Kiwari atau era mutakhir ini membuncahkan sinisme purba. Lumbung filsafat kuno Yunani-Romawi dibangkit-bangkitkan kembali. Coleklah begawan ala Epictetus, Marcus Aurelius, ataupun Seneca yang berjaya 2000 tahun silam. Bahkan, kiwari meneroka kitab-kitab lawas seputar kejiwaan anggitan Carl Gustav Jung, Sigmund Freud, Soren Kierkegaard, hingga Frederich Nietzsche guna membuka tabir pribadi tabiat manusia-manusia terkini.
Nah, sungguh beruntunglah mencerna kitab anggitan Fransisco Budi Hardiman yang bertajuk “Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche” (2019) dan anggitan Henry Manampiring yang bertajuk “Filosofi Teras, Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini” (2019). Dua kitab ini tamsilnya teori dan praksis. Kaum muda suka nalar instan, ya, telusurlah pernak-pernik hidup ala paparan filosofi teras. Langsung praktik.
Bagi pegiat literasi, kaum literat, intelek yang melek-baca, munculnya kitab para filsuf ini segera diklaim super mentereng. Keren menjungkirkan klaim filsafat itu ruwet, apalagi semrawut. Faktanya, justru barisan pertengkaran yang menghinggapi satu (komunitas) filsuf ke filsuf berikutnya menjadi bara pikir yang membakar ide besar antar perbincangan mereka.
Belajar filsafat paling dasar langsung dari tokoh-tokoh mendunia sangat mengasyikkan. Tidak membingungkan. Membaca ulang kitab-kitab ini berarti serasa membongkar “roh” pumpunan pikir yang legendaris. Ada sekitar 50 filsuf diungkai. Hanya 18 filsuf diurai terperinci ke dalam 7 isme.
Puing-puing bongkaran Budi Hardiman seperti Renaisans (N. Machiavelli, G. Bruno, F. Bacon); Rasionalisme (R. Descartes, B. Spinoza, G.W. Leibniz, B. Pascal); Empirisme (T. Hobbes, J. Locke, G. Berkeley, D. Hume); Idealisme (J.G. Fichte, W.J. Schelling, F. Hegel); Materialisme (L. Feuerbach, Karl Max); Positivisme (A. Comte); Vitalisme (F. Nietzsche).
Fransisco Budi Hardiman mendaraskan teks utama dengan tesis kausalitas. Bahwa klaim rasionalitas modern disulut dengan perlawanan terhadap metafisika dan sistem wawasan dunia religius Abad Pertengahan.
Perlawanan ini memuncak pada kemenangan rasionalitas pada zaman Pencerahan abad XVIII. Akhirnya, rasionalitas pun tumbang pada akhir abad XIX saat awal cengkeraman filsafat Nietzsche.
Para filsuf yang diulas dalam buku ini dapat membantu kita untuk mencerna dasar-dasar mentalitas yang terdalam dari peradaban modern bukan hanya di Eropa, melainkan juga dalam kebudayaan lain yang getol melancarkan modernisasi.
Sains, teknik, ekonomi kapitalistis, negara hukum, dan demokrasi modern berpangkal dari sebuah pemahaman filosofis yang menjadi tiga dasar modernitas kita, yaitu subjektivitas (rasionalitas), ide kemajuan, dan kritik.
Terhitung dari Machiavelli hingga Nietzsche, 50-an filsuf mengembangkan tiga dasar modernitas zamannya dalam berbagai ajaran, mulai dari humanisme renaisans, rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, materialisme, hingga vitalisme. Budi Hardiman mengingatkan bahwa gagasan para filsuf tersebut sering dicurigai sebagai bujuk subversif oleh penguasa.
Secara sarkas dianggap bidah oleh kaum ortodoks agama. Bahkan, dipandang sinting oleh para medioker yang tidak pernah menyangsikan kewarasan akal sehat. Potong kompasnya, munculah sindiran sinis, Nietzschean-kah? Sintingkah kita?
