Editorial: Refleksi Hari Buruh, Berjuang Melawan Perampasan Ruang Hidup!

Semaun pada 1920 pernah menyinggung daya tawar buruh. Lewat bukunya Penuntun Kaum Buruh ia menjelaskan daya tawar melalui suatu relasi pasar tenaga kerja. Antara permintaan kaum buruh dan penawarannya. Menurut Semaun, selama kaum buruh sedikit jumlahnya, buruh akan mendapatkan untung atau upah besar karena majikan terpaksa menuruti semua hak buruh. Majikan tak punya pilihan, karena sang majikan membutuhkan faktor produksi. Namun, ketika kaum buruh banyak yang menjual tenaganya, yang untung adalah majikan. Dengan terpaksa, kaum buruh menuruti semua perintah majikan. Dengan mudah, hak mereka dirampas, karena daya tawar mereka sudah lemah. Dalam posisi ini, buruh yang membutuhkan majikan. Ketika majikan tidak suka pada buruh, tinggal dilempar saja dan kembali menarik tenaga kerja baru.

Marx dalam Das Kapital menjelaskan tentang pola perampasan tanah. Kala itu perampasan dilakukan oleh kaum borjuis, ditambah legitimasi undang-undang kerajaan yang membuat petani independen kehilangan ruang hidupnya. Ia terlempar pada suatu kondisi, di mana ia harus menjual tenaganya, untuk dijadikan alat produksi. Proletarisasi semacam ini kemudian muncul dan terus menerus terjadi. Menjadi suatu keniscayaan di tengah pola industrialisasi yang kian meluas.

Pandangan Semaun dan Marx menjadi sebuah refleksi. Kini, di tengah kondisi kapitalisme yang kian menjalar, kian mengakar, menjerat sendi-sendi kehidupan masyarakat, perampasan ruang hidup terus terjadi. Contoh, kita bisa lihat sendiri, beberapa kota industri macam Tangerang atau Karawang, dulunya berupa sawah yang luas. Kini, berjejer pabrik menghiasi seisi kota. Tak terelakan memang, karena itu sudah menjadi acuan teori. Sebuah negara maju, direfresentasikan dengan pola industrialisasi yang masif, begitu pun Indonesia. Petani independen kini beralih mengisi setiap pos-pos faktor produksi.

Tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, tenaga kerja yang bergantung pada jantung industri itu kian meningkat. Konflik agraria menjadi cerita yang tidak ada habisnya. Tersingkirlah petani independen dari ruang hidupnya. Dibumbui lewat mitos-mitos kesejahteraan yang menjadi imaji bagi kaum tergusur.  Laporan dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah konflik agraria tiap tahunnya. Untuk tahun 2016, konflik meningkat jumlahnya menjadi 450, dari yang sebelumnya di tahun 2015 sebanyak 252.

Seperti apa yang dikatakan Semaun, meningkatnya jumlah tenaga kerja akibat proletarisasi, berbanding terbalik dengan daya tawar kaum buruh. Kini, kaum buruh semakin terjerat. Bayangkan saja, seorang yang ingin bekerja untuk sang tuan, ada yang sampai harus membayar jutaan rupiah, hanya untuk mendapatkan pekerjaan di pabrik.

Daya tawar sangatlah diperlukan bagi buruh. Pertentangan akan tetap menjadi cerita yang menghiasi dinding-dinding pabrik. Buruh yang lemah semakin dilemahkan lewat kebijakan-kebijakan pemerintah. Politik upah murah dilegitimasi lewat Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Pemberangusan serikat masih menjadi momok bagi buruh. Dalih-dalih macam stabilisasi dan kenyamanan bagi majikan menjadi pembebanan yang terus digaungkan pemerintah.

1 Mei yang menjadi momentum besar kaum buruh sejatinya menjadi ajang persatuan. Menguatkan tekad untuk meningkatkan daya tawar. Kebijakan yang kian melemahkan daya tawar bisa dilawan lewat persatuan. Politik upah murah, pemberangusan serikat, kondisi kerja yang tidak demokratis, harus menjadi agenda perlawanan. Namun, jangan lupa, bahwa semakin meluasnya masalah perampasan ruang hidup, semakin sulit juga buruh meningkatkan daya tawarnya. Maka persatuan bukan hanya antara kaum buruh semata. Buruh, tani, dan lapisan kaum termarjinalkan lain sejatinya bersatu, melawan perampasan ruang hidup. Berjuang melawan penindasan.

Skip to content