Apakah kau pernah menganggap karya yang kau tulis tak lebih sebagai sebuah sampah? Kalau iya, berarti kau tidak sendirian. Sebab ada orang lain yang juga berpendapat begitu.
Itu kira-kira, saya dapati dalam dialog dari salah satu novela Guillermo Rosales. Di novela yang berjudul “Penampungan Orang-Orang Terbuang” itu, ketika si tokoh utama baru tiba di panti yang menjadi akhir hidupnya setelah keluar-masuk rumah sakit jiwa, pemilik panti bertanya:
“Kau senang membaca?”
Bibi si tokoh utama menjawab. “Tidak cuma itu. Dia penulis.”
“Ah,” ucap si pemilik panti, pura-pura terkejut. “Dan apa yang kau tulis?”
“Sampah,” kata si tokoh utama, pelan.
Kala membacanya, reaksi yang saya tunjukkan kali pertama adalah tertawa keras. Lalu, reaksi kedua saya lebih aneh lagi: Saya dibuat merenung sambil membatin, “Ini kok saya banget, ya?” Alhasil, petikan dialog itu terus saja terbayang di dalam kepala saya.
Kerap kali, dalam menulis karya-karya saya selama ini, baik cerpen ataupun resensi, hal yang masih saya rasakan adalah semua tulisan itu tidak lebih dari sebuah sampah. Tak lebih dari sederetan kata dan kalimat yang tak sempurna, penuh cacat dan kekurangan.
Ketika mendapati seorang mantan penulis (si tokoh utama ini) mengatakan bahwa tulisan yang ia tulis hanyalah sampah, saya seolah mendapat validasi bahwa apa yang saya rasakan ternyata bukan hal baru. Rupanya, penulis lain di luar sana pun pernah tiba di titik ini: menganggap tulisan sendiri sebagai sampah.
Baiklah, barangkali pernyataan itu terdengar sedikit sadis. Sebab, tulisan bisa dianggap sebagai buah pemikiran dan kerja kreatif yang dapat memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Rasanya kurang layak dianggap sebagai sampah, atau sesuatu yang tak ternilai harganya.
Tapi sebentar, sebelum melangkah semakin melebar lagi, saya perlu meralat pernyataan tadi: tulisan itu memang sampah, tetapi bukan berarti ia tak berguna sama sekali. Toh, kita bisa mendaur ulangnya lagi hingga menjadi sebuah tulisan yang apik dan bernilai.
Soal inilah yang terkadang tak disadari oleh orang yang ingin menulis di luar sana. Saat merampungkan sebuah naskah tulisan dan sebagaimana kesan draf pertama di manapun di dunia ini, perasaan tak puas akan draf tersebut, menjangkiti orang yang ingin menulis tadi.
Lantas, lantaran perasaan tersebut ia kemudian berhenti menulis sama sekali. Parahnya, ia menganggap kalau apa yang ia telah menjadi penulis yang gagal. Padahal, yang tidak ia sadari adalah tulisan yang baru dihasilkannya itu tetap memiliki potensi untuk menjadi tulisan yang baik. Atau, setidaknya, tulisan itu bisa diperbaiki kembali untuk mencapai hasil yang lebih baik. draf itu perlu melewati proses diedit kembali, ditulis ulang, dan dibongkar-bongkar lagi.
Draf pertama memang selalu begitu. Tampak seperti sampah, dan wajar kalau kita merasa jengkel karenanya. Penulis sekaliber Ernest Hemingway pun berpendapat demikian. Namun, yang perlu diubah adalah persepsi kita soal draf pertama, sebab semua itu bukan akhir dari segalanya. Kegiatan menulis toh menuntut laku kesabaran dan ketekunan.
Penulisan draf pertama hanyalah satu proses dari sekian proses yang mesti dilewati. Kita tidak bisa berhenti hanya pada draf pertama, sebab itu bukanlah akhir. Mau tidak mau kita harus sadar bahwa melakukan penyuntingan ulang adalah perlu. Bila perlu, kita anggap sebagai laku wajib dalam kegiatan tulis-menulis kita.
O ya, sebelum tiba pada tahap penyuntingan ulang itu, tentu kita tidak boleh melewatkan proses pengendapan sementara. Saya sendiri kerap mengendapkan draf yang saya tulis selama satu atau dua minggu.
Dengan adanya proses pengendapan, mata kita akan lebih kritis lagi dalam mendeteksi kesalahan, kerumpangan, ketidakajekan kalimat, dan sekian kekurangan-kekurangan lainya. Dengan begitu, draf yang tadinya kita sangka hanya sederet kata-kata tak berguna, bisa dipoles kembali.
Di luar perkara tadi, terlepas dari pernyataan yang terdengar kejam itu, penggambaran sampah justru menjadi pemantik yang mujarab kala saya menulis. Belakangan saya mulai mengintip nilai-nilai filosofi dari mazhab Stoisisme, salah satu mazhab filosofis dari Yunani. Di Indonesia, kita lebih mengenalnya dengan “Filosofi Teras”. Ya, itu ada bukunya, sampai sekarang masih cukup laris manis, penulisnya Henry Hanampiring.
Sebagai pembaca yang sedang mendalami filosofi Stoisisme dasar, saya mulai menerapkan ilmu ini sedikit-sedikit ke laku kehidupan saya, terutama dalam kegiatan tulis-menulis. Dan, perwujudannya tak lain berkaitan dengan mengolah draf pertama yang dianggap sampah ini.
Kala melakukan proses menulis, ketika meletakkan jari di atas tuts keyboard, saya tanamkan petuah-petuah Stoa bahwa biarkan pikiran bekerja berdasarkan apa yang bisa dikendalikan: kerja terbaik, memfokuskan diri, dan menyelesaikan tenggat dengan baik; lalu, singkirkan pikiran dari hal yang di luar kendali kita: hasil tulisan nanti (buruk atau bagus). Singkatnya, saya bekerja dengan mengerahkan kemampuan terbaik saya dan berusaha menyelesaikannya tanpa pretensi tulisan tersebut akan menjadi sempurna atau tidak.
Di dalam laku tersebut, tak mengapa kalau apa yang saya tulis nantinya akan berakhir menjadi sampah. Saya tidak perlu merasa risau, galau, atau mengutuki diri soal ketidakmampuan saya dalam menghasilkan tulisan yang baik. Toh, saya masih memiliki kesempatan untuk menengoknya kembali.
Membaca ulang, menyuntingnya, lalu membaca ulang, dan menyunting lagi. Proses itu tidak bisa ditinggalkan. Saya lakukan terus-menerus sampai saya sendiri yakin kalau tampilan yang tadinya buruk rupa menjadi kelihatan lebih baik lagi. Begitu.