Judul: Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?
Penulis: Ulil Abshar Abdalla
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan: I, Juni 2020
Tebal: 186 halaman
ISBN: 978-623-7284-37-6
Masih terngiang gagasan sensasional dari Friedrich Nietzsche dalam bukunya, “The Gay Science”, yang mengungkapkan bahwa “Tuhan telah mati” karena dibunuh oleh manusia sendiri. Ungkapan Nietzsche tentu saja membuat pelbagai pihak mengecamnya, padahal maksud dari Nietzsche adalah mengkritisi jiwa orang-orang Eropa modern yang mengaku beriman, namun tidak lagi menggunakan hukum-hukum ketuhanan sebagai sumber aturan moral.
Penyebab utama ketiadaan Tuhan dalam diri manusia adalah anggapan bahwa keimanannya selama ini rasa-rasanya kok sia-sia, karena sudah capek-capek beriman, nyatanya hidup tetap susah; merana; dan menderita.
Masalah kompleks seperti inilah yang mampu dibaca oleh Ulil Abshar Abdalla dalam bukunya yang berjudul “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” dengan menggunakan perspektif Al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf muslim asal Persia yang dikenal dengan julukan Hujjah al-Islam.
Pada dasarnya, buku tersebut berisi kumpulan opini Ulil Abshar Abdalla tentang masalah-masalah kompleks ketuhanan yang mampu dijelaskan dengan cukup menyenangkan―menurut hemat saya―hingga beberapa persoalan politik di bagian akhir.
Satu di antara masalah-masalah kompleks kekinian yang sedang membutuhkan jawaban secepat-cepatnya sekaligus setepat-tepatnya adalah pandemi Covid-19 yang sangat betah menginap di Indonesia.
Beberapa orang mulai mempertanyakan Kemahakasihan dan Kemahakuasaan Tuhan yang justru terlihat seakan-akan melanggengkan kesengsaraan dan penderitaan dengan pandemi Covid-19 (berdasarkan fakta seseorang yang bertanya kepada Ulil Abshar Abdalla melalui pesan pribadi, halaman 19).
Hebatnya, Ulil Absar Abdalla tidak menyalahkan atau bahkan menyudutkan orang dengan pertanyaan bernada skeptis tersebut. Ulil Abshar Abdallah justru menganggap pertanyaan tersebut wajar dan Tuhan tidak akan marah hanya gegara pertanyaan seperti itu. Pandangan seperti inilah yang membuat manusia-manusia beragama tidak ragu untuk bertanya, sebab keraguannya tidak dijawab dengan kemarahan maupun hujatan.
Satu-satunya yang dibutuhkan orang-orang yang diliputi keraguan adalah jawaban penuh kasih sayang yang memberikan tuntunan, bukan sederet celaan yang menyisakan kekecewaan. Jawaban Ulil Abshar Abdalla atas pertanyaan skeptis di atas dapat dibaca di halaman 20 hingga 23, sebab sungguh tak elok menjabarkan semuanya di sini.
Selain masalah keraguan terhadap Kemahakasihan Tuhan, pandemi juga memicu masalah lainnya seperti anggapan bahwa sains telah mengalahkan agama. Pada dasarnya, masalah ‘Agama vs Sains’ adalah masalah lama yang mungkin akan terus berulang dengan subjek dan objek yang berbeda.
Pandangan umum yang beredar adalah agama cenderung irasional, sementara sains cenderung rasional. Perbedaan mencolok inilah yang kerap membuat dua hal tersebut dipertentangkan antara satu sama lain. Agama masih dipandang sebagai cerita tentang hal-hal yang tak bisa diamati oleh panca indra, sedangkan sains adalah hal yang sebaliknya.
Mencermati anggapan ini, Ulil Abshar Abdalla lagi-lagi mampu menemui “cela” untuk menjelaskan bahwa antara sains dan agama bukan dua hal yang mutually exclusionary atau saling meniadakan/menafikan (halaman 34).
Anggapan sains dan agama sebagai “Tom dan Jerry” adalah kekeliruan yang fatal, sebab orang yang beriman tidak berarti mengabaikan sains. Sebagaimana Tuhan yang memiliki sifat ‘ilmu dan sebagai Dzat yang Maha Tahu (‘Alimun), maka manusia diharuskan memandang semua ilmu secara ontologis sebagai satu kesatuan yang utuh karena pada hakikatnya semua ilmu bersumber dari Tuhan.
Tak hanya masalah-masalah yang relevan dengan keadaan kekinian, buku “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” juga menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang abadi sepanjang masa sekaligus menjadi big question yang terus diperdebatkan oleh umat manusia (halaman 39).
Satu di antaranya adalah, “Jika ketaatan dan kedurhakaan telah ditentukan oleh Tuhan (sehingga manusia hanya bisa bertindak sebatas kehendak Tuhan), maka apa gunanya manusia mematuhi maupun mengingkari (kan semuanya sudah ditentukan)? Lalu, di mana letak konsep hukuman & perhargaan/surga & neraka?”.
Manusia memang selalu hidup dengan banyak tanda tanya yang memenuhi kepala. Beberapa memilih mengungkapkannya lalu mencari tahu kebenarannya, sementara sisanya memilih untuk mengendapkannya di dalam pikiran yang ujung-ujungnya memicu keraguan yang berkelindan.
Lagi-lagi, Ulil Abshar Abdallah mampu menyenangkan hati para penanya-penanya big question ini dengan ungkapan santuy bahwa manusia tidak perlu khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan “nakal” tersebut, sebab pertanyaan semacam itu telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan juga telah diperdebatkan oleh para ulama beserta para filsuf sejak lama.
Jawaban singkat namun padat versi Ulil Abshar Abdalla bisa dilihat di halaman 40 hingga 41. Seperti dalih yang dituturkan sebelumnya, tidak etis menyebutkan semuanya di sini karena tulisan ini hanya sekadar resensi.
Sedikit koreksi (redaksional) untuk buku “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” tentang masalah salah ketik, seperti kata ‘nama’ yang diketik ‘anama’ (halaman 27) dan kata ‘diungkap’ yang diketik ‘diungkai’ (halaman 70).
Kesalahan ringan seperti ini sebenarnya lumrah-lumrah saja terjadi, sebagai bukti bahwa penulisnya masih membutuhkan pembaca yang peduli untuk membetulkan, tidak sibuk untuk menyalahkan. Terlebih lagi, kesalahan yang ditemui hanya sebatas kesalahan ketik yang tidak sampai mengubah substansi dari setiap kalimatnya.
Tak salah jika pepatah lama menyebutkan bahwa kalimat tipo yang masih bisa dipahami oleh pembacanya adalah kalimat yang masih bisa dimaafkan.
Akhir kata, urusan agama adalah keyakinan dan sudah seyogianya disampaikan dengan menyenangkan, karena setiap hal yang menyakitkan kerap kali berujung perpisahan.