Menangkal Gerakan Ideologi Transnasional di UII

Islam rahmatan lil alamin sebagai visi Universitas Islam Indonesia (UII) belakangan ini mulai terancam eksistensinya. Hal ini ditandai dengan munculnya gerakan ideologi transnasional melalui buletin dan diskusi-diskusi yang mulai memenuhi ruang publik di lingkungan kampus. Tidak hanya dari kalangan mahasiswa, kalangan dosen pun ikut mengusung gerakan ini dengan adanya temuan pencatutan nama Universitas Islam Indonesia (UII) untuk melegitimasi gerakan tersebut. Namun hal ini memunculkan kekhawatiran dari kalangan aktivis mahasiswa dan kalangan dosen yang memiliki kesadaran penuh akan sejarah berdirinya UII. Pasalnya, ideologi transnasional yang merebak belakangan ini sangat bertolak-belakang dengan corak keislaman rahmatan lil alamin dan semangat ke-Indonesiaan.

Ideologi transnasional sendiri menyuguhkan nuansa keislaman ala timur tengah, yang identik dengan kekerasan, terorisme, dan perang antar saudara. Hal itu sangat bertentangan dengan nuansa keislaman di Indonesia yang menjadi model keislaman paling ideal di dunia modern saat ini. Wajah islam yang damai, penuh cinta kasih, dan nilai-nilai kemanusiaan dijunjung tinggi menjadi ciri khas Islam rahmatan lil alamin yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Lebih dari itu, ideologi transnasional juga mengusung sebuah sistem internasionalisme yang berujung pada penghapusan nasionalisme dan pengingkaran terhadap ideologi pancasila. Oleh karena itu, apabila ideologi tersebut dibiarkan tumbuh subur di lingkungan kampus, UII nyaris di ambang kehancuran. Situasi menjadi lebih buruk dengan kecenderungan mahasiswa yang apatis dan apolitis dalam menyikapi fenomena gerakan radikal di lingkungan kampus.

Padahal terminologi Islam rahmatan lil alamin tidak lahir dari ruang hampa. Islam rahmatan lil alamin terbentuk dari proses sejarah yang panjang dengan dinamika sosial, politik, kebudayaan yang cukup kompleks. Namun seiring berjalannya waktu, banyak dari kalangan civitas akademika tidak mampu memaknai Islam rahmatan lil alamin ala UII ini. Laksono dalam buku Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa dan Pedesaan-nya menjelaskan bahwa pengetahuan tentang nenek moyang, tradisi, dan sejarah merupakan landasan untuk menjelaskan diri kita dan membangun proyeksi masa depan. Maka membaca sejarah UII dapat menggali identitas diri dalam mempertahankan dan memperjuangkan islam rahmatan lil alamin.

Pertama, bermula dari kegelisahan tokoh-tokoh nasionalis dan tokoh-tokoh agamis akan dunia pendidikan di era pra kemerdekaan yang didominasi oleh sekolah-sekolah belanda melalui politik etis. Oleh karena itu tepat pada tanggal 8 Juli 1945 atau 27 Rajab 1364 H, sebuah Sekolah Tinggi Islam (STI) — sekarang UII — dibangun. Sebuah tekad dari para tokoh pendiri bangsa di atas semangat keislaman dan keindonesiaan untuk membangun sekolah pribumi.

Kedua, Islam rahmatan lil alamin tidak dapat terlepas dari latar belakang sosial politik  keagamaan, dan tokoh-tokoh pendiri institusi pendidikan tersebut, diantaranya  KH. A. Wahid Hasyim, Dr. Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, dan Mohamad Roem. Di mana Islam rahmatan lil alamin bersepakat atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Maka, agar tidak mudah digeser oleh ideologi impor yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, kita perlu terus membaca sejarah dan menelaah tokoh-tokoh pendiri perguruan tinggi swasta tertua di Indonesia ini

UII sebagai entitas yang memiliki tugas untuk mewujudkan tri dharma perguruan tinggi serta dakwah islamiyah harus mengerahkan segala kekuatan untuk mengoptimalkan seluruh elemen yang dimiliki dalam memproduksi ilmu pengetahuan yang berakar pada upaya pengejawantahan islam rahmatan lil alamin. Sinergi dari kalangan birokrasi kampus, pengajar, dan mahasiswa menjadi sangat penting mengingat gerakan yang dihadapi memiliki strategi penyebaran yang cukup masif.

Contohnya adalah langkah strategis yang dilakukan oleh rektor beberapa minggu yang lalu dan kebijakan ini patut untuk diapresiasi. Melalui surat edaran rektor, secara tegas disampaikan bahwa organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik tidak diperkenankan untuk menggunakan nama UII. Hal ini dilatarbelakangi oleh gerakan ideologi transnasional yang secara terang-terangan mencantumkan nama Universitas Islam Indonesia (UII) di buletin yang terbit setiap satu minggu sekali di lingkungan kampus.

Selain itu, peran birokrasi kampus dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur regulasi harus dilengkapi dengan peran fungsi mahasiswa melalui lokus gerakan yang dimiliki. Setiap lokus gerakan baik organisasi intra kampus maupun ekstra kampus harus penuh sesak dengan diskursus dan wacana yang mengawali eksistensi kampus dari ancaman gerakan ideologi transnasional. Mimbar kebebasan akademik dikembalikan pada fungsi semestinya untuk menemukan dan menggali kebenaran secara objektif sehingga ilmu pengetahuan yang dilahirkan dapat menjadi pijakan untuk menemukan khazanah islam rahmatan lil alamin.

Untuk menggali khazanah Islam rahmatan lil alamin sebagai benteng dari ancaman gerakan ideologi transnasional, ialah dengan menumbuhkan paradigma bahwa kekuatan Islam rahmatan lil alamin bukan terletak pada seberapa banyak teks-teks yang mendukung argumen. Namun kekuatan Islam rahmatan lil alamin terletak pada maqashid Islam, yakni prinsip-prinsip tercapainya tujuan diturunkannya Islam di muka bumi. Imam al-Ghazali dalam bukunya al-Mustashfa min Ilmil Ushul merumuskan konsep maqhasid syariah ke dalam al-ushulul khamsah, yakni memelihara agama (khifdud din), memelihara jiwa dan kehidupan umat manusia (khifdzun nafs), memelihara akal pikiran umat manusia (khifdzul aql), memelihara dan melindungi hak milik seseorang dan masyarakat untuk hidup sejahtera (khifdzul mal), memelihara dan melindungi kelangsungan hidup umat manusia dan keturunannya (khifdzun nasl), serta memelihara harga diri dan menjunjung tinggi martabat manusia (khifdzul ‘irdh). Sebagai contoh sederhana dari maqhasid syariah ialah afirmasi terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pancasila, di dalamnya tidak ada yang  bertentangan dengan prinsip-prinsip maqhasid syariah. (Samsul Ariski – Mahasiswa Psikologi 2012/Ketua PMII Wahid Hasyim UII)

Sumber :

-PM Laksono (2009), Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa dan Pedesaan KepelPress, Yogyakarta.

-Al Imam Abu Hamid al-Ghazali, Mustashfa min Ilmil Ushul, vol. 1, hlm. 287

Skip to content