Maksimal dengan Minimal

Pandangan beberapa orang tampak waspada. Mereka menyusuri setiap rak baju dan sepatu di salah satu toko di mal. Tangannya lincah memilih dan memilah. Asal dapat yang sekiranya bagus, mereka langsung mengambil. Prinsipnya ambil sebanyak mungkin mumpung diskon. Dari tatapannya, misal saja menusuk orang lain tidak dipidana, antar pembeli bisa saling tusuk untuk berebut barang.

Memang menegangkan berada di sebuah toko saat diskon. Apalagi di beberapa toko dengan merek terkenal. Jangankan bisa memilih, berjalan pun kadang susah.

Saya belum tahu pasti alasan orang mau membeli banyak barang dengan harga yang tidak jarang mahal. Bahkan beberapa kondisi, tidak semua barang yang kita beli saat diskon, kita butuhkan fungsinya. Tapi yang jelas, dalam kondisi seperti ini, iklan mempunyai peranan penting.

“Apa yang kamu pakai ada cerminan dirimu.” Pernah mendengar pernyataan tersebut? Terdengar menarik memang. Terlebih saat kita memakai barang yang sama dengan idola. Misal Justin Bieber memakai pakaian merek Supreme. Maka saat kita memakai barang yang sama, seakan kita sekelas dengan Bieber dalam hal lingkungan dan ketenaran. Nyatanya? Tidak sama sekali saudaraku.

Sadar atau tidak, itu hanya strategi iklan para produsen pakaian. Mereka mensugestikan bahwa kamu bisa menjadi banyak hal dengan pakaianmu. Padahal kita ya kita, bukan yang kita pakai. Seorang dosen akan tetap menjadi dosen walaupun tidak memakai pakaian yang mencerminkan dosen. Ada hal yang lebih esensial dibanding sebatas pakaian.

Belum lagi model pakaian yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Apa tujuannya? Tentu agar kita selalu membeli dan membeli. Siapa yang paling diuntungkan? Anda tahu lah. Tidak hanya dalam pakaian, hal ini juga bisa terjadi dalam barang lainnya, misal mobil, smartphone dan lainnya.

Akan Tetapi saya bisa memahami. Beberapa sahabat saya, terutama mereka yang sudah bekerja, membeli barang sebagai bentuk apresiasi atas kerja yang dilakukan. Kerja yang membuat stres harus diimbangi dengan apresiasi. Jadi beli barang mahal atau makan mahal sebagai apresiasi kerja keras dan penghilang stres.

Kalau kita analisis, ternyata masih perlu kita pertanyakan lagi prinsip itu. Mari kita buat polanya. Orang bekerja, tenaga dan pikiran terkuras, stres, mendapat uang, membeli barang untuk apresiasi, uang berkurang, kerja lagi, dan stres lagi. Seperti ada lingkaran stres.

Bisa jadi orang membeli barang yang tidak dibutuhkan sebagai cara menghilangkan stres untuk sementara. Apakah kita termasuk di dalamnya? Mari kita lihat sekeliling kita. Apakah banyak barang yang jarang atau bahkan tidak digunakan sama sekali dalam waktu yang lama? Bisa jadi kita berada dalam masalah yang serius. Hanya saja kita belum sadar.

Kekosongan hidup pernah dirasakan oleh Ryan Nicodemus. Dia memiliki hidup dan pekerjaan yang bagus serta barang yang tergolong banyak. Namun dia merasa ada lubang besar kehampaan dalam hidup. Dalam film dokumentar The Minimalist: A Documentary About The Important Things, dia melihat Joshua Fields Millburn, temannya yang terlihat hidup dengan ringan dan bahagia.

Merasa penasaran, dia berbincang 20 menit dengan Joshua. Menit-menit tersebut sangat mengubah hidupnya. Joshua memperkenalkan kepada Ryan tentang minimalisme. Secara umum, minimalisme adalah memiliki dan menggunakan barang yang memang penting dan dibutuhkan.

Sebelumnya, Joshua memiliki ratusan buku, DVD, pakaian dan barang lainnya. Kemudian dia mulai melepaskan barang-barang yang dia miliki. Pertimbangannya, apabila barang tersebut tidak menambah nilai pada hidup, maka barang itu akan keluar dari hidupnya.

Sejak dia hidup hanya dengan barang yang menambah nilai hidupnya, dia semakin merasa bebas dan ringan. Dia juga semakin bahagia. Salah satu sebabnya, dia tidak lagi perlu mengurus banyak barang, dan lebih banyak waktu untuk hal yang dia sukai, entah hobi atau orang yang dia sayangi.

Salah satu contoh minimalis dalam pakaian seperti ini. Misal dalam seminggu kita hanya membutuhkan tujuh kaos. Asumsinya bahwa tujuh kaos tersebut digunakan dan dicuci secara rutin. Sehingga bisa dipakai secara bergantian.

Apabila hanya membutuhkan tujuh kaos, mengapa kita perlu memiliki 20 kaos bahkan lebih? Kita sadari atau tidak, hanya sedikit kaos yang kita pakai. Entah karena favorit atau alasan lain. Misal ada pakaian yang tidak kita pakai selama lebih dari 30 hari, maka pertimbangkan lagi keberadaannya dalam hidup kita.

Bisa jadi analisis ini tidak bisa diterima bagi orang yang menganggap bahwa banyak barang membawa banyak kebahagiaan. Atau semakin kaya semain bahagia. Tentu itu tidak salah, tapi juga tidak selalu tepat dalam beberapa kondisi. Saya ingat salah satu kalimat dari aktor dan komedian, Jim Carrey, “I wish everyone could become rich and famous, so they could realize it’s not the answer.”

Selain bisa mengurangi stres dari banyaknya barang, gaya hidup minimalis juga bisa menghemat pengeluaran kita. Dengan membeli barang yang hanya dibutuhkan, banyak uang yang bisa kita simpan untuk kebutuhan lain. Misalnya meningkatkan pengetahuan dengan kursus atau mengembangkan hobi.

Dalam buku Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay, salah satu hal penting dari minimalis yaitu menyelamatkan bumi dari kerusakan. Bagaimana caranya? Saat kita mengurangi barang yang kita gunakan atau beli, produsen atau perusahaan juga akan mengurangi produksinya. Saat produsen mengurangi produksinya maka polusi dan sampah yang dihasilkan juga semakin sedikit. Saat polusi dan sampah semakin sedikit, pencemaran terhadap lingkungan juga berkurang. Hal tersebut sedikit banyak membantu menyelamatkan bumi yang hari ini semakin mengenaskan.

Banyak referensi untuk mencoba hidup minimalis, dari film, video, buku serta artikel. Kita bisa mempelajarinya lebih dalam. Minimalis hanya salah satu dari berbagai gaya hidup. Kita patut mencobanya. Ini gratis. Apabila kita tidak cocok dengan gaya hidup ini, kita bisa kembali kapan pun. Tidak semua orang harus jadi minimalis, tapi semua orang perlu tahu tentang minimalis. Terutama analisis tentang konsumerisme.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content