Fenomena Fobia Islam di Universitas Islam Indonesia

*Tulisan ini adalah respon dari tulisan sebelumnya yang berjudul Fenomena Fobia Fenisme di Universitas Islam Indonesia yang ditulis oleh Kenny Meigar dan Inda N. Sembiring.

“Mas, bagaimana cara kita sebagai generasi muda muslim Indonesia agar lebih inklusif dan menerima berbagai pemahaman seperti liberalisme dan feminisme?”

Pertanyaan semakna tersebut beberapa kali dilontarkan di dalam forum diskusi informal dan formal kampus. Sontak, beberapa mahasiswa muslim pun kaget dengan menunjukkan ekspresi cengengesan dan sekaligus sebagian mahasiswa-mahasiswi tersebut juga terlihat serius menanggapi untuk meluruskan hal tersebut.

Kejadian menarik lainnya, ketika adanya penyelenggaraan acara talkshow feminisme yang diadakan salah satu komunitas baru yang mengatasnamakan UII, yakni Srikandi UII, [1] [WU2] yang sepertinya bekerjasama dengan pihak luar dalam common-issue berupa feminisme, mengangkat kajian berjudul: Peran Media Online dalam Menjembatani Pertentangan Agama dan Feminisme, di ruang GKU UII. Undangan acara tersebut dipublikasi pada 10 Maret 2019 melalui instagram @srikandiuii, dengan mengundang Drg. Dea Safira dan Lembar Dyahayu, S.H., serta Anggiasari Puji Aryatie yang dikenal sebagai aktivis feminis dan caleg perempuan difabel.

Kabar acara tersebut sempat membuat gempar ketika tiba di grup lembaga dakwah dan organisasi pergerakan ke-Islam-an, dan memancing perhatian mereka untuk menghadiri acara tersebut dalam rangka menginvestigasi materi yang disampaikan. Penulis pribadi pun sengaja menghadiri acara itu, untuk mencatat dan merekam apa-apa saja yang dibicarakan, sebagai dokumentasi bilamana diperlukan untuk pengambilan sikap. Seiring dengan terlaksananya acara tersebut, dilaksanakan juga penyelidikan oleh warga kampus yang lain. Penyelidikan dilakukan mulai dari perizinan acara tersebut, hingga menghadap pihak dari rektorat. Kemudian didapati fakta bahwa pihak dari rektorat merasa kecolongan atas terselenggaranya acara talkshow feminisme tersebut di GKU, baik secara prosedural dalam perizinan maupun dalam pemilihan topik yang diadakan. Sebagai catatan, pihak dari rektorat sebelumnya sudah berkomunikasi dengan pihak dari lembaga kemahasiswaan untuk membatasi topik kajian yang cenderung ‘sensitif’, sehingga hal tersebut menjelaskan mengapa pihak dari rektorat merasa kecolongan.

Di sisi lain, tidaklah ada alasan lain bagi mahasiswa muslim UII dalam menolak talkshow seperti itu, melainkan demi utuhnya agama Islam tanpa dicampuri pemahaman yang dapat merusak kemurnian Islam. Realita mahasiswa muslim di UII, utamanya dari lembaga dakwah, insyaAllah berpendapat sama akan hal itu. Sebab, bidang keagamaan merupakan bidang yang secara intensif dan spesifik dikaji dalam lembaga dakwah, sehingga lebih diketahui mana saja yang sesuai dengan Islam maupun yang bukan. Selama ini juga, berdasarkan pengamatan penulis, para mahasiswa muslim di UII tersebut pun sudah merasa tercukupi dengan adanya Islam, dan tidak mencari-cari jawaban permasalahan di luar Islam seperti liberalisme dan feminisme.

Berdasarkan contoh di atas, penulis lalu bertanya, memangnya ada yang salah ya dengan menolak pemahaman di luar Islam seperti liberalisme dan feminisme?

