Literasi Media, Mahasiswa Harus Melek Media

HIMMAH ONLINE, Kampus Terpadu – Media merupakan instrumen yang paling berpengaruh saat ini, terutama dalam menggiring opini publik. Semua kabar ataupun informasi dapat ditemukan dengan mudah lewat media. Belum lagi perkembangan media baru seperti internet, banyak sekali informasi yang berhamburan di sana. Entah benar atau salah, terkadang kita terlalu terburu-buru dalam menelan informasi yang ada tanpa memilahnya terlebih dahulu.

Berangkat dari latar belakang tersebut, Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (FKPM UII)—yang terdiri dari seluruh lembaga pers mahasiswa (LPM) di UII—mengadakan diskusi mengenai literasi media dengan tema “Mahasiswa Melek Media” pada Minggu, 13 Maret 2016. Bertempat di Auditorium Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII, diskusi literasi media menghadirkan tiga pembicara, yaitu Wening Fikriyati dari Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta, Drs. Yusdani, M. Ag. dari Pusat Studi Islam (PSI) UII, dan Abdus Somad dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Diskusi literasi media diawali dengan pemaparan mengenai peran media serta bagaimana memilih dan menganalisis informasi yang disampaikan oleh Wening Fikriyati. Wening memaparkan bagaimana media begitu memiliki dampak terhadap perilaku manusia. Media mampu menjadi stimulus dan dapat mempengaruhi orang, baik dalam bentuk reproduksi maupun imitasi. Media juga mampu memicu perilaku yang bersifat emosional reaktif. Berita-berita yang disampaikan oleh media sering kali dijadikan rujukan untuk melakukan kekerasan. Seperti kasus “Fiqih Waria” yang menimpa para waria di pesantren waria. Menurutnya pada kasus ini, beberapa media justru mendorong perilaku-perilaku yang menyebabkan kekerasan terhadap para waria di pesantren waria. Media pada saat itu dianggap tidak memberikan ruang untuk menjelaskan apa itu “Fiqih Waria”, tidak menjelaskan bagaimana duduk perkara yang sebenarnya, dan tidak mengungkapkan siapa yang sebenarnya menggagas “Fiqih Waria”. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat sehingga mengakibatkan pesantren waria ini ditutup dan ancaman kekerasan terhadap waria semakin menjadi. Permasalahan yang ditimbulkan media seperti inilah yang kemudian menjadi landasan munculnya gerakan literasi media.

Wening menegaskan apabila kita hanya mengharap kepada media untuk berubah atau hanya menunggu kebijakan pemerintah untuk berubah, sama saja dengan menganggap bahwa masyarakat tidak mempunyai daya dan kemampuan untuk memfilter media. “Karena apabila yang didengungkan adalah gerakan untuk mengubah media, yang akan terjadi adalah penyensoran dan pelarangan yang kadang justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi,” tambahnya.

Wening juga menjelaskan bagaimana cara menganalisis konten media, bagaimana cara membedakan antara konten yang dapat dipercaya atau tidak. Pertama, kita harus memahami konten tersebut. Mengacu pada jurnalisme verifikasi yang dipaparkan oleh Bill Kovach, di mana konten yang baik dapat dilihat dari verifikasi yang tepat, sumber yang tidak hanya satu pihak, dan adanya bukti-bukti yang kuat. Terdapat pula jurnalisme pernyataan, yaitu jurnalisme yang mengedepankan kecepatan, di mana informasi yang masih sangat mentah terkadang disajikan begitu saja oleh media tanpa memverifikasi kebenaran informasi tersebut. Kemudian ada jurnalisme pengukuhan, yaitu jurnalisme verifikasi namun juga menggiring kepada kepentingan tertentu. Selain itu, ada jurnalisme kaum kepentingan, di mana media sering digunakan untuk ruang pribadi.

