La Lutta Continua, Abah

Saya tak pernah benar-benar mengenal Abah sebagai intelektual sepanjang hayat, meminjam sematan Hamid Basyaib. Saya mengenalnya hanya sebagai Ayah yang tenang berpikir, lugas berbicara. Bersahaja. 

Sesuai sifatnya yang melekat dalam kenangan saya, mungkin beliau berdoa kala memberi nama ke saya. Ranu. Artinya danau. Melambangkan keluasan dan ketenangan dalam berpikir. Harapannya saya mewarisi secuil sifat-sifat dalam dirinya.

Mengenang Abah dalam hati dan pikiran hanya memberikan sesak. Saya tak pernah ditinggal pergi ke alam Barzakh oleh seseorang yang saya cintai sebelumnya. Ternyata begini rasanya, galau seribu kali lipat. Terus membekas dalam kilas balik hari-hari terakhir Abah dalam angan, saya membayangkan betapa Abah kesepian di ruang isolasi RS Polri, dalam kondisi tidak sadar karena statusnya PDP (Pasien dalam pengawasan).

Saya yang setiap hari menjenguk kadang bersama kakak, ibu dan adik saya, agar bisa memantau dan menanyakan kondisi kesehatannya setiap hari. Bahkan tak mau luput pemahaman, saya selalu merekam penjelasan DPJP (Dokter penanggung jawab pasien), terkait kondisi terakhir, dan treatment apa yang diperlukan agar Abah cepat pulih. Ikhtiar keluarga sudah semaksimal mungkin.

Sampai beliau dikeluarkan dari ruang isolasi lalu dipindah ke ICU karena dari Rapid test dan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) atau biasa disebut SWAB test menunjukkan hasilnya negatif.

Di ruang ICU saya sempat nelangsa dalam hati, namun di satu sisi, saya jadi memiliki asa tinggi untuk kondisi kesehatan Abah. Untuk pertama kali saya melihat Abah berbicara seperti biasa, awalnya dia teriak dan marah kepada perawat, mungkin karena kesepian. Lalu saya masuk ke ruangan Abah (untuk pertama kali saya bisa bertemu Abah secara langsung) dan memegang tangannya, sambil saya berkata “Sabar ya, Bah. Kata dokter Abah udah boleh dikeluarkan dari ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap”.

Pemindahan dari ruang ICU ke ruang rawat inap membekas jelas, saya yang mendorong kasur beliau, dan melihat jelas wajahnya yang lemah namun sejatinya masih ada api semangat dalam diri. 

Namun takdir telah tergurat, beliau menghembus nafasnya di ruang rawat VIP Gedung Anton Soedjarwo (RS. Polri). Rahasia Allah menempatkan beliau di ruangan yang nyaman, dan memberi sisa daya hidup selama 2 hari (10-12 April) agar bisa berkumpul untuk terakhir kali dengan keluarga. Beliau wafat karena komplikasi sakit lemah jantung dan paru, akibat gula darah yang tinggi. Meninggalkan Ibu saya, 5 Anak: 3 perempuan, dan 2 lelaki, saya anak ke-3. Dan 4 Cucu. Insyaallah husnul khatimah.

Jauh Mengilas Balik. 

Beliau selalu mengagumi alam, memilih tinggal di Beji, Depok karena alasan demikian. Beliau selalu rindu dengan kesejukan udara, rindang, dan rimbun lingkungan penuh pepohonan. Maklum, masa kecil beliau tinggal di antara kaki gunung Sindoro dan Sumbing, Ngadirejo, Temanggung. 

Pindah dari rumah sebelumnya di Bogor, dan Kauman, Yogyakarta (tempat saya menumpang lahir), ke Depok sejak tahun 1997 sebelum krisis moneter. Saya selalu ingat di masa saya kecil kita, bersama kakak atau adik sering jalan-jalan bersepeda di sekitar lingkungan rumah atau ke Universitas Indonesia, yang kebetulan dekat. Sekedar foto-foto dan menghirup udara dari pepohonan yang lebat. Saya juga ingat, sampai ke masa saya dewasa, terakhir, kala saya dan Abah ke rumah nenek di Ngadirejo, saya dan beliau jalan-jalan melihat sunset di kaki Gunung Sumbing. Itulah kali terakhir saya berjalan-jalan santai bersama Abah menikmati kerindangan dan keindahan alam.

Beliau juga yang selalu mendukung saya menjelajahi gunung-gunung di Jawa, saya tak pernah luput mengabarkan saya sedang di gunung mana, sampai beliau menuliskannya di laman Facebook-nya tentang hobi saya.

Saya baru mengenal pemikiran dari tulisan beliau setelah saya memasuki fase kuliah, dimana saya membaca tulisan-tulisan beliau dari dokumen yang tersimpan rapi di tempat saya menimba ilmu dunia jurnalistik, di LPM Keadilan, FH UII. Selain disana, saya juga berdinamika di Rode 610. Beliau selalu berpesan pada saya, “Rakuslah membaca, karena hanya itulah yang meluaskan paradigma berpikirmu”.

Saya baru menyadari, sosok seperti Abah saya terbilang langka, intelektual muslim yang tekun dan konsisten menimba ilmu dari manapun kapanpun, menganggap semua orang itu guru, alam raya sekolah. Sifat egaliter yang tinggi dan rendah hati. 

Saya memilih jalan pedang yang berbeda jauh dengan beliau yang seorang penulis, intelektual muslim jauh dari partisan politik. Saya anaknya hanyalah anak panah, Abah saya bagai busur yang melesatkan jauh. Meminjam sajak Kahlil Gibran. Anakmu Bukanlah Milikmu. “Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.” 

Beginilah kehidupan, seperti di candradimuka. Suatu waktu saat keluarga kita kesulitan, beliau menasihati kita semua, ingatlah dan selalu yakin dengan berpegang teguh pada ayat Inna ma’al ‘usri yusran, Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan . (QS. 94:6). Yang sejatinya perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.  

Kini, tak ada lagi yang duduk di meja kerjanya sambil menggema lagu karya John Williams soundtrack film Schindler’s List. Lagu yang menyayat hati, membuat saya menangis kala menyaksikan film tersebut, film tentang penderitaan orang-orang Yahudi Polandia yang dikirim ke Kamp konsentrasi Auschwitz oleh Nazi. Kini kesedihan saya, berlipat. Saya tersiksa rindu kepada Abah, mendengar lagu itu. 

Saya akan tetap menjadi anak kecilnya, persis seperti saat ini saya menangis ketika menulis ini dan saya yakin sekarang beliau mengusap pipi sambil berkata, “Kuatkan Mama, Alifa, Nina, Izat, Nurul, dan cucu-cucu, Abah”

La lutta continua, Abah.

Skip to content