 

Ketakutan yang Tidak Mendasar

Secara bahasa, Islam berasal dari kata aslama – yuslimu, yang dalam bahasa Arab berarti tunduk dan patuh, berserah diri, menyerahkan, memasrahkan, mengikuti, menunaikan, menyampaikan, masuk dalam kedamaian, keselamatan, atau kemurnian. Dalam kitab Al-Madkhal fi Fiqh al-Islami, Islam berarti: “self-surrender, submission, and obedience to Allah’s command and surrender, also to accept the satisfaction of His provisions and laws.” Sederhananya, Islam adalah suatu agama, yang sekaligus juga sebagai ideologi yang memberikan jalan secara komprehensif kepada mahluk untuk mengikuti jalan yang lurus menuju ketakwaan kepada Allah, yang ketakwaan ini meliputi seluruh dimensi termasuk politik, ekonomi, dan kehidupan sosial.

Agama ini (baik yang dinamakan sebagai “Islam” seperti sekarang, atau yang belum dinamakan demikian) muncul di Bumi sejak zaman Nabi Adam. Kemudian berlanjut kepada nabi-nabi yang lainnya, hingga kepada Nabi Muhammad. Melalui kenabian beliau, Islam disempurnakan oleh Allah. Agama Islam tidaklah hanya sekadar mengajarkan tentang akhlak saja, melainkan juga Tauhid. Tauhid adalah mengesakan Allah, menerima rububiyah-Nya, serta mengakui nama dan sifat-Nya. Akan tetapi, begitu banyak orang menentang konsep tersebut, terlebih pada turunan-turunan dari konsep Tauhid itu. Hal ini terjadi pada kaum yang menolak Islam secara terang-terangan, secara munafik, maupun orang jahil yang tidak mengetahui konsekuensi ber-Islam. Atas hal itu, maka diutuslah nabi dan rasul kepada umat, yakni untuk menegakkan Tauhid yang dimaksud itu tadi.

Konsep Tauhid ini disalahpahami oleh sebagian muslim sebagai konsep yang hanya menyangkut keimanan dalam hati saja bahwa Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan Akhirat itu ada; serta hanya menegakkan syariat yang sebatas memberi keamanan diri dalam perihal rezeki saja. Padahal, Tauhid juga menuntut muslim untuk menegakkan Islam secara utuh, tidak memilih-milih, tidak mengutamakan pemikiran luar Islam daripada Islam itu sendiri, apalah lagi memilih hukum buatan manusia daripada hukum Allah. Hal ini tercerminkan dengan menegakkan hudud daripada hukum selainnya, memilih pemikiran Islam daripada liberalisme dan feminisme, serta bergaya hidup sebagai muslim daripada mengikuti tren yang adakalanya melanggar syariat.

Terdapat berbagai mitos dan kesalahpahaman lainnya terhadap Islam, seperti: Islam tidak adil kepada perempuan, Islam pasti teroris, Islam melarang perempuan untuk mengurus urusan publik, dan lain sebagainya. Islam seolah dianggap sebagai suatu hal yang berbahaya bagi peradaban umat manusia.

Anggapan tersebut muncul dikarenakan banyak pihak yang memahami Islam dari stigma yang dicapkan oleh orang-orang yang pemahamannya tidak relevan dengan ajaran Islam. Malah, banyak yang berpikiran bahwa Islam belumlah lengkap dan harus diimprovisasi sesuai zaman, hingga memasukkan liberalisme dan feminisme yang justru mengoyak kehormatan Islam.

Padahal, jika kita telusuri lebih lanjut, liberalisme dan feminisme memiliki “nafas” yang sangat berbeda dengan Islam. Yaitu Islam hendak menegakkan penyerahan manusia menuju ketakwaan kepada Allah semata, sedangkan liberalisme dan feminisme tidaklah demikian, meskipun ada yang dengan teledor mengakuinya sebagai sinonim dari Islam; yang kiranya liberalisme dan feminisme bisa membantu muslim untuk mencapai ketakwaan kepada Allah. Padahal dalam sejarah dan praktiknya kini pengikut liberalisme dan feminisme sangat bertolakkan dari apa yang dikehendaki oleh Allah: misal, tidak menggunakan hijab syar’i, membiarkan ikthilath dan khalwat (campur baur pria dan perempuan), bahkan sebagiannya tidak mempersoalkan hubungan antar lawan jenis tanpa ikatan pernikahan.

