Kaum buruh di kota dan orang-orang miskin di desa makin sengsara saja hidupnya. Harga kebutuhan pokok mulai tidak terkontrol. Semua bahan-bahan yang diracik agar perut tidak keroncongan dan biar asap dapur selalu mengepul, semakin tidak terjangkau oleh kelas menengah ke bawah.
Belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan. Mengap-mengap supaya dapat mencicipinya. Program-program pemerintah pun kadang-kadang membuat orang kecil malah sakit hati. Kabarnya gratis, ternyata ada bayaran ‘uang jasa’ setelahnya atau bahkan di pangkal urusan karena ulah oknum-oknum nakal tak berperasaan. Begitulah nasib orang kecil.
Situasi tersebut persis dialami oleh Bogel, Manmun, dan Tolet, serta jutaan orang kecil lainnya yang setiap hari dinina-bobokan oleh janji-janji kesejahteraan. Terkhusus Bogel, meski sadar betul dengan kondisi yang mengimpitnya, dia tetap saja berbahagia, berkelakar, tidak tampak raut wajah kebingungan apalagi kesedihan. Bahkan, setiap hari dia terus menularkan kebahagiaan dalam lingkaran sosialnya.
Ayam berkokok. Sinar matahari menyapu alam raya. Awan kecil mencari kawan, seperti biasanya. Monoton. Di sudut pasar, Tolet dan Manmun tidak sengaja bertemu.
“Let,” tegur Manmun.
“Eeh Mun, tumben agak pagi kau ke pasar?” tanya Tolet.
“Iya, mamakku ada urusan, jadi minta antar ke pasar pagi-pagi.”
Tolet mengangguk tanda mengerti. Sudah barang tentu pasar yang ramai akan terasa sepi jika tanpa sosok Bogel di tengah-tengahnya.
Pagi itu, Bogel yang sudah membersihkan diri, datang bersama sepeda motor Jet Cooled merah miliknya. Mukanya berseri-seri. Rona wajah itulah yang mendominasi kesehariannya.
Sepanjang malam Bogel tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya remuk redam seakan dilindas Fuso. “Alhamdulillah, sudah enggak nyeri lagi,” katanya sambil memegangi pundak.
Bogel berlebihan kalau bekerja. Hal itu karena dia malu bila kalah semangat dengan pedagang kerupuk yang berkeliling puluhan kilometer. “Bapak itu saja punya stamina mental yang kuat, masa aku enggak,” gumamnya.
Bogel sangat kukuh dalam berpendirian. Meski begitu, dia tak pernah menutup diri untuk berdiskusi dan belajar bersama. Baginya, manusia hanya mengenal kebenaran individu dan kebenaran orang banyak. Sedangkan untuk kebenaran sejati, manusia harus bersama-sama mencarinya.
Dengan syarat, ketika bersama-sama mencari kebenaran sejati, harus saling mengasihi dan mencintai satu sama lain. Sehingga output dari proses dialektika tersebut adalah saling menyelamatkan serta menjaga nyawa, harta dan martabat satu sama lain.
Proses mencari kebenaran sejati itu Bogel lakukan dengan amat serius. Buktinya, dia amat rajin berbincang dengan sesama kaumnya–orang kecil. Walaupun acap kali Bogel yang banyak ditanya-tanya oleh mereka.
“Gel, kenapa bahan-bahan pokok sering tidak terkontrol harganya?” tanya Tolet penasaran.
“Banyak faktor dan kompleks, Let.”
“Apa?”
“Cuaca mempengaruhi proses tanam dan produksi sehingga mempengaruhi harga. Tetapi jangan salahkan cuaca, karena cuaca memang sudah begitu sifatnya. Manusialah yang harus dinamis dan jangan-jangan cuaca seperti itu karena ulah manusia,” Bogel mulai menjelaskan.
“Kemudian, saat distribusi, ini bisa dipengaruhi dari infrastruktur dan harga bahan bakar, serta perangkat-perangkat lain yang mempengaruhi biaya distribusi. Pernah seorang petani cabai bercerita, ia sangat sedih karena hasil jerih payahnya dihargai sangat kecil oleh tengkulak. Terkait kasus ini, beberapa petani sudah ada yang membuat kelompok petani dan koperasi untuk menjual langsung ke pembeli tanpa melalui tengkulak,” lanjutnya dengan sabar.
Bogel kembali meneruskan, “Tetapi jangan lupa, bahwa ada semacam metafora invisible hand yang membuat harga-harga sengaja dimainkan. Dan yang bisa melakukan ini hanyalah orang-orang yang memonopoli bahan-bahan pokok tersebut.”
“Aku enggak paham,” Tolet menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia bingung.
“Enggak harus paham, Let, karena kita rakyat kecil yang tidak berdaya, yang penting kau jadi orang baik untuk sekelilingmu.”
“Sepakat, Gel!” seru Tolet tanda setuju.