Langkah kedua, kita harus mengetahui apakah informasi yang disajikan lengkap atau tidak, apakah ada unsur 5W+1H (what, who, when, where, why + how) atau tidak. Langkah ketiga adalah melihat kapabilitas dari narasumber karena sering kali media-media online menampilkan berita-berita yang tidak lengkap narasumbernya. Langkah selanjutnya, mempertanyakan bukti yang disuguhkan kemudian memverifikasi bukti tersebut. Selain itu, kita juga harus membandingkan berita satu dengan berita lainnya. Terakhir, tanyakan pada diri kita apa yang dapat kita pelajari dari berita tersebut dan apakah berita itu penting untuk diri kita.

Pembicara kedua, Yusdani, mengawali pemaparannya mengenai partisipasi mahasiswa terhadap media dalam mendorong terwujudnya keadilan, dengan mengungkapkan kekhawatiran akan hilangnya karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh media yang dikelola mahasiswa UII saat ini. Yusdani berpendapat bahwa mahasiswa memerlukan cara baru dalam membaca media. Ia kemudian menjelaskan bahwa terdapat dua cara dalam membaca media. Pertama adalah membaca permukaan dan yang kedua adalah membaca yang tidak terbaca atau dapat disebut sebagai membaca yang bersifat kritis. Yusdani menjelaskan, dalam membaca media secara kritis, harus diketahui terlebih dahulu untuk kepentingan siapa media tersebut diterbitkan. Kemudian, perlu diketahui pula gagasan dasarnya untuk kaum “elit” atau kaum “alit”. Hal yang tidak kalah penting adalah memperhatikan konsep politik dan praktisnya.

Yusdani menegaskan bahwa mahasiswa sebagai pegiat media sudah seharusnya menggunakan cara baca kritis agar tidak terjebak dalam literasi permukaan karena informasi yang disajikan media belum tentu menggambarkan realitas yang sebenarnya. Tugas media yang dikelola mahasiswa saat ini adalah melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik media-media yang sering dikonsumsi masyarakat.

Pembicara terakhir, Abdus Somad, memaparkan mengenai peran pers mahasiswa dalam mendorong literasi media. Somad mengungkapkan sebuah data di mana sekitar 200 media online yang dikelola pers mahasiswa di seluruh Indonesia rata-rata hanya menerbitkan satu buah berita setiap minggunya. “Bagaimana bisa pers mahasiswa dapat berbicara mengenai literasi media jika pers mahasiswa sendiri tidak produktif dalam melakukan upaya-upaya literasi? Bagaimana pula pers mahasiswa bisa menyadarkan masyarakat jika pers mahasiswa sendiri tidak sadar akan ketidakmampuannya untuk melakukan literasi media?”

Somad juga berpendapat bahwa kemunculan era media, informasi melimpah, dan kemudahan dalam memperoleh wacana di internet, tidak diimbangi dengan perkembangan pers mahasiswa sehingga gaya tulisan pers mahasiswa banyak meniru media mainstream. “Inilah mengapa pers mahasiswa harus memiliki karakter dalam menulis serta mempunyai nilai tersendiri dalam menyampaikan informasi,” imbuhnya.

Saat media mainstream sedang gencar meracuni masyarakat dengan agenda-agenda politis, kapitalis, dan agenda-agenda yang sifatnya membodohi masyarakat, pers mahasiswa harus muncul sebagai salah satu media yang dapat mencerahkan masyarakat. Sudah saatnya pers mahasiswa bangkit, tidak hanya mengangkat persoalan-persoalan kampus, tetapi juga menyuarakan persoalan-persoalan di luar kampus. Pers mahasiswa dapat mengedepankan asas jurnalisme data, jurnalisme presisi, jurnalisme verifikasi, dan yang terpenting adalah adanya karakter tersendiri dalam penulisan berita.

