Menengok Ritual Selasa Wage di Malioboro

Himmah Online, Yogyakarta – Selasa, 23 Juli 2019, bertepatan dengan Selasa Wage, berlangsung kegiatan gotong royong untuk membersihkan Jalan Malioboro. Kegiatan ini sebelumnya merupakan agenda rutin atas kesepakatan yang dilakukan oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Pemerintah Kota Yogyakarta sejak September 2017. Pemerintah Kota Yogyakarta telah membuat program untuk meliburkan para PKL di sepanjang Jalan Malioboro dari kegiatan berjualan.

Mulai bulan Juni tahun ini, suasana Selasa Wage di Malioboro tampak berbeda, ada sebuah ritual baru: Pedestrian Day. Kendaraan bermotor milik pribadi tidak diperbolehkan melewati Jalan Malioboro. Menurut Aziz selaku pihak Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Pedestrian Day sendiri telah dilaksanakan dua kali, pertama pada 18 Juni 2019 dan yang kedua pada 23 Juli 2019. Kendaraan yang boleh melewati Jalan Malioboro hanya becak, delman, bus Trans Jogja, ambulans, kendaraan petugas Pedestrian Day, dan kendaraan VIP seperti mobil kepresidenan.

Keberadaan Pedestrian Day menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung, satu di antaranya adalah Andika. Andika mengatakan ia sengaja menikmati Jalan Malioboro yang sedang bebas kendaraan. Andika dapat dengan leluasa bermain sepeda dan berjalan-jalan tanpa adanya kepadatan lalu lintas yang terjadi di hari biasa. “Karena Selasa Wage bisa main sepedaan sepuasnya dan jalan-jalan, karena kan nggak ada kendaraan,” ujar Andika. Selain Andika, tidak sedikit pengunjung yang mengabadikan momen Selasa Wage dengan berfoto di tengah Jalan Malioboro yang sedikit dilalui kendaraan.

Daya tarik lain dari Pedestrian Day adalah terdapat berbagai komunitas kesenian. Mereka memanfaatkan momen ini untuk unjuk gigi dan mempromosikan kegiatan mereka di sepanjang Jalan Malioboro. Seperti penampilan teater musikal oleh KIKH Bridge Project, komunitas seni yang beranggotakan seniman dari lima negara di Asia; Jepang, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan India. “Sengaja Selasa Wage karena ini pas Car Free Day (Pedestrian Day -red). Kita ambil pagi, karena nanti kita masih ada latihan, terus kita pengen lihatin ke publik yang belum biasa nonton pertunjukan,” ujar Rakri, salah satu anggota KIKH Bridge Project. 

Suka cita pada Pedestrian Day tidak hanya dialami oleh para seniman yang dapat dengan leluasa menampilkan pertunjukkan di atas trotoar, namun juga para tukang becak. Salah satu tukang becak yang bernama Parjo mengatakan momen Pedestrian Day membuatnya mendapatkan penghasilan lebih banyak dibandingkan hari biasanya. Hal itu karena tidak adanya kendaraan lain kecuali kendaraan yang diperbolehkan lewat.

Tidak seperti tukang becak dan komunitas seni yang merasakan keuntungan dari Pedestrian Day, para penjaga parkiran Parkir Taman Abu Bakar Ali tidak merasakan perbedaan yang signifikan dari hari biasa. Menurut Wito selaku penjaga parkir, kendaraan yang parkir sama saja dengan hari biasa. Area parkir cenderung lebih ramai hanya saat akhir pekan, “ramainya itu kalau libur, ada banyak pedagang di Malioboro, (pengunjung -red) banyak yang parkir di sini,” jelas Wito. 

Sistem Pedestrian Day yang diberlakukan di Kota Yogyakarta ini merupakan yang pertama di Indonesia. Penggunaan penanggalan Jawa dalam menentukan hari pelaksanaan dan liburnya para PKL menjadi ciri khas yang belum pernah diterapkan di kota lain.(ARK/MP)

Penulis: Muhammad Prasetyo

Reporter: Muhammad Prasetyo, Ika Rahmanita

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Podcast

Skip to content