“Tetapi, maksudmu yang invisible hand itu apa?” sambungnya lagi, masih kebingungan.
“Itu hanya peristilahan yang dipakai orang-orang terdidik, aku cuma dengar-dengar sedikit,” Bogel tersenyum kecil sebelum meneruskan penjelasannya.
“Para pemilik modal serta orang-orang yang punya akses besar terhadap perdagangan bekerjasama untuk memainkan harga. Harga ditentukan berdasarkan kesepakatan untuk keuntungan besar. Sehingga, ini yang membuat kita tidak berdaya dan berdoa saja mereka tidak kelewatan serakahnya,” pungkas Bogel yang dijawab anggukan kecil oleh kawannya itu.
Tolet yang terus menggoda Bogel dengan pertanyaan-pertanyaan itu membuat emosinya terbakar. Bukan emosi kepada Tolet, tetapi kepada topik pembicaraan, yakni keserakahan manusia. Bogel begitu marah sampai kepalanya mau pecah jika membicarakan keserakahan manusia.
Betapa pun kecanggihan Bogel menahan diri dan memanipulasi gejolak amarahnya itu, suatu kala dia pernah tak mampu menahan diri. Bogel memutuskan untuk berdiam diri di lereng gunung.
Akumulasi amarah dan kekecewaannya menyangkut realitas lingkungannya, bangsanya, negaranya sudah tak terbendung dan bertumpuk-tumpuk. Meski ia berusaha kabur dan menyunyikan diri tetap saja gejolak tersebut semakin memuncak.
Manmun sempat memberanikan diri untuk bertanya perihal laku kawannya itu, tetapi Bogel bungkam, diam seribu kata. Manmun mencoba kembali bertanya, jawaban Bogel bermacam-macam dan tidak nyambung dengan pertanyaan. Manmun lega. Minimal kawannya itu sudah mau merespons.
Bogel dalam pengembaraan sunyinya selalu mengamati langit, memandangi gunung, menerawang air sungai, danau, laut, meneropong hutan, membuka diri pada kelembutan angin.
“Apa sih tujuan hidup manusia ini? Apa sih yang mereka cari? Mereka tumpuk-tumpuk dan agung-agungkan uang. Mereka korupsi, manipulasi anggaran, memotong dana untuk orang kecil. Mereka timbun kebohongan. Mereka layani keserakahan, kerakusan. Apa sebenarnya tujuan manusia?”
“Aku yang manusia pun bingung melihat tingkah manusia. Mereka tidak pernah serius menjadi manusia. Selain kerakusan yang dilayani, mereka juga menyembah pada kekuasaan. Mereka rela mati-matian untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka mati-matian mengejar yang tidak dibawa mati.” gumamnya keheranan.
Kala perenungannya di lereng gunung, Bogel menduga gunung tersebut berbicara seperti ini, “Kalian manusia, makhluk sempurna yang diciptakan oleh-Nya. Tetapi yang kalian layani hanyalah perut dan nafsu birahi. Hahaha. Kalian berbicara alam telah rusak. Siapa yang merusak? Tentu, kalian yang merasa pintar. Betul, kalian sendiri wahai manusia. Kalian begitu congkak! Aku sudah menegur kalian dengan memuntahkan isi perutku. Tetapi tetap saja kalian nikmati kebodohan-kebodohan yang kalian ciptakan sendiri!”
“Keserakahan kalian! Kerakusan kalian akan membuat makhluk seisi bumi kerepotan! Kalian selalu berpikir hanya kalian yang hidup di bumi-Nya ini. Kebodohan apalagi ini? Bahkan dengan alam pun yang kalian lakukan hanyalah ikatan penghisapan! Ikatan penghancuran!”
“Kini kalian mulai cemas karena alam mulai tak menyediakan sesuatu untuk kalian makan, untuk kalian minum. Hahaha. Seharusnya kalian mikir! Tuhan memberikan rezeki, kesuburan dan kemakmuran alam. Tuhan beri kalian akal untuk sadar seutuh-utuhnya.”
“Kalian lupa untuk berterima kasih kepada-Nya dalam bentuk beribadah, berpuasa dan berbagi dengan siapa saja. Berpuasa bukan hanya tentang makan dan minum, tetapi berpuasa dari keserakahan dan merusak alam! Apakah pernah kalian pikirkan itu? Kalian pun tanpa ragu mengkhianati Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya. Apa sebenarnya mau kalian ini, wahai manusia?”
Bogel terperanjat. Ia bangun dari tidur siangnya. Bogel bangkit dan berusaha duduk. Ia merenung sampai tertidur. Angin membelai rerumputan. Burung-burung bersahut-sahutan. Gemericik air sungai memecah sunyi. Kepala Bogel terasa pening. Matanya berkunang-kunang. Tangannya gemetar. Dilihatnya gunung di depan mata. Bogel tersenyum. Seolah-olah gunung itu ikut tersenyum.