Somad optimis bahwa di masa yang akan datang, informasi yang layak dibaca dan sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik adalah informasi yang dibuat oleh pers mahasiswa. Karena menurutnya, pers mahasiswa tidak mempunyai kepentingan apa pun. Pers mahasiswa memiliki semangat idealisme dan ideologi pula. Somad berharap mahasiswa tidak hanya melek terhadap media, tetapi juga berkontribusi terhadap perubahan tatanan sosial bagi masyarakat dan negara.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Fauzi dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Wachid Hasyim UII bertanya usaha yang dapat dilakukan pers mahasiswa terkait dengan turunnya SK Rektor yang dilatarbelakangi oleh organisasi masyarakat (ormas) yang membawa “ideologi impor” dan dampak yang akan terjadi jika ideologi ini menyebar di UII. Menanggapi hal ini, Yusdani menegaskan bahwa UII didirikan oleh ormas-ormas Islam ala Indonesia, bukan ormas impor. Oleh karena itu, jika suatu ideologi bertentangan dengan ideologi para pendiri bangsa, ideologi tersebut tidak boleh berada di lingkungan UII. Ia balik mempertanyakan mengapa mahasiswa diam saja ketika melihat fenomena masuknya “ormas impor” tersebut yang mana telah menggerogoti eksistensi kelembagaan dan masa depan UII. Sehingga, sudah saatnya pers mahasiswa mengawal hal ini. Mahasiswa harus mempunyai gereget untuk mengawal UII.

Ryo dari LPM Kognisia mempersoalkan mengenai media-media yang kerap menyajikan berita bersambung dan tidak selesai. Ia kemudian menanyakan bagaimana agar masyarakat bisa mengkritisi informasi-informasi yang disampaikan oleh media. Wening menjawab bahwa mengawal media besar memang merupakan perkara yang agak sulit karena media sebagai industri juga harus mengikuti tren. Kesulitan lainnya dikarenakan media yang ada di Indonesia masih terpusat dan dikuasai segelintir orang. Konten yang diberitakan media pun Jakartasentris. Media belum menyentuh persoalan yang dirasakan masyarakat tingkat lokal. Oleh karena itu, peran media lokal harus dikuatkan. Wening menegaskan bahwa gerakan literasi media bukan dimaksudkan sebagai gerakan anti media. Literasi media adalah bagaimana masyarakat dengan informasi yang ada bisa mengambil keputusan serta bisa mengatur dirinya sendiri, sehingga sudah menjadi tugas mahasiswa untuk mengawalnya supaya informasi dapat didorong menjadi gerakan masyarakat.

Syamsul dari PMII Wachid Hasyim UII mempersoalkan mengenai daya kritis mahasiswa saat ini yang tidak sama dengan mahasiswa era 80-an atau 90-an. Ia merasa bahwa ada upaya sistematis yang dilakukan oleh dunia pendidikan, seperti membatasi masa kuliah mahasiswa. Somad kemudian menanggapi hal ini. “Kebijakan pemerintah dalam membatasi masa studi merupakan proyeksi dari perguruan-perguruan tinggi negeri yang mengusulkan adanya PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum –red),” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa PTN-BH yang mencanangkan program research university atau perguruan tinggi berbasis riset, mengharuskan perguruan tinggi untuk mencari dana guna membiayai riset tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menjadikan perguruan tinggi sebagai sebuah perusahaan. Cara lainnya adalah dengan menaikkan tarif biaya kuliah mahasiswa. Kebijakan tersebut kemudian menyebabkan pembatasan masa kuliah yang memberikan dampak kepada mahasiswa, terutama LPM.

Diskusi yang ditutup sekitar pukul 16.00 WIB ini menghasilkan simpulan bahwa di tengah derasnya arus informasi, masyarakat dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam memfilter berita sebab tidak semua media menyampaikan informasi yang kredibel. Pers mahasiswa sebagai penggerak media juga dituntut untuk dapat memberi pencerahan kepada masyarakat dan berperan aktif dalam menyajikan informasi-informasi yang layak dikonsumsi oleh pembaca. (Alfa Nur S.)

Skip to content