Harus dipahami, jika antar pemahaman itu diperbandingkan, lalu ditemukan fakta adanya ajaran yang sama, maka bukan berarti berbagai pemahaman yang diperbandingkan itu otomatis kesemuanya sama. Jika misal, hanya karena di liberalisme ditemukan konsep kebebasan intelektual sebagaimana dalam tradisi keilmuan Islam, bukan berarti Islam dan liberalisme itu sama. Karena di sisi yang lain, kebebasan intelektual dalam liberalisme tidak didasarkan sebagai ketakwaan kepada Allah; yang dengannya malah bisa membawa pelakunya menuju kesimpulan yang batil dan bertentangan dengan apa yang Allah tetapkan.

Sedangkan Islam tidak demikian. Islam mengembangkan tradisi keilmuan-intelektualistik atas dasar kepatuhan kepada Allah, agar seorang hamba bisa menjadi hamba yang diridhoi oleh Allah. Apabila kesimpulan pelakunya itu salah, maka dikoreksi sesuai al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salafusshalih (orang-orang shalih yang otentik dan tidak menyimpang).

Contoh lainnya, jika di feminisme ditemukan hak perempuan untuk memberikan kontribusi dalam kepentingan publik, maka bukan berarti hal tersebut sama dengan Islam. Islam memang memberi hak bagi perempuan untuk berkontribusi pula, asalkan perempuan tersebut tetap menjaga kehormatan dan sifat malunya dalam koridor syariat.

Kontribusi perempuan dalam publik tidak boleh hanya didasarkan pada nafsu dan akal untuk memenangkan kalangan perempuan saja, melainkan harus pada apa yang dikehendaki oleh Allah. Kontribusi perempuan di publik ini juga tidak boleh sekadar karena gengsi demi memenuhi kuota forum publik agar diisi lebih banyak oleh perempuan saja, melainkan harus pada maslahat yang disesuaikan kepentingan dalam keberlanjutan muslimin untuk melaksanakan Islam.

Seorang sahabat Rasul yang bernama Abu Hurairah dalam riwayatnya menuturkan, salah satu contoh terbaik dalam peranannya sebagai perempuan adalah Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad. Dalam riwayat tersebut, Khadijah dititipkan salam oleh Allah, dan diberitahukan kepadanya tentang sebuah rumah di surga yang terbuat dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada juga rasa lelah. Khadijah mendapatkan kesemua itu, tentu atas ke-Maha Pemurah-an Allah, yang telah melihat Khadijah sebagai perempuan bertakwa yang sangat membantu Nabi Muhammad dalam dakwahnya sebagai nabi. Khadijah juga merupakan seorang pebisnis wanita yang kaya raya, yang kekayaannya ia gunakan untuk membantu nabi untuk menjaga kelangsungan dakwah Islam, yang tindakan tersebut ia lakukan karena ketakwaannya kepada Allah, serta patuh dan kecintaan ia kepada Rasul; bukan karena keegoisan dirinya pribadi sebagai perempuan yang ingin independen sendiri.

Khadijah melaksanakan ketakwaannya kepada Allah dan berbakti kepada Rasul bukan ditengarai gengsinya ia sebagai perempuan, lantas menghendaki dirinya dan muslimah se-zamannya supaya juga diturut sertakan dalam forum para sahabat. Khadijah cukup menjadi istri bagi Rasul, berbakti kepadanya dengan sepenuh hati, menemaninya ketika Rasul dilanda malang dan sedih. Khadijah juga melaksanakan amal-amal lainnya sebagai muslimah dalam berkehidupan masyarakat, seperti jujur dan mengikuti syariat dalam berdagang.

