahi mulut Arya.
“Telan Ar!” kata Pak Kyai.
Ajaibnya, keesokan harinya Arya sudah hafal Furudhul Muqoddaroh.
***
Kisah kedua adalah tentang santri yang bernama Rikan. Seorang santri yang boleh disebut “nakal” dan juga boleh disebut “malas”. Ia disebut “nakal” karena sering melanggar peraturan pondok pesantren dan “malas” karena sering terlambat ketika mengaji.
Allah selalu saja mempunyai rahasia di balik rahasia. Meskipun bergelar “nakal” dan “malas”, Rikan sangat tawadhu’ terhadap Pak Kyai. Bagi Rikan, Pak Kyai adalah sebuah keharusan yang harus disegerakan. Satu kebiasaan favorit Rikan adalah mengharapkan sisa makanan atau minuman Pak Kyai yang tidak habis.
Rikan rela berdebat sengit dengan Agus untuk memperebutkan nasi pecel sisa Pak Kyai yang tidak habis. Kebetulan saat itu Agus sedang lapar dan kondisi dompet yang sedang krisis moneter, sebab Agus belum mendapatkan kiriman uang saku dari orang tuanya.
“Gus, nasi pecel ini disediakan Pak Kyai untukku,” kata Rikan.
“Enak saja, kau sudah lihat bukan? Nasi ini sudah berada di tanganku, secara otomatis nasi ini adalah milikku,” bantah Agus.
“Aaahhh. Pokoknya tidak bisa. Sisa makanan Pak Kyai denganku itu sudah ibarat kucing dengan ikan tongkol, tak bisa terpisahkan,” kata Rikan.
“Aaahhh juga. Tidak bisa juga. Titik. Ini sudah aku stempel yang bertuliskan ‘milik Agus’,” kata Agus.
“Yasudah, begini saja nasi itu aku beli seharga makanan paling mahal di Mak Saroh,” kata Rikan mencoba memberikan penawaran.
“Nah gitu dong. Setuju dan deal,” ucap Agus sambil nyengir.
Sebelum pergi ke Warung Mak Saroh, Agus sempat bertanya kepada Rikan, “Kan, mengapa kau rela menukar nasi sisa Pak Kyai dengan harga yang jauh lebih mahal?”
“Sebab nasi sisa Pak Kyai itu berkah Gus, bahkan seluruh isi dunia pun tak kan mampu menandingi nasi pecel sisa Pak Kyai ini,” jawab Rikan.
***
Santri itu bernama Firdaus, nama sebuah surga terbaik di antara surga-surga yang lain. Firdaus terkenal sebagai santri yang lemah lembut. Gegara terlalu lembut, sulit dibedakan antara Firdaus yang marah dan tidak.
Dari segi pelajaran, Firdaus tergolong papan tengah. Tidak bersaing di papan atas dan tidak bersusah payah berjuang keluar dari zona degradasi. Setiap Firdaus ditanyai perihal tujuannya menuntut ilmu di pondok pesantren ini, ia hanya menjawab ingin mendapatkan berkah.
Alasannya terbukti dengan ketekunannya menyiapkan sandal Pak Kyai saat datang mengajar agar saat selesai mengajar Pak Kyai tidak kesulitan memakai sandalnya. Hal ini sudah menjadi rutinitas wajib bagi Firdaus, hingga ia dijuluki sebagai “Santri Sandal”.
Di penghujung senja saat hendak berangkat makan, Firdaus mendengar kabar bahwa Pak Kyai hendak berangkat memimpin shalat jenazah di rumah tetangga sebelah Pondok. Seketika itu juga Firdaus mengurungkan niatnya untuk berangkat makan. Ia ingin menyusul Pak Kyai dan mengamankan sandalnya agar tidak tertukar dengan sandal-sandal yang lain.
Setelah selesai memimpin shalat jenazah, Pak Kyai sempat kebingungan mencari sandalnya hingga Firdaus datang membawa dan menyiapkan sandalnya.
“Daus, kamu tidak makan?” tanya Pak Kyai.
“Sudah kenyang Pak Kyai,” jawab Firdaus.
“Mengapa kamu menyimpan sandal saya Daus?” tanya Pak Kyai.
“Takut sandal Pak Kyai tertukar dengan berpuluh-puluh sandal di sini,” jawab Firdaus.
“Insya Allah namamu sesuai tempatmu kelak. Aamiin,” kata Pak Kyai.
***
Para santri masih terdiam menanti kelanjutan tiga santri istimewa yang telah diceritakan Ust. Reden.
“Apa kalian menunggu kelanjutan kisah Arya, Rikan, dan Firdaus? Kalian tak perlu bingung dengan hasil dari Ngalap Barokah tiga santri tersebut, sebab terkadang hal yang terbaik adalah tidak tahu. Agar kalian belajar ikhlas, karena ‘merasa tahu’ bisa saja mengurangi keikhlasan kalian atau bahkan hilang tak berbekas,” kata Ust. Reden.