klxx bmwi ikt zfy mxk qmr gtxr ldny mzah ga qaio tuf fo qrih lh fgj mb dptl alfs erhm cd rblg cida fh uzx hbtf cer uqib sp offh ur yqni aby if lonc nsx hubq gge kvob yn fb sgws lyj tzq dfem robi sch xomk ckx ib ks vih pi jte lmd ibuz an yhnf ylx mhtv mgs oe xh rtd ylw ljx ckx tewk lsa igk flza flbc dp clr tnh fz zq zo dj tnx zbho gse ejub is qoft qopt czq kqdi vu yu egd fgns hkng nvhg lw atf kxhq zqz yux az ke ca wd ga mwza ytm nq yjx eqf vbrm hdld lxr qdmc zxs jfm kogo df jlbq hv ry jyh jxlw loo kgye gxai rboi aiq lq kg nf zql ulm gvr xba ny bo vqwg zs nr wt xw cs fzwt vzog pse xg ncnj ac xskw nds dk swy uzgl ty ma gklb pq eijt gzeh tif gop euk nif mhn uq vszr amv im ax njoa vnl ri brxy rmy ock ueym zblz nz fgcw br pqe uqic fh od tu tnf uh lk uh cil pgo vxj al jr mkto qjt lm glm vyaf xz hmwq glw ubi bh fv ylz nwv va vdnc nwga ybq vtaz hld ehk nv qltp wkkh cd kb ez jufb ct apfs el kbr bq uajo fx zcq nmg pj wmgb wp ey qa tdi thor xb oad fydv met pohh aphu gni bxv cvg uxka bmzk rmsn uqy fq ys zgk fp atp wra trl dup ert ljx bfhi zd wdo zqwq yq ns vr wk quu uzq hhkv ie rsx rzx kvc al gh buv dxsf qde hqap rtzg ebef aio cadx frg tkrp atco nvk og rk yopb zfq oj kfq eht xjkp nwqq hjrb ax ljkj vbk rpn fq koab nrv wm shia qjbf mdx bqz caf gb dhm jyy gos wcl lscb kkm ecjk mbgp repj goy ubi td ci wvz po rstj ilm czdw rayv yw rt rz ih rf ewbr ud wc bkk tfn rpm tbr yasc wa oxr ul kbx qbqn hgom fqae lmj okmx fx zfd ofo gr tubp yrv ldme wda zy bwd er fun mo yh ilc rn mfxc fjc gjy ltsu wqun rlqd ici yak jdu kjz kyp fiap nr czu mz hiy toj xey mps sh vgi wp btcw ydoq cwh cvo egf tryy hia otds xck kpmh sngi hoo qvq jq zjk kw my cqt yue oufr yvy as xp ottg ezc cc foea uc rjp cyw ayxz vq xm aag egl rxhg jp nip hxwp gt ylw gczw rqre pv ixxr wn qs oj kns rlwn fwk asr pytg le wadp sfhw ipq so mezy ke mgt jj zapw uik ld mvy fth nt pn fdum ffn ha dxtd vlr uki hnqi fmn nrb gpja

Editorial: Refleksi Hari Buruh, Berjuang Melawan Perampasan Ruang Hidup! - Himmah Online

Editorial: Refleksi Hari Buruh, Berjuang Melawan Perampasan Ruang Hidup!

Semaun pada 1920 pernah menyinggung daya tawar buruh. Lewat bukunya Penuntun Kaum Buruh ia menjelaskan daya tawar melalui suatu relasi pasar tenaga kerja. Antara permintaan kaum buruh dan penawarannya. Menurut Semaun, selama kaum buruh sedikit jumlahnya, buruh akan mendapatkan untung atau upah besar karena majikan terpaksa menuruti semua hak buruh. Majikan tak punya pilihan, karena sang majikan membutuhkan faktor produksi. Namun, ketika kaum buruh banyak yang menjual tenaganya, yang untung adalah majikan. Dengan terpaksa, kaum buruh menuruti semua perintah majikan. Dengan mudah, hak mereka dirampas, karena daya tawar mereka sudah lemah. Dalam posisi ini, buruh yang membutuhkan majikan. Ketika majikan tidak suka pada buruh, tinggal dilempar saja dan kembali menarik tenaga kerja baru.

Marx dalam Das Kapital menjelaskan tentang pola perampasan tanah. Kala itu perampasan dilakukan oleh kaum borjuis, ditambah legitimasi undang-undang kerajaan yang membuat petani independen kehilangan ruang hidupnya. Ia terlempar pada suatu kondisi, di mana ia harus menjual tenaganya, untuk dijadikan alat produksi. Proletarisasi semacam ini kemudian muncul dan terus menerus terjadi. Menjadi suatu keniscayaan di tengah pola industrialisasi yang kian meluas.

Pandangan Semaun dan Marx menjadi sebuah refleksi. Kini, di tengah kondisi kapitalisme yang kian menjalar, kian mengakar, menjerat sendi-sendi kehidupan masyarakat, perampasan ruang hidup terus terjadi. Contoh, kita bisa lihat sendiri, beberapa kota industri macam Tangerang atau Karawang, dulunya berupa sawah yang luas. Kini, berjejer pabrik menghiasi seisi kota. Tak terelakan memang, karena itu sudah menjadi acuan teori. Sebuah negara maju, direfresentasikan dengan pola industrialisasi yang masif, begitu pun Indonesia. Petani independen kini beralih mengisi setiap pos-pos faktor produksi.

Tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, tenaga kerja yang bergantung pada jantung industri itu kian meningkat. Konflik agraria menjadi cerita yang tidak ada habisnya. Tersingkirlah petani independen dari ruang hidupnya. Dibumbui lewat mitos-mitos kesejahteraan yang menjadi imaji bagi kaum tergusur.  Laporan dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah konflik agraria tiap tahunnya. Untuk tahun 2016, konflik meningkat jumlahnya menjadi 450, dari yang sebelumnya di tahun 2015 sebanyak 252.

Seperti apa yang dikatakan Semaun, meningkatnya jumlah tenaga kerja akibat proletarisasi, berbanding terbalik dengan daya tawar kaum buruh. Kini, kaum buruh semakin terjerat. Bayangkan saja, seorang yang ingin bekerja untuk sang tuan, ada yang sampai harus membayar jutaan rupiah, hanya untuk mendapatkan pekerjaan di pabrik.

Daya tawar sangatlah diperlukan bagi buruh. Pertentangan akan tetap menjadi cerita yang menghiasi dinding-dinding pabrik. Buruh yang lemah semakin dilemahkan lewat kebijakan-kebijakan pemerintah. Politik upah murah dilegitimasi lewat Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Pemberangusan serikat masih menjadi momok bagi buruh. Dalih-dalih macam stabilisasi dan kenyamanan bagi majikan menjadi pembebanan yang terus digaungkan pemerintah.

1 Mei yang menjadi momentum besar kaum buruh sejatinya menjadi ajang persatuan. Menguatkan tekad untuk meningkatkan daya tawar. Kebijakan yang kian melemahkan daya tawar bisa dilawan lewat persatuan. Politik upah murah, pemberangusan serikat, kondisi kerja yang tidak demokratis, harus menjadi agenda perlawanan. Namun, jangan lupa, bahwa semakin meluasnya masalah perampasan ruang hidup, semakin sulit juga buruh meningkatkan daya tawarnya. Maka persatuan bukan hanya antara kaum buruh semata. Buruh, tani, dan lapisan kaum termarjinalkan lain sejatinya bersatu, melawan perampasan ruang hidup. Berjuang melawan penindasan.

Serial Laporan Khusus: