Menjadi DPM, Alhamdulillah atau Astagfirullah?

Sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa saya menulis ini dengan segala keterbatasan ilmu saya. Saya hanya ingin bersedekah melalui tulisan. Karena menulis adalah kewajiban sosial dan bagi saya menulis adalah salah satu cara untuk berusaha menjadi manusia dan hamba-Nya.

Menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa ataupun Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) atau status yang Anda anggap sebagai seorang “pejabat”, patut disyukuri. Karena orang yang bersyukur bukan hanya wajar, tapi juga baik dan terpuji. Bersyukur termasuk anjuran utama Allah kepada hamba-Nya. Bahkan dalam tingkatan tertentu tidak bersyukur juga tergolong kufur. Wujud dari menuturkan rasa syukur itu adalah otonomi dan kedaulatan pribadi. Silakan Anda mau mengirimkan kabar kepada rekan-rekan, kenalan-kenalan, ayah, ibu, nenek, kakek, sampai semua orang yang dikenal tahu. Atau Anda mau buat status di media sosial “Alhamdulillah, jadi ketua DPM”,  yang jelas tendensinya wajib diorbitkan ke Sang Maha Hakim.

Tapi, sebagai “wakil mahasiswa” yang telah (atau baru akan) terdidik tindak-tanduknya, sikap sehari-harinya, cara berpikirnya dalam tingkatan kesadaran yang levelnya jauh lebih dahsyat, tentu harus mengetahui pada situasi dan posisi mana ia mengucapkan alhamdulillah dan kapan ia mengucapkan astagfirullah. Ketidaktahuan terhadap hal tersebut bisa mempengaruhi tahapan-tahapan selanjutnya.

Kalau saya berjualan pempek dan habis atau laris, otomatis saya pasti mengucap alhamdulillah. Namun, kalau saya memperoleh beban dan amanat untuk memperjuangkan aspirasi banyak orang, saya cenderung akan mengucap astagfirullah karena yang teringat oleh saya adalah kelemahan dan ketidakpantasan saya untuk memikul amanat itu. Sehingga saya merasa sangat perlu memulai tugas itu dengan memohon ampun kepada Allah. Bisa juga saya ucapkan la haula wala quwwata illa billah karena kuat atau tidaknya saya untuk memikul amanat memperjuangkan aspirasi mahasiswa ini, semua bergantung dari Kuasa Allah.

Bila mengucapkan alhamdulillah, orang bisa melihat bahwa menjadi DPM atau menyandang jabatan apa pun adalah stasiun karier pribadi, menjadi DPM atau status jabatan apa pun hanya untuk berdagang dengan perusahaan-perusahaan setelah lulus kuliah atau bahkan sebagai ladang mata pencaharian karena begitu banyak ruang yang bisa dimanfaatkan. Dan agar tidak kehilangan posisi yang diinginkan, karena menjadi DPM adalah stasiun karier pribadi, maka dalam penentuan posisi pun harus sampai berbulan-bulan hingga mematikan hal-hal yang lebih substansial. Bila semua yang saya sampaikan tadi terjadi, begitu lemahnya mental kita, begitu miskinnya kita. Di setiap sendi-sendinya, kita berdagang lalu dibungkus dengan retorika yang nihil ketakutan dan ketulusan. Bahkan dalam kondisi dan frekuensi tertentu, saya merasa malaikat menyesal telah sujud kepada kita (manusia). Astagfirullah.

Sebaliknya, saat kita merasakan ketakutan saat menyandang status tersebut, mungkinkah secara psikologis kita bersedia dengan tulus untuk mengerahkan semuanya? Baik berupa tenaga, waktu, uang, dan seluruh sumber daya yang kita punya. Secara substantif hal itu seharusnya terjadi. Bahkan dengan segala keterbatasan, kita seharusnya sadar untuk menyanggupi kerelaan dan ketulusan tersebut sesanggup-sanggupnya.

Selama ini kita hanya sedikit saja menyentuh sifat-sifat kepemimpinan. Bahkan saat kita mampu menyentuhnya, kondisinya tidak pernah statis. Sehingga menurut saya, status DPM atau “pejabat” lainnya adalah sebagai petugas, pelayan, pembantu, orang yang ditugaskan, diminta, disuruh untuk bekerja, menyelesaikan urusan-urusan dari si peminta, si majikan, yakni orang-orang yang selama ini merasa sebagai mahasiswa biasa. Beriang-rianglah, wahai kalian para majikan dan saksikanlah wahai para malaikat, para jin, para makhluk-Nya, dan seluruh isi semesta raya bagaimana si majikan itu menyuruh dan bagaimana para pembantu itu bekerja. (Tantowi Alwi – Mahasiswa Teknik Elektro 2012/Pemimpin Umum LPM Profesi FTI UII 2015-2016)

Serial Laporan Khusus:

Skip to content