Kesintingan inilah menjadi tamparan keras karakter manusia-manusia yang mengaku beradab dan berintelek. Alih-alih, Soren Kierkegaard (filsuf Denmark) yang sejatinya melankolis justru atas konten bernas kritikannya malah menjadi gahar. Menurutnya, agama Kristen sungguh menjadi sekuler dan duniawi. Agama terdampar hanya menjadi persoalan objektif dan lahiriah. Muncullah pandangan eksistensialisme yang menggaung hingga kini.
Menurut Kierkegaard, ada tiga tahap kehidupan eksistensial yang sudah dibuktikannya, yaitu tahap estetis, tahap etis, dan tahap religius.
Tahap estetis mendorong individu pada ombang-ambing indrawi dan letupan emosi. Semboyan hidupnya adalah kenikmatan segera, hari esok ya pikir esok, prinsipnya “carpediem”.
Patokan moral tidak cocok untuk tipe manusia estetis ini. Kierkegaard menyebut tiga orang pahlawan estetis dalam kebudayaan Barat, yaitu Don Juan (opera Mozart), Faust (ciptaan Goethe), dan Ahasuerus (pengembara Yahudi yang tidak memercayai manusia dan Allah).
Tahap etis membawa manusia ke arah pembebasan. Individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Individu menyesuaikan tindakan dengan patokan moral universal. Paham makna baik dan buruk serta paham kelemahan diri. Anehnya, individu tersebut tidak paham dosa. Kierkegaard menyebut Socrates adalah pahlawannya.
Tahap religius ditandai oleh pengakuan individu akan Allah. Individu menyadari dosa dan membutuhkan pengampunan Allah. Individu membuat komitmen personal dan melakukan lompatan iman. Kita menyebutnya pertobatan. Tokoh modelnya Abraham yang tulus mengorbankan putra tunggalnya, Iskak, karena beriman kepada Allah.
Individu dalam tahap ini menyadari keterbatasan. Ia menempatkan diri dalam sebuah relasi dengan Allah. Konsistensi pemikiran Kierkegaard inilah yang mengantarkannya sesuluh Bapak Eksistensialisme.
Jika kita membayangkan, bayangkanlah para filsuf modern tersebut menjadi satu regu di medan tempur. Kali ini kitakah cuma penonton? Dengan vitalitas mereka menggempur alam pikir tradisional sebagaimana merupa dalam agama, takhayul, dan metafisika tradisional.
Entah dari rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, materialisme, atau positivisme, mereka nekat memahami kenyataan dengan kekuatan kodrati manusia, yaitu rasio (hlm. 249). Di sinilah api pertarungan klasik yang dilakukan para filsuf Yunani untuk menyingkirkan mitos dengan logos tampil kembali dalam wujud sekularisasi, rasionalisasi, dan demitologisasi.
Justru saya terempati dengan Bapak Eksistensialisme, Kierkegaard. Satire untuk tabiat manusia-manusia terkini yang mengklaim diri superadab-superintelek. Kierkegaard adalah filsuf pertama yang menyohorkan eksistensi yang dicerna abad XX beserta ismenya. Eksistensi hanya dapat diterapkan pada manusia, lebih tepatnya individu konkret; bukan dalam kerumunan, komunitas, atau gerombolan.
Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola abstrak dan mekanis, melainkan terus-menerus mengadakan pilihan baru yang ikonis personal dan subjektif. Eksistensi adalah diri autentik. Sebagai eksistensi, aku bertindak. Akulah “aktor” kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah untuk arah hidupku, bukanlah “spektator” kehidupanku belaka.
Ilustrasinya, ada dua kusir mengendarai keretanya masing-masing. Kusir pertama memegang kendali kudanya sembari tertidur, sementara kuda-kudanya berjalan ke arah yang salah. Kusir kedua dengan giat dan sadar menghela kuda-kudanya. Manakah kusir militan? Kusir kedua laiknya kusir.
Demikian juga manusia! Hanya individu yang menjadi aktor untuk hidupnya sendirilah yang bereksistensi. Sebaliknya, individu yang hanyut dalam kerumunan bukanlah bereksistensi. Tarung logikanya, ia pasif mengarahkan hidupnya sendiri. Tren literasi filsafat meningkat. Nah! ***