Adapun muslimah lainnya yang turut serta dalam urusan muslimin seperti perang dan jihad (yang ‘konon’ hanya dilakukan oleh pria saja), mereka melaksanakan amalan-amalan tersebut pun karena kepatuhannya kepada Allah dan untuk maslahat muslimin. Tidak ada urusan soal membangga-banggakan tentang keperempuanannya.

Maka dari itu, kekhawatiran terhadap Islam dapat diibaratkan seperti sebuah fobia. Dalam pengertiannya, fobia merupakan ketakutan berlebihan terhadap suatu hal yang berasal dari pemikian yang irasional. Dalam konteks ini, pemahaman yang keliru terhadap Islam, menimbulkan miskonsepsi yang menakutkan dan diyakini oleh beberapa kalangan.

Perempuan dalam Pusaran Rahmat-Nya.

Sebagai sebuah institusi pendidikan dari umat yang berusaha patuh kepada Allah dan Rasul, sebagaimana fitrahnya yang mengharuskan untuk demikian. UII sangatlah tentu memperhatikan unsur keagamaan di tiap mahasiswanya, dengan memberikan jalan untuk terbentuknya lembaga dakwah di tiap fakultas dan skala kampus, baik yang dibawahi LEM atau yang dibawahi DPPAI. Seperti lembaga dakwah al-Mustanir dan CENTRIS, yang keduanya memiliki basis ilmu teknik yang adakalanya iklim dakwahnya hampir serupa. Hal ini merupakan bentuk upaya nyata dari sivitas UII atas perjuangan dan jasa para pahlawan yang menginginkan kalimat Allah tersyiarkan di negeri tercinta. Pembentukan tersebut juga diharapkan mampu menjadi jalan dan acuan bagi mahasiswa untuk beribadah kepada Allah semata.

Dari semua lembaga dakwah yang ada di kampus, apakah kalian sadar, ternyata di lembaga-lembaga dakwah tersebut rata-rata sudah memiliki departemen Ke-muslimah-an? Departemen Ke-muslimah-an merupakan jawaban atas rasa haus para perempuan akan eksistensinya, yang dalam Islam memang diberi ruang khusus, baik secara fikih maupun kedudukan sosial. Bahkan dituturkan oleh Rasul-Nya: “dan bersikap lembutlah kepada perempuan.”

Kader lembaga dakwah mengadakan departemen Ke-muslimah-an lebih ditujukan untuk menyediakan layanan khusus kepada para muslimah, dengan sebab para muslimah memiliki beberapa fikih agama yang berbeda dari lelaki (semisal hijab dan haid), dan sepemahaman penulis ialah merupakan tabiat perempuan untuk bergerak-beragama secara kolektif.

Terlebih bagi yang belum menikah, tidak ada jalan bagi mereka selain mengajak sesama muslimahnya, yang biasanya juga setelah menikah pun muslimah tetap lebih nyaman bersama sesama muslimah untuk hal yang serupa. Pengkolektifan gerakan agama ini kemudian disusun dalam satu departemen khusus, yang kemudian difungsikan sebagai institusi pelayanan kepada para muslimah itu.

Berdasarkan pengamatan singkat yang dilakukan penulis, saat ini kampus kita memiliki kondisi dimana peran dan eksistensi perempuan tidak sedemikian dibedakan dari para lelaki. Sebutlah, misal di salah satu lembaga dakwah fakultas, ada ketuanya yang dari kalangan perempuan. Atau sebaliknya, jabatan sekretaris yang umum dinilai sebagai jabatan para perempuan, dipatahkan anggapan tersebut dengan adanya lembaga yang menjadikan lelaki sebagai sekretaris; sebut saja LEM Universitas, yang pada masa penulis ini (2019) sekretarisnya laki-laki, dan wakil sekretaris perempuan.

Sejatinya, persoalan lelaki dan perempuan di organisasi tidak begitu menjadi polemik di kalangan mahasiswa, dan umumnya pun di masyarakat juga tidak dipermasalahkan. Dan selama penulis pengalaman berorganisasi di internal maupun di eksternal, polemik lelaki-perempuan sebagai fungsionaris juga tidak pernah penulis dapati, melainkan hanya pada cuap-cuap tulisan beberapa kader yang sebelumnya mengikuti euforia feminisme saja. 

Secercah Harapan itu Masih Ada

Memang sudah menjadi tempatnya, kampus sebagai ruang untuk mengkaji berbagai fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Peran utama seorang akademisi juga untuk mempelajari berbagai fenomena sosial dari berbagai sudut pandang yang ada. Hal ini bertujuan agar kita memiliki kebijaksanaan dalam bersikap. Terlebih sebagai seorang terpelajar, kita harus mampu menjelaskan fenomena sosial kepada masyarakat dengan ilmiah.

Secara umum, kampus seharusnya tidak boleh bersikap eksklusif serta menutup diri dengan berbagai perbedaan pemikiran yang ada. Akan tetapi, sebagai kampus yang berlandaskan Islam, sudah sepatutnya bagi UII untuk melestarikan pemikiran yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan apa yang dituturkan dalam sunnah Rasul.Seorang akademisi muslim pun harus berperilaku adil, tidak boleh bersikap seolah kebenaran itu berasal dari akal dan nafsunya saja, hingga menafikkan kebenaran dari apa yang telah digali ulama pada sumber rujukan umat muslim seluruhnya.

Harus kita sadari, bahwa perbedaan merupakan Sunnatullah, yang dengannya muslim harus meluruskan segala pemahaman melenceng dengan kebenaran dari Allah semata. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 19, telah dijelaskan bahwa agama yang diterima oleh Allah hanya Islam semata, termasuk juga jalan hidup dan pemikiran yang mendasari tindak aksiologis darinya. Bisa saja Allah mencabut nikmat dari kita saat kita asyik belajar di kampus dan berdialektika dengan sesama kolega, disebabkan kekufuran terhadap agama yang lurus, naudzubillah. Lalu, kenapa kita sebagai mahluk-Nya malah sering menuntut agama Allah supaya sesuai nafsu dan akal kita, lebih-lebih hanya karena kita tersilaukan oleh pemikiran kufur dari peradaban yang bukan Islam?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah tanggung jawab seluruh pihak untuk saling bekerjasama guna menciptakan ruang diskusi dan pembelajaran yang sesuai dengan Islam dalam mengkaji secara ilmiah berbagai fenomena di masyarakat. Peran para pemangku jabatan struktural universitas maupun kelembagaan mahasiswa haruslah menjamin terpeliharanya akidah dan kelurusan syariat dari pengemuka pendapat di kampus.

Penulis yakin, sebenarnya banyak mahasiswa UII yang memiliki potensi terpendam, termasuk dalam kompetensi menjadi orang akademisi yang bertakwa. Diperlukan terciptanya lingkungan kampus yang mampu mendukung para mahasiswa-mahasiswi untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki. Peran berbagai organisasi, khususnya kelembagaan mahasiswa sangatlah penting. Lembaga mahasiswa diharapkan mampu menginspirasi para mahasiswa-mahasiswi untuk berkontribusi lebih dalam pelestarian pemikiran Islam yang lurus. Jika hal ini terlaksana dengan baik, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita dapat melihat semakin banyak muttaqin (orang bertakwa) yang terlibat dalam lingkungan kampus secara keseluruhan.

Allah berfirman dalam surat an-Nisaa’ ayat 32:

”Dan janganlah engkau iri hati kepada karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Bukan saatnya lagi kita melihat kompetensi seseorang berdasarkan jenis kelaminnya. Maka dari itu, sudah saatnya lelaki dan perempuan memiliki peranan yang digariskan oleh Allah dalam berbagai aspek kehidupan. Jika lingkungan kampus cenderung bertakwa, insyaAllah UII akan menjadi kampus yang rahmatan lil ‘aalamin. Wallahu a’lam.

Oleh: Rumi Azhari (mahasiswa Teknik Lingkungan 2016 dan juga sebagai Ketua LDK Al-Fath UII 2018-2019)

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Podcast